Nania menekuk wajah, tangannya bersedekap d**a. Saat ini ia duduk di tepi ranjang dengan rambut yang masih basah, tubuhnya pun hanya terbalut handuk. Sementara, di depannya berdiri Leon yang juga bersedekap d**a dan menatapnya dengan wajah datar. Orang yang sebelumnya membuka lebar pintu kamar mandi Nania adalah dirinya. Ia datang untuk memberitahu Nania jika sebentar lagi ayahnya akan datang.
“Jangan sampai kau bersikap mencurigakan bahkan mengatakan sesuatu pada ayah. Jika tidak, aku akan langsung menyebar foto telanjangmu,” ucap Leon setelah sebelumnya memberitahu Nania apa saja yang harus ia katakan pada ayahnya.
Nania hanya diam. Ia masih kesal karena Leon dengan lancang masuk ke dalam rumahnya, apalagi ke kamar mandi di saat ia sedang berendam.
“Sekarang, cepat ganti baju sebelum ayahku sampai,” ucap Leon kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan kamar Nania.
Mulut Nania komat-kamit menirukan Leon saat bicara. “Kau harus ini, kau harus itu, nye-nye-nye. Dasar, dia pikir aku siapa? Dia yang membutuhkan bantuanku, kenapa aku yang harus patuh padanya? Jika saja bukan karena foto-foto itu, aku tak akan sudi.” Nania menggeram kesal setelah mengatakan kalimat terakhir. Tangannya pun saling meremas seolah tengah meremas Leon hingga pria itu lumat. Ia benar-benar kesal terlebih jika teringat kejadian sebelumnya, di mana Leon dengan tak tahu dirinya memasuki kamar mandi dan melihatnya telanjang.
Tiba-tiba Nania menundukkan kepala kemudian kepalanya kembali terangkat hingga mendongak saat ia menemukan sebuah cara agar terbebas dari Leon. Ia pun segera bangkit berdiri, menuju lemari untuk mengambil baju lalu bersiap.
Beberapa saat kemudian, Leon bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu dan melangkah menuju kamar Nania saat wanita itu tak kunjung keluar. Ia tak mau ambil resiko Nania kabur entah lewat jendela atau atap sekalipun.
Kriet ….
Baru saja membuka pintu kamar, Nania telah menyambut Leon dengan senyuman merekah.
“Bagaimana menurutmu? Aku cantik, kan?” Nania memutar tubuhnya kemudian kedua tangannya menangkup wajah yang dihiasi make up tebal. Ia sengaja melukis alisnya seperti pedang, memoles wajahnya yang lebih cantik natural dengan bedak 5 cm dan memakai lipstik merah merekah. Tak lupa, ia juga memakai minyak wangi literan yang membuat Leon ingin muntah.
Leon memperhatikan Nania dari ujung kepala hingga kaki. Bukan hanya wajah Nania yang mengerikan, tatanan rambutnya juga sama mengerikannya. Nania sengaja mengeriting rambutnya, memakai anting sebesar telapak tangan juga memakai perhiasan hingga sikut yang membuatnya seperti orang gila. Pakaian Nania juga mengerikan. Wanita itu memakai tanktop warna pink yang mencolok mata dengan selendang menutupi bahunya dipadukan dengan rok levis di atas lutut yang membuat pahanya terlihat.
Leon menggeram marah, ia yakin Nania sengaja melakukannya.
Ujung jari-jemari Nania bertemu saat kedua tangannya menyangga dagu. “Lihat, kau sampai terpesona. Jadi, kapan ayahmu sampai? Aku tak sabar ingin–”
Belum sempat Nania selesai bicara, tiba-tiba saja Leon menarik tangannya dan menyeretnya ke kamar mandi.
“Hei! Apa yang kau lakukan?!” pekik Nania sambil berusaha menahan kaki. Namun, tarikan tangan Leon lebih kuat hingga dirinya tak bisa mengelak saat Leon membawanya ke kamar mandi.
Leon menutup pintu kamar mandi dan menguncinya kemudian teriakan Nania terdengar.
Tak lama kemudian, Leon keluar dari kamar mandi diikuti Nania di belakangnya di mana wajah Nania telah bersih dari make up. Leon menghapus make upnya hingga wajahnya terasa perih. Leon juga mencuci rambutnya membuat rambut keriting buatannya kembali lurus.
Leon membuka pintu lemari dan mencari baju yang sesuai. Ia mengambil sebuah dress di bawah lutut tanpa lengan dan sebuah blazer sebagai outer. Ia juga mengambil sebuah bra dan celana dalam lalu melempar benda-benda itu ke ranjang.
“Pakai ini. Dan jangan berdandan seperti orang gila lagi. Jika kau benar-benar ingin gila, nanti setelah kita bercerai,” ucap Leon disertai geraman tertahan. Sesungguhnya ia sudah sangat marah dan jengkel, tapi demi rencananya, dirinya harus bisa lebih bersabar.
Nania menggembungkan pipi kemudian berjalan ke arah ranjang dengan sengaja menghentak kaki. “Lalu apa yang kau lakukan di sini? Cepat keluar,” sungut Nania sambil melotot pada Leon.
Leon bergeming, masih tetap di posisinya berdiri di depan ranjang. “Aku tidak akan pergi. Cepat pakai bajumu,” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana dan kembali menunjukkan foto memalukan Nina. “jika tidak, aku akan mempostingnya di sosial media sekarang.”
Mata Nania kian melotot. Dan melihat Leon menekan icon berbagi pada layar, Nania segera meraih pakaian yang Leon siapkan, membawanya ke kamar mandi lalu ganti baju di sana.
“Dasar pria sinting! Pria gila, siluman, mantan bos menyebalkan!” racau Nania dalam kamar mandi.
Di luar rumah, sebuah mobil baru saja berhenti. Mobil berwarna hitam itu berhenti di sebelah mobil Leon terparkir.
“Papa yakin ini rumahnya?” Wanita yang duduk di kursi penumpang bersama seorang pria paruh baya menengok keluar kaca mobil yang terbuka, memperhatikan rumah sederhana di depannya.
“Sepertinya. Itu mobil Leon,” sahut pria paruh baya yang merupakan ayah Leon. “ayo turun.”
Jbles!
Pintu mobil tertutup setelah Steven Hans bersama istrinya Yolanda turun dari mobil. Keduanya tetap berdiri di sisi mobil hingga beberapa saat, memperhatikan rumah calon menantu mereka.
“Leon yakin mau menikah dengan wanita yang tinggal di rumah ini? Aku yakin, wanita itu bukan siapa-siapa, Pa,” ujar Yolanda menilai rumah minimalis satu lantai milik Nania.
“Tidak masalah calon menantuku bukan siapa-siapa, yang penting dia wanita baik-baik. Kau dulu juga bukan siapa-siapa, kan, Ma.”
Yolanda tertohok dengan ucapan suaminya. Ia hanya ingin menghasut Steven agar tak merestui Leon dan wanita pilihannya, dengan begitu, Leon tak akan mendapatkan warisan darinya seperti yang telah ia katakan waktu itu.
“Iya, Pa, tapi … Ah, ya sudah. Ayo kita lihat seperti apa calon istri Leon.” Yolanda mengambil langkah lebih dulu membuat Steven ikut melangkah. Dan saat keduanya telah berdiri di depan pintu, tiba-tiba pintu terbuka menunjukkan Leon yang menyambut dengan raut wajahnya yang datar.
“Ah, Leon, tepat sekali, kami baru saja berdiri di sini dan kau sudah membuka pintu. Kau pasti sangat menunggu, ya,” ucap Yolanda.
Leon hanya diam, hanya melirik ibu tirinya itu sekilas kemudian mempersilakan ayahnya masuk ke dalam rumah. Ia kemudian ke kamar Nania setelah ayah dan ibu tirinya duduk di sofa.
“Kira-kira, sejauh apa hubungan wanita itu dengan Leon, Pa. Leon bersikap seperti di rumahnya sendiri,” bisik Yolanda. “selain itu, aku curiga. Harusnya tadi Leon datang bersama kita, tapi dia sudah di sini lebih dulu. Bisa saja ada yang Leon sembunyikan.”
Steven melirik istrinya sekilas dan mengatakan, “Sudah lah, kita tunggu saja.”
Mendengar itu Yolanda hanya diam.
Di dalam kamar, Leon kembali memperingatkan Nania agar berakting sesuai yang sudah ia tuturkan. Ia juga kembali mengancam, jika sampai Nania membuat kesalahan hingga membuat ayahnya tak setuju dengan pernikahan mereka, ia akan membuat Nania menyesal.
Nania menarik napas panjang dan mengembuskannya dari mulut. “Iya-iya aku paham. Dasar cerewet. Padahal kau yang membutuhkan bantuanku, kenapa aku yang harus diatur olehmu?” omel Nania kemudian bersiap keluar.
Leon hanya mendengus. Ia kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar diikuti Nania.
Tepat saat Nania menunjukkan diri di depan calon kedua mertua, tiba-tiba saja suara Steven terdengar. Pria itu sampai bangkit dari duduknya dan menunjuk Nania.
“Ka- kau!”