6. Keputusan Mutlak

1210 Kata
“Kak, ayah panggil. Di ruang baca.” Pemuda berusia 22 tahun itu segera berbalik dan menutup pintu setelah bicara pada Leon. Ia adalah Ajun, adik tiri Leon, anak Steven dengan Yolanda. Leon menatap pintu kamarnya yang telah tertutup kemudian bangkit dari duduknya dan menyusul sang ayah. Sesampainya di sana, Leon menemukan ayahnya membaca sebuah buku yang cukup tebal. Ia pun menutup pintu ruangan dan berjalan menghampiri sang ayah yang duduk di kursi raja depan jendela ruangan tersebut. Steven menutup bukunya menyadari Leon telah datang. Ia membuka kacamatanya dan meletakkannya di atas buku lalu menyuruh Leon duduk di sofa depan meja sisi kiri. Leon menghela napas samar kemudian duduk menuruti perintah ayahnya. “Ada apa Ayah memanggilku,” ucap Leon. Ia masih cukup lelah, dan berharap ayahnya tak menambah rasa lelahnya. “Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membahas masalah pernikahanmu,” ujar Steven. “besok serahkan surat-surat pada Rafi, biar semua dia yang urus. WO dan semuanya, ayah juga sudah mengurusnya,” pungkasnya. Leon hanya diam. Rafi adalah ajudan setia ayahnya. Pria itu bak pesuruh cerdas yang akan melaksanakan perintah sang ayah dalam hal apapun. Tiba-tiba Leon teringat ancaman ayahnya dan mengatakan, “Aku sudah menuruti perintah, Ayah. Ayah harus menepati janji Ayah.” Steven menatap Leon dalam diam di mana tak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan. “Jadi, kau menikah karena warisan?” tanya Steven dengan baritonnya yang terdengar dingin. Sebenarnya, ia sengaja mengancam Leon agar ia segera menikah. Usia Leon hampir kepala 3, usia yang sudah matang menjalin rumah tangga. Ia semakin menua, jika bisa ingin melihat cucunya sebelum Sang Pencipta memanggilnya. Leon diam dan membuang muka dari ayahnya. Harusnya tak perlu ditanya. Mana mungkin ia membiarkan ayahnya memberikan seluruh warisan pada adik tirinya? Ia juga berhak. “Ayah berubah pikiran.” Seketika Leon kembali mengarah pandangan pada sang ayah, bertanya-tanya apa maksud ucapan ayahnya itu. “Ayah tidak akan memberikan seluruh warisan pada adik tirimu. Kau akan mendapatkannya, tapi setelah aku mendapatkan cucu darimu.” Mata Leon melebar. Ia segera bangkit dari duduknya. “Apa maksud Ayah?!” tanyanya bernada tak terima. “Sepertinya kau sangat menginginkan warisanmu. Itu artinya, kau sangat ingin ayah cepat mati?” “Tentu saja tidak! Aku hanya tak ingin ayah memberikan semuanya pada Ajun ataupun ibunya!” sanggah Leon mengungkap alasan. Ia tahu, yang namanya warisan adalah harta yang diberikan setelah orang tua tiada. Tapi jika tak diatur saat ayahnya masih ada, dikhawatirkan akan menjadi masalah setelah ia tiada. “Kalau begitu aku akan tanda tangan pembagian warisan setelah mendapat cucu darimu.” Tangan Leon mengepal kuat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan keputusan sepihak yang selalu ayahnya ambil. Merasa muak, ia segera pergi dari ruangan, meninggalkan ayahnya yang hanya diam. Leon kembali ke kamarnya dengan kekesalan yang kentara di wajah. Namun, meski begitu ia tak dapat melakukan apapun. “Agh!” teriak Leon dengan kaki menendang udara, melampiaskan kekesalannya. Ia tak sadar, keputusan ayahnya itu akibat ulahnya sendiri. Andai saja ia tak menagih janji di saat pernikahan bahkan belum terlaksana, mungkin ayahnya tak akan mengambil keputusan itu. Namun, tepung sudah terlanjur menjadi cilok, Leon tak bisa mengulang waktu agar ayahnya berubah pikiran. Di sisi lain yakni di rumah Nania, ia tengah meringkuk di atas ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Ia sedang memikirkan masa depannya, juga memikirkan mantan kekasihnya. Rasanya masih begitu kesal hingga dadanya terasa sesak mengingat ia kalah dari janda. Tok! Tok! “Nania, ibu masuk.” Nania tetap meringkuk tanpa keluar dari dalam selimut meski mendengar suara sang ibu. Untuk saat ini dirinya tak ingin bicara dengan siapapun atau membicarakan apapun. “Nan, ayah memanggilmu,” ujar Selvi. Setelah Leon pamit pulang, Nania segera ke kamar tak memberi kesempatan ayahnya untuk bicara. Tak mendapat jawaban, Selvi yang sebelumnya berdiri di sisi ranjang, duduk di tepi ranjang dan mencoba menarik selimut, ingin melihat apakah Nania tidur atau sengaja mengurung diri. “Nan–” “Nania sedang ingin sendiri, Bu,” kata Nania sambil menahan selimut agar tetap membungkus tubuhnya Mendengar itu, Selvi menarik tangannya kembali, tak memaksa Nania bangun. “Ya sudah,” ucapnya kemudian bangkit berdiri dan menyusul suami. Nania tetap diam dan mendengar pintu tertutup yang menandakan ibunya telah pergi, ia kian meringkuk memeluk lutut. “Mana Nania?” tanya Hartono setelah sang istri kembali. Ia duduk di ruang tengah sekarang, depan meja tv, menunggu Nania untuk ia wawancarai. Selvi duduk di samping suaminya itu dan mengatakan, “Dia tidak mau bangun. Dia bilang sedang ingin sendiri.” Dahi Hartono sedikit berkerut. Bukankah harusnya Nania senang karena akan segera menikah? Tapi kenapa justru menutup diri? Sebelumnya Nania juga menangis. “Apa menurutmu ada sesuatu yang Nania sembunyikan?” “Entah lah, Yah. Ibu juga tidak tahu. Tapi ayah dengar sendiri kalau Nania juga menginginkan pernikahan itu, kan,” jawab Selvi. Hartono tampak berpikir kemudian menghela napas berat. Mungkin ia akan bertanya langsung pada Nania nanti. Jarum jam terus berputar hingga tak terasa hari telah malam. Nania yang sejak siang mengurung diri di kamar, pun akhirnya keluar saat perutnya sudah merasa lapar. Nania berjalan ke dapur dan secara kebetulan kedua orang tuanya sedang makan malam. “Kenapa ibu tak membangunkan aku?” keluh Nania saat ia duduk. Ia duduk di kursi meja makan di depan meja dan kedua orang tuanya duduk di sisi kanan dan kiri saling berhadapan.. “Ibu pikir kau tidur, jadi tidak berani membangunkanmu. Ya sudah, ayo makan dulu.” Selvi bangun dari duduknya, mengambil piring untuk Nania lalu mengambilkan nasi dan lauknya dan meletakkannya di depannya. Nania menuang air ke dalam gelas dan meminumnya kemudian mulai menyantap makan malamnya. Tak lama, Nania telah menghabiskan makan malamnya. Ia pun hendak kembali ke kamar setelah menghabiskan segelas air. Namun, belum sempat ia berdiri dari duduknya, suara sang ayah membuatnya tetap di posisi. “Nania, duduk dulu, ada yang ingin ayah bicarakan.” Nania menatap sang ayah dengan pandangan tak terbaca. Kesadarannya setelah tidur telah pulih sepenuhnya setelah menyantap makan malamnya. Ia pun sudah bisa menebak apa yang ingin ayahnya bicarakan. “Mengenai keputusanmu. Apa kau yakin?” tanya Hartono. “sebenarnya ayah senang mendengar kabar bahagia bahwa kau ingin menikah. Tapi, ayah lihat seperti ada yang kau sembunyikan. Ayah hanya tak ingin kau menyesal di kemudian hari. Ayah harap putri ayah menikah sekali seumur hidup dengan pria yang tepat.” Nania terdiam mencerna ucapan ayahnya. Ia tenggelam dalam pikiran yang mana pikirannya bercabang. Sisi kanan memikirkan Leon dan pernikahannya, dan sisi kiri memikirkan Arsen dan pengkhianatannya. Rasa benci dan tak terimanya pada keputusan Arsen pun membuatnya menjawab, “Aku serius dengan pilihanku. Aku mau menikah dengannya.” Hartono dan Selvi saling melempar pandangan sekilas. Meski Nania berkata demikian, keduanya masih merasa ada yang mengganjal. Nania memejamkan mata kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya. Ia lalu menatap kedua orang tuanya bergantian dan menggenggam masing-masing satu tangan mereka di atas meja.“Nania juga ingin menikah sekali seumur hidup. Tapi tidak ada yang tahu masa depan, kan, Yah? Bu? Tapi, untuk saat ini, Nania yakin dengan keputusan Nania bahwa akan menikah dengan Leon.” Tepat setelah mengatakan itu, suara ketukan yang berasal dari pintu utama terdengar. “Biar ibu yang buka,” kata Selvi kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan. Sesampainya di sana, ia membuka pintu dan menemukan Leon berdiri di hadapan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN