“Leon? Ada apa malam-malam begini? Ayo masuk-masuk.” Tanpa ragu Selvi mengajak Leon ke rumah dan mempersilakan duduk. Bagaimanapun Leon adalah calon menantunya, tak mungkin membiarkannya menunggu di luar, bukan?
“Begini, Tan. Aku ingin meminta surat-surat yang dibutuhkan untuk persiapan pernikahan,” ujar Leon tanpa basa-basi karena memang itu lah tujuannya.
“Eh? Begitu? Tunggu sebentar, ibu panggilkan Nania.”
Selvi meninggalkan Leon menuju dapur untuk memberitahu maksud dan tujuan Leon pada sang putri.
“Siapa, Bu?” tanya Hartono.
“Leon, Yah.”
Seketika Nania bangkit dari duduknya. “Untuk apa dia ke sini?”
“Dia bilang ingin meminta surat-surat untuk urusan pernikahan. Sana ambilkan, Nan. Ibu akan akan membuatkan minuman,” ujar Selvi.
Nania segera meninggalkan dapur dan menuju ke depan.
“Hah … ayah tak mengira Nania benar-benar akan menikah,” gumam Hartono melihat putri semata wayangnya mulai menjauh.
“Ibu juga, tapi kita memang harus menerimanya, kan, Yah? Kita memang berharap Nania segera dapat jodoh,” sahut Selvi sambil membuatkan teh hangat untuk calon menantunya.
Nania berjalan dengan menghentak kaki, menghampiri Leon yang duduk di sofa.
“Apa yang kau lakukan di sini?!” ucapnya setelah berdiri di sisi sofa yang Leon duduki.
“Aku butuh surat-surat untuk didaftarkan ke KUA. Cepat ambilkan. Aku tidak punya banyak waktu.”
“Hih!” Nania menggeram kesal. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Meski seperti begitu enggan, pada akhirnya ia tetap ke kamar mengambil surat-surat yang dibutuhkan.
Tak lama, Nania kembali dengan membawa KK, KTP, ijazah terakhir dan akte lalu menyerahkannya pada Leon. Dan untuk urusan surat yang lain, Leon yang akan mengurusnya nanti.
Baru saja Leon berdiri, Selvi datang membawa teh dan camilan. Leon yang berniat pulang, pun akhirnya kembali duduk. Ia tak sendiri, melainkan diikuti sang suami.
“Jadi, benar-benar Minggu depan nikahnya?” tanya Hartono seraya duduk di sofa berseberangan dengan Leon.
“Rencananya, Om.”
“Tapi kami tidak punya persiapan apapun.”
“Ayah sudah mengurus semuanya. Besok ayah akan ke sini untuk membicarakan masalah itu dengan Om dan Tante.”
Nania menatap sinis Leon. “Dasar muka dua,” batinnya melihat Leon tampak begitu ramah. Bahkan tak jarang Leon menyunggingkan senyuman yang rasanya, ingin membuatnya muntah. Tak ingin benar-benar muntah melihat akting Leon, Nania memilih ke kamar. Ia tak peduli dengan apa yang orang tua calon suaminya bicarakan.
Sesampainya di kamar, Nania menjatuhkan tubuhnya dengan posisi tengkurap dengan wajah terbenam pada bantal. Ia lalu membalikkan tubuhnya saat membutuhkan pasokan oksigen.
Nania menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran berkecamuk. Sebagian hatinya ingin menunjukkan pada Arsen bahwa ia bisa segera menikah meski ditinggal olehnya. Tapi sebagian sisi hatinya yang lain merasa berat harus menikah dengan Leon apalagi pernikahan itu untuk menguntungkannya sendiri. Baik lah, ia juga diuntungkan, tapi juga dirugikan karena jika mereka bercerai, statusnya akan menjadi janda.
Nania memejamkan mata, tangannya bertengger di atas jidat. “Rasanya aku ingin tidur selamanya.”
Keesokan harinya, Nania telah bangun di waktu yang masih pagi. Ia juga tampak rapi seperti ingin pergi.
“Nan, mau ke mana?” Baru hendak membuka pintu depan, Nania telah dikejutkan suara sang ibu. Ia pun menoleh kaku.
“Ah, Bu. Aku … ingin keluar membeli keperluan untuk pernikahan,” dusta Nania. Sebenarnya ia ingin menghindari orang tua Leon mendengar mereka akan datang hari ini. Meski untuk menemui orang tuanya, tetap saja ia pasti akan ikut bergabung.
“Apa? Tapi nanti orang tua Leon datang, Nin.”
Tepat di saat itu, suara ketukan pintu terdengar. Nina yang berada di depan pintu pun membuka pintu dan terkejut melihat Leon yang berdiri di depannya.
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau lagi, kau lagi?!” geram Nania.
Leon memperhatikan Nania dari kepala hingga ujung flat shoes yang dipakainya. Ia lalu mengarah pandangan padan calon ibu mertuanya yang berdiri beberapa meter di belakang Nania.
Beberapa saat kemudian, Nania dan Leon telah berada dalam mobil yang melaju sedang. Sebelumnya Leon meminta izin pada kedua orang tua Nania untuk mengajaknya pergi hari ini, dengan alasan, mengurus pernikahan. Ia juga menyampaikan bahwa orang tuanya mungkin datang sekitar pukul 10 pagi.
Leon sesekali melirik Nania yang menekuk wajah. Nania kesal, ia berhasil keluar dari kandang tapi harus bertemu singa.
“Aku turun di depan,” ucap Nania.
“Kau kira aku sopir?”
Nania menoleh, menatap Leon dengan mata mendelik. “Lalu kau mau membawaku ke mana? Aku lapar, aku belum sarapan.”
Leon hanya diam, sampai akhirnya ia membelokkan setir ke sebuah restoran. Ia akan mengajak Nania fitting baju, jika wanita itu kelaparan, pasti akan merepotkan.
“Kenapa kita ke sini?”
“Siapa tadi yang bilang lapar? Dasar lambat,” kata Leon sambil memberi Nania delikan, membalas delikan Nania sebelumnya.
Nania melotot. “Apa lambat? Kau bilang aku lambat?” sungutnya tak terima.
“Ya lambat berpikir, dan lambat dalam segala hal. Aku masih ingat saat dulu kau masih bekerja, kau bahkan butuh waktu tiga hari menyelesaikan tugas saat orang lain bisa mengerjakannya satu jam.”
Kemarahan Nania naik ke ubun-ubun. Terlalu kesal, ia menarik tangan Leon dan menggigit pergelangan tangannya.
“Akh! Apa yang kau lakukan?! Akh! Lepaskan, sialan!” Leon mengerang kesakitan. Ia berusaha melepaskan tangannya, tapi Nania mencengkeramnya dengan kuat dan menggigitnya seperti seekor serigala kelaparan. Tak tahan lagi dengan sakitnya, satu tangannya mendorong kepala Nania kuat-kuat hingga barulah Nania melepaskan gigitannya.
Nania mengusap mulutnya kasar kemudian keluar dari mobil saat Leon masih mengerang memegangi pergelangan tangan. Ia pun berjalan cepat pergi dari sana.
“Agh!” Leon masih mengerang merasakan tangannya yang serasa terkoyak. Jejak-jejak gigi Naia tertinggal pada pergelangan tangannya disertai jejak kemerahan hampir kebiruan.
Sementara itu, Nina tampak celingak-celinguk menoleh ke kanan dan ke kiri saat ia hendak menyeberang jalan. Ia pikir ia harus segera pergi, jika tidak, Leon mungkin akan membunuhnya.
Din!
Nania tersentak kaget hingga terjingkat saat suara klakson terdengar. Sebuah mobil tiba-tiba menepi dan berhenti di depannya. Alis Nania pun berkerut memperhatikan mobil berwarna merah itu hingga perhatiannya beralih pada seseorang yang turun.
Seorang pria turun dari mobil itu dan berjalan menghampiri Nania. Pria itu tak lain adalah, Arsen, mantan Nania.
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nania.
“Apa maksudmu, Nan? Ini tempat umum. Harusnya aku yang tanya, apa yang kau lakukan di sini? Kau berdiri di tengah jalan masuk, menghalangi mobilku,” ucap Arsen.
Nania menoleh ke samping, mengukur apakah ia berdiri tepat di tengah jalan masuk ke restoran atau tidak, dan menurutnya, tidak sama sekali.
“Apa kau baru bisa menyetir? Lihat, ini masih cukup luas,” ucap Nania sambil menunjuk ke bawah sisi kanannya.
“Ck, kenapa nada bicaramu jadi seperti ini, Nan?”
“Kau masih bertanya, kenapa?!” teriak Nania dalam hati.
“Apa karena kau cemburu aku akan menikah dengan Melinda?”
Nania menatap Arsen dengan pandangan tak percaya. Kenapa sekarang Arsen sangat memuakkan?
“Maaf sekali, Nan. Tapi kau harus menerima kenyataan. Aku–”
“Sudah selesai?” potong Nania. “aku tanya apa sudah selesai? Harusnya kau malu, setelah putus denganku kau justru mendapatkan janda beranak satu. Seleramu rendah sekali,” ucapnya kembali. Ia sama sekali tak peduli dengan perasaan Arsen, tak peduli jika pria itu marah atau sakit hati.
Arsen tampak kesal, tangannya pun mengepal. “Apa katamu?! Setidaknya dia lebih segalanya darimu! Dia lebih dewasa, lebih cantik, dan yang paling penting, lebih kaya. Apa kau tahu? Mobil ini.” Menunjuk mobil yang ia kendarai. “ini adalah mobil yang dia belikan untukku. Dia bisa membelikanku apapun, memberiku apapun, bahkan aku minta satu perusahaan padanya, dia akan memberikannya. Lalu, apa kabar denganmu? Apa yang bisa kau lakukan?”
Plak!
Tangan Nania mendarat keras di pipi Arsen. Ia tak tahan lagi mendengar ucapan mantan pacarnya itu bahkan menyesal, kenapa dulu ia mencintai pria sepertinya. Apa Arsen lupa? Selama ini saat Arsen membutuhkan pinjaman uang, ia selalu memberinya tanpa berharap dikembalikan. Ia juga tidak pernah meminta apapun padanya, dan tak pernah menerima apapun darinya.
Arsen memegangi pipi yang terasa panas lalu menatap Nania dengan tawa mengejek. “Akui saja kau kalah telak. Melinda memang janda, tapi dia janda kaya.”
Duagh!
“Argh!” Arsen mengerang memegangi asetnya yang terkena tendang. Nania menendang aset mungilnya yang berharga hingga ia perlahan merosot dan berlutut.
“Dasar mokondo!”
Tap!
Nania terkejut saat seseorang meremas pergelangan tangannya saat ia hendak menghajar Arsen. Ia menoleh dan menemukan Leon yang melotot padanya dan menatapnya seperti makhluk dengan dua tanduk di kepala.
“Mau ke mana kau?!” geram Leon disertai seringai kepuasan. Ia akan membalas Nania yang sudah membuat tato gigi-giginya di pergelangan tangannya.
Nania menatap Leon dengan pandangan tak terbaca dan secara tiba-tiba, satu tangannya yang bebas menarik leher Leon hingga pria itu menunduk. Di saat yang sama, ia berjinjit dan bertemulah bibir mereka.
Mata Leon melebar merasakan bibirnya dan bibir Nania bertemu. Keterkejutannya membuatnya tanpa sadar melonggarkan cengkraman tangannya pada tangan Nania.
Merasakan cengkraman tangan Leon mengendur, Nania menarik tangannya dan mengalungkannya di leher Leon, mengikuti satu tangan yang lebih dulu mengalung. Ia lalu memperdalam ciumannya tak peduli mereka berada di tempat umum sekarang.
Arsen yang sebelumnya meringkuk dan mengerang, seketika melebarkan mata saat ia mendongak dan melihat Nania b******u dengan pria tepat di hadapannya.