4. Kebetulan atau Takdir?

1041 Kata
Nania tampak kebingungan melihat telunjuk Steven mengarah padanya. “Hah? Aku?” tanya Nania seperti orang bodoh sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Ya! Kau!” Leon yang selalu menunjukkan wajah datar tiba-tiba saja menunjukkan wajah bingung melihat ayahnya menunjuk Nania seperti mereka pernah bertemu atau kenal sebelumnya. Ia khawatir Nania pernah melakukan kesalahan dan ada hubungannya dengan ayahnya. Steven berjalan ke arah Nania membuat degup jantung Leon berpacu cepat. Ia pun segera mengambil tindakan dengan berdiri di depan Nania. “Aku tidak tahu apa masalah ayah dengannya, tapi aku tak akan membiarkan ayah–” Suara Leon terhenti saat Steven mendorongnya ke samping. Kini, Steven pun telah berhadapan dengan Nania. “Tak salah lagi, itu kau!” Nania masih memasang wajah bodohnya. Ia tak merasa pernah bertemu atau mengenal pria yang Leon panggil ayah itu, tapi kenapa pria berusia 60 tahunan itu seperti marah padanya? “U …, sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui,” batin Yolanda melihat sikap suaminya. Ia pun mengeluarkan ponsel dari dalam hand bagnya dan bersiap merekam. “ini akan jadi pertunjukkan menarik. Aku harus merekamnya dan menunjukkannya pada Ajun.” Tap! Nania tersentak, terkejut saat merasakan tangan besar Steven bertengger di bahu. Dan ia dibuat semakin terkejut saat Steven memeluknya. “Tak kusangka orang yang pernah berjasa padaku adalah calon menantuku sendiri.” “Hah?” Yolanda terkejut mendengarnya, matanya sampai terbuka lebar dengan mulut menganga. Ia kira Nania pernah terlibat masalah dengan suaminya, tapi apa yang baru saja ia dengar? Bukan hanya Yolanda yang terkejut, Leon pun menunjukkan keterkejutan serupa, Hanya saja dirinya lebih bisa mengendalikan diri untuk tak terlalu menunjukkannya. Steven melepas pelukan dan menepuk-nepuk bahu Nania. “Apa kau sudah lupa padaku? Kau pernah menolongku waktu itu. Aku tak akan pernah melupakan jasamu, Nak. Waktu itu aku ingin mengucapkan terima kasih tapi kau sudah terlanjur pergi.” Nania berkedip pelan menatap calon mertuanya. Dirinya tengah menggali memori dalam otak, mencari puzzle ingatan mengenai Steven. Melihat ekspresi Nania, Steven menduga Nania sudah lupa. Ia pun mengingatkan Nania di mana mereka pernah bertemu. Sekitar 3 bulan yang lalu tepatnya di hari minggu, Steven gowes. Ia kerap melakukannya baik sendiri maupun bersama rekan-rekan sejawatnya. Kebetulan hari itu ia pergi sendiri dan mengambil rute lain yang tak biasa ia lewati. Saat itu ia mengalami sedikit kecelakaan, sebuah mobil menyenggolnya hingga dirinya jatuh dari sepeda. Bukannya menolong dan bertanggung jawab, mobil itu justru tancap gas. Akibat kecelakaan kecil itu, Steven mengalami luka kecil di kepala dan telapak tangannya. Usianya yang sudah lanjut juga membuatnya kesulitan berdiri setelah menggunakan lututnya bertumpu kala ia jatuh. Kesialan lainnya, ia lupa membawa ponsel, hanya ada dompet berisi uang ratusan ribu dalam saku celananya. Steven merasa putus asa saat tak ada yang menolongnya. Meski ada satu dua motor lewat, mereka melewatinya begitu saja. Namun, tiba-tiba penyelamatnya datang. Nania yang kala itu tengah jogging, segera menolong Steven melihat pria itu mengalami musibah. Ia memesan ojek online dan memintanya membawanya ke klinik terdekat. Harusnya Nania ikut waktu itu, tapi tiba-tiba saja ia mendapat telepon dari ayahnya yang menyuruhnya segera pulang. “Pak, maaf, aku tidak bisa mengantar Bapak ke klinik. Ini, Bapak bisa menggunakannya untuk biaya pengobatan,” ucap Nania kala itu seraya memberi beberapa lembar uang pada Steven. Ia juga sudah membayar ojeknya. Saat itu Steven hendak menolak dan mengembalikannya, tapi Nania terlalu terburu-buru, pergi begitu saja setelah memaksanya menerima uang darinya. “Siapa yang mengira, rupanya kau akan jadi menantuku. Aku yakin ini takdir, Tuhan sudah menakdirkan ini akan terjadi,” ujar Steven yang menatap Nania dengan begitu kagum. Sejak hari itu ia tak bisa melupakan wajah Nania. Ia begitu ingin bertemu lagi dengannya dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. “Jadi … dia yang sudah menolong Papa waktu itu?” tanya Yolanda yang sedari tadi mendengarkan saat suaminya menceritakan kejadian waktu itu. “Ya. Jika pertemuan waktu itu bukan takdir, aku yakin Tuhan sedang mengabulkan doaku. Aku selalu berdoa agar kembali dipertemukan dengan gadis baik ini, bahkan berdoa semoga dia menjadi anakku.” Steven begitu kagum pada Nania karena sudah menolongnya hari itu. Baginya Nania adalah penyelamatnya, orang yang berjasa dalam hidupnya. Bisa saja jika Nania tak menolongnya waktu itu, ia mati karena kehabisan darah. Baiklah, mungkin terlalu berlebihan. Tapi, baginya tidak. Mendengar semua itu, akhirnya Nania mengingat kejadian tersebut. “Kurasa … siapapun akan menolong anda waktu itu, Pak. Jika orang lain yang menemukan anda lebih dulu, dia pasti menolong anda,” ucap Nania merasa sikap Steven terlalu berlebihan. Bukannya merasa senang, ia merasa canggung terlebih dia adalah calon ayah mertuanya meski pernikahannya dengan Leon nanti hanya pura-pura. “Tidak, sebelum itu ada pemotor yang lewat dan dia mengabaikan aku,” sanggah Steven yang sangat ingat dengan jelas kejadian hari itu. “Jadi, ayah merestui hubungan kami?” potong Leon. Baginya tak penting apa yang terjadi antara ayahnya dan Nania meski dalam hati ia berterima kasih Nania sudah menolong ayahnya. Untuk saat ini yang lebih penting adalah, pernikahannya. Ia tak akan membiarkan ibu dan adik tirinya mendapatkan warisan ayahnya. Bukan ia serakah, tapi tahu seperti apa sifat ibunya membuatnya tak rela mereka hidup enak tanpa mau bekerja keras. “Tentu saja, mana mungkin aku menolak malaikat yang sudah menolong ayah?” Tanpa ada yang menyadari, Yolanda mengepal tangannya dengan gigi bergemeletuk. Padahal niatnya ikut adalah untuk menghasut suaminya agar tak merestui Leon dengan wanita pilihannya, tapi siapa kira dewi fortuna sedang tak berpihak padanya. Cukup lama kemudian, Steven dan Yolanda telah pulang, kini hanya ada Nania dan Leon di sana. Nania menjatuhkan bokongnya ke sofa dan menyandarkan punggung sambil menghela napas lelah. Siapa kira semuanya justru jadi begini, ia yang berniat mengadu pada ayah Leon, tak bisa melakukannya melihat sikap yang pria itu tunjukkan. “Kapan orang tuamu pulang.” Suara Leon menginterupsi pendengaran. Namun, tak membuat Nania mengangkat kepala. “Aku tidak tahu. Dan kau, segera pergi dari rumahku. Kepalaku sakit sekali apalagi melihatmu, hsssh, rasanya mau pecah.” Nania memijit pelipis. Ia bersyukur orang tuanya berada di rumah neneknya sekarang dan pulang entah kapan. “Eh? Ada tamu?” Nania seketika menegakkan punggungnya dan mengarah pandangan ke arah pintu mendengar suara yang sudah ia hafal. Dan betapa terkejutnya dirinya melihat sang ibu telah berdiri di ambang pintu. Dalam hati ia pun berteriak, “Kenapa ibu harus pulang sekarang?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN