5. Mendapat Restu

1039 Kata
Tubuh Nania menegang, dan semakin menegang saat Leon menghampiri sang ibu dan menjabat tangannya. “Selamat datang, Tante. Perkenalkan, namaku Leonard Ronald.” “Lho, ada tamu?” Perhatian Leon mengarah pada ayah Nania yang baru memasuki rumah. Dengan senyuman, ia pun menyambut calon ayah mertuanya dengan jabat tangan seraya memperkenalkan diri. “Wah, ibu tidak tahu kau punya teman pria setampan ini, Nan,” ucap Selvi, ibu Nania dengan satu tangan menangkup pipi tanpa mengalihkan perhatian dari Leon. Tatapan Nania menajam. Ia kesal, kenapa ibunya harus memuji mantan bosnya itu? Andai saja ibunya tahu bahwa Leon adalah mantan bos yang dulu selalu ia ceritakan, ibunya pasti tak akan sudi memujinya. Nania segera berdiri dari duduknya kemudian mendorong Leon untuk keluar dari rumah. “Dia ada urusan, Ayah, Ibu. Dia harus segera pergi sekarang,” ucap Nania pada kedua orang tuanya sambil berusaha mendorong Leon. Namun, Leon seperti tak bergerak sedikitpun, pria itu tetap berdiri bak patung. “Cepat pergi dari sini. Biar aku menjelaskan pada ayah dan ibuku sendiri,” bisik Nania agar Leon segera pergi. Namun, Leon seperti tuli. “Sebelumnya, maaf, Om, Tante. Sebenarnya tadi kedua orang tuaku ke sini. Sekarang mereka sudah pulang dan aku–” Suara Leon seketika lenyap saat Nania menutup mulutnya dengan tangan. Nania sampai berjinjit dan satu tangannya memeluk tubuh Leon sebagai pegangan. “Sudah kubilang diam. Aku yang akan menjelaskannya sendiri pada ayah dan ibuku,” geram Nania dengan suara pelan. Leon menurunkan tangan Nania dari mulut dan mencengkram lemah pergelangan tangannya tanpa menurunkannya. Ia sedikit menunduk membuat wajahnya dan Nania cukup dekat. “Kau kira aku percaya? Apa kau lupa, sudah kukatakan, diam seperti kucing penurut. Jika tidak … akan kutunjukan saat kau mengerang di bawahku pada kedua orang tuamu.” Mata Nania membulat sepenuhnya. Ia seolah tenggelam pada onyx Leon hingga tak sanggup bergerak bahkan berkata-kata. Meski Leon mengatakannya tanpa suara, hanya mulutnya saja yang bergerak, ia bisa memahaminya dengan jelas, seolah bisa mendengarnya dengan jelas di telinga. Kaki Nania yang berjinjit, perlahan turun hingga telapak kakinya memijak lantai yang dingin. Ia masih seperti dihipnotis. Hingga Leon menurunkan tangannya perlahan pun, ia masih tak dapat mengalihkan pandangan, masih tak dapat mengucap sepatah kata. Kedua orang tua Nania saling melempar pandangan sekilas kemudian kembali menatap Nania dan Leon. Dan saat Leon melanjutkan ucapan yang terjeda sebelumnya, keterkejutan begitu tampak di wajah keduanya. Beberapa saat kemudian, Leon telah duduk berhadapan dengan kedua orang tua Nania. Setelah Leon mengutarakan maksud dan tujuan, keduanya mengajak Leon bicara 4 mata. Bagaimanapun, pernikahan adalah sesuatu yang penting. Mereka tak ingin Nania jatuh ke orang yang salah. Meski Leon tampan, dan sepertinya dari kalangan berada, bagi kedua orang tua Nania, itu tidak cukup. Sementara, Nania berada di kamar. Orang tuanya yang menyuruhnya, tak ingin ia ikut campur dalam urusan penilaian orang tua terhadap calon menantunya. Nania berjalan mondar-mandir di depan ranjang sambil terus merapalkan doa. Ia harap kedua orang tuanya menentang pernikahan ini. Jika orang tuanya tak setuju, apa yang bisa Leon lakukan? Tapi, kenapa dirinya begitu was-was? Seakan mustahil orang tuanya menolak calon menantu seperti Leon. Kling! Nania tersentak, perhatiannya mengarah pada ponselnya di atas meja rias. Ia pun mengambil benda persegi itu dan melihat siapa yang mengirim pesan. Kembali pada kedua orang tua Nania dan Leon, atmosfer ketegangan sedikit terasa. Meski Leon tampak tenang, sebenarnya ia gugup juga. “Apa sudah kebobolan?” Leon mengernyitkan alis tak mengerti maksud pertanyaan Hartono, ayah Nania. “Maaf, maksud, Om?” Hartono yang bersedekap d**a dan duduk dengan tegak, menatap lurus Leon mencari tahu apakah Leon pura-pura tidak tahu, atau memang tidak tahu. Tapi, melihat ekspresinya, sepertinya dugaannya keliru. Hartono berdehem pelan kemudian mengatakan, “Maksudku, apa kau sudah menghamili putriku? Pernikahan yang begitu mendadak pasti membuat orang lain curiga.” “A … itu ….” Brak! Tiba-tiba saja pintu kamar Nania terbuka. Ia pun berjalan menyusul Leon dengan menundukkan kepala dan setelah berdiri di sisi sofa yang Leon duduki, ia menghadap kedua orang tuanya dan mengatakan, ”Aku ingin ayah dan ibu merestui kami. Aku ingin kami menikah secepatnya.” Sebelah alis Leon tampak meninggi. “Apa dia kerasukan?” batinnya. Padahal ia sudah menduga Nania akan melakukan apapun agar orang tuanya tak setuju. Tiba-tiba saja Nania merosot, ia berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di antara lutut dan menangis. Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar dari Arsen bahwa dia akan menikah dengan selingkuhannya, janda kaya pilihannya. Dan tentu saja berita itu membuat Nania marah, kesal, kecewa dan berbagai perasaan lainnya. Kebenciannya itu pun membuatnya berpikir nekat. Ia ingin menyaingi Arsen. Ia ingin Arsen melihat bahwa ia juga akan menikah. Ia ingin Arsen menganga melihat dirinya menikah lebih dulu dan melihat calon suaminya adalah Leonard Ronald. *** Leon menjatuhkan bokongnya di sofa. Ia baru saja sampai di rumah dan tampak lelah. Setelah drama di rumah Nania, ia berhasil pulang dengan selamat sekaligus membawa restu. Leon menyandarkan punggung dan kepala lalu memijit pelipis yang terasa berdenyut-denyut. Siapa sangka semua terjadi begitu cepat. Baru semalam ia menemukan Nania, menjadikannya objek sasaran untuk memenuhi syarat yang ayahnya berikan lalu hari ini menjalani proses pengenalan dengan orang tua. Dan siapa kira, semua terasa begitu mudah seakan-akan takdir pun mendukung pernikahannya dengan mantan sekretarisnya itu. Leon memejamkan mata dan teringat kejadian semalam. Ia pergi ke klub dengan tujuan menenangkan diri, menghabiskan segelas minuman sebagai pelampiasan keputusan sepihak yang ayahnya ambil. Ia tidak punya kekasih, meski ada beberapa wanita yang mendekat, ia tak mudah menerima mereka. Ia selalu was-was, berpikir jikalau mereka yang bersikap baik di depannya, mungkin saja memiliki sifat seperti ibu tirinya. Sang ayah menikahi ibu tirinya sejak ia sekolah dasar, dua tahun setelah ibunya tiada. Yolanda memang tak menunjukkan kekejamannya sebagai seorang ibu tiri, tapi juga tak menunjukkan kasih sayang yang membuatnya menyukainya. Leon membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Bayangan saat ia menemukan Nania kembali terbesit dalam kepala. Saat memasuki klub dan pandangannya menemukan Nania, seketika otaknya menyuruhnya memanfaatkan mantan sekretarisnya itu. Meski sudah 3 tahun berlalu, ia masih mengingat wajahnya dengan jelas. Bahkan ia juga ingat momen-momen tertentu saat Naia masih bekerja padanya. Wanita itu sedikit kikuk, tapi pekerja keras. Tok tok! Lamunan Leon terbuyarkan saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Dan belum sempat ia bangun dari duduknya, seseorang telah membuka pintu dan berucap padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN