Leya memeluk pinggang Max saat mereka berada di salah satu pusat pembelanjaan. Mereka memang berencana ingin melewatkan waktu berdua seharian ini mengingat ini hari libur, meskipun sebenarnya Max inginnya mereka meluangkan waktu berdua di atas ranjang.
"Mau beli apa?" Tanya Max sambil merangkul bahu kekasihmya.
"Aku ingin membeli baju." Kata Leya lalu menggiring Max ke toko baju langganannya.
Ini bukan yang pertama kalinya Leya meminta dirinya untuk menemaninya berbelanja, meakipun lama namun dia senang menemaninya.
Leya sendiri sebenarnya ingin membayar sendiri karena dia berbelanja tidk banyak namuan harganya bisa dibilang sangat mahal.
"Sebwnarnya aku bisa membayar sendiri." Kata Leya setelah mereka sudah selesai belanja.
"Iya, aku tau. Aku hanya ingin memanjakanmu." Kata Max yang membuat Leya terkekeh.
"Ada satu lagi yang belum aku beli." Kata Leya yang di angguki saja oleh Max, dia tentu saja tidak mempermasalahkan berapapun total belanjaan Leya dan apapun yang di belinya karena dia sendiri yang ingin membayarnya.
Max mengerutkan dahinya karena Leya malah membawanya ke toko pakaian dalam namun Max tetap menurut dan ikut masuk.
Leya terlihat mencari-cari barang yang ingin dia beli dan tersenyum saat melihatnya.
"Bagaimana menurutmu, Sayang?" Tanya Leya menunjuk patung dimana disana ada barang yang dia cari.
"Seksi jika kau memakainya, tapi untuk apa? Kau saja tidak mau dimasuki." Ucap Max menyindir kekasihnya karena dia malah menunjuk lingerie seksi yang ada di patung.
Leya terkekeh,
"Aku tidak mau karena kau belum menikahiku." Kata Leya.
"Yakin aku belum mengajakmu menikah? Sudah kau hitung belum ajakan-ku menikah sudah berapa puluh kali." Kata Max.
"Ck! Kau mengajakku menikah secara mendadak, bukan rencana. Tidak ada orang mengajak menikah langsung meminta besok, jelas aku tidak mau. Kau saja belum memperkenalkan aku dengan orang tuamu. Kita beluk melakukan pertemuan keluarga." Kata Leya yang akhirnya Max terkekeh.
"Baiklah, sekarang katakan. Kau siap aku nikahi kapan?" Tanya Max.
"Nanti dulu, aku mau membeli ini dulu, baru kita membahasnya di apartemen." Kata Leya yang di angguki saja oleh Max.
"Aku kira kau bercanda membeli itu," kata Max saat mereka sudah ada di mobil.
"Hanya berjaga-jaga, suatu saat aku oasti membutuhkannya untuk menggodamu." Kata Leya.
"Kau tidak memakai itupun selalu terlihat menggoda di mataku." Kata Max.
"Kau saja yang mesum." Perkataan Leya akhirnya membuat Max tertawa. Bagaimana lagi, dia memang tidak bisa menahannya jika sudah berdekatan dengan kekasihnya.
Dia akhirnya melajukan mobilnya menuju apartemennya, keluar hanya dua jam, namun rasanya melelahkan bagi mereka.
Leya baru saja meletakkan belanjaannya di sofa namun Max sudah memeluknya dari belakang yang membuat Leya terkejut namun tersenyum.
"Kau sangat mencintaiku?" Ucap Leya.
"Pertanyaan yang bodoh." Ucapan Max membuat Leya terkekeh, tentu saja dia sangat tau kalau Max mencintainya bahkan lebih dari apapun, begitupun dengannya.
"Kau dulu sangat dingin, aku tidak menyukaimu." Kata Leya.
"Tapi sekarang bahkan aku takut kehilanganmu,"
"Kau tidak akan pernah kehilanganku. Justru aku yang takut karena kau tidak mau dinikahi olehku." Ucap Max.
"Kau hanya mengajakku menikah tapi tidak menemui ayahku, tenth saja aku tidak mau, aku menganggap kau tidak begitu terlalu serius mengajakku menikah."
"Maaf, Sayang. Kau tau sendiri pekerjaanku sangat banyak, aku terkadang tidak memiliki waktu untuk bertemu ayahmu,"
"Kau selalu bertemu dengannya saat meting."
"Membahas pekerjaan dan membahas sebuah hubungan akan lebih baik jika momennya berbeda, Sayang." Ucap Max.
"Karena sekarang ibuku pun sudah tau tentangmu, aku akan membawamu dulu ke mansion, barulah aku akan menemui ayahmu bersama orang tuaku untuk membahas pernikahan." Kata Max yang membuat Leya akhirnya melepaskan pelukan Max yangs edari tadi membelit perutnya dari belakang.
"Benarkah?" Tanya Leya yang di angguki oleh Max.
"Aku ingin kau segera menjadi milikku." Kata Max.
"Aku memang sudah menjadi milikmu." Kata Leya tersenyum.
"Belum," kata Max yang dimengerti oleh Leya namun tidak menjawab perkataan kekasihnya karena ponselnya berdering dan ternyata itu adalah ayahnya.
"Ya, Pa?" Ucap Leya menjawab telefon dari ayahnya.
"Kau dimana, Sayang?" Tanya Niko di seberang sana.
"Aku—
Leya menjeda perkataannya lalu menoleh ke arah Max.
"Aku sedang berkunjung di apartemen temanku." Kata Leya yang membuat Max menyilangkan tangannya di da danya.
Leya menahan tawanya namun akhirnya menjauh dari Max agar tidak tertawa saat mengobrol dengan ayahnya.
Max sendiri membiarkannya karena tidak ingin terlalu menganggu Leya yang mengobrol dengan ayahnya, dia memilih untuk membuka kaosnya dan pergi ke balkon untuk merokok.
Max terkejut saat Leya meraih rokoknya dan menyesapnya. Max menggelengkan kepalanya dan meraihnya kembali dan akhirnya mematikannya. Dia menggendong Leya seperti karung beras namun Leya tidak memberontak,
"Mau suka sekali menggendongku seperti itu." Kata Leya ketika Max sudah menurunkannya di atas ranjang.
"Jadi aku temanmu?" Ucap Max.
"Ya, teman hidupku nanti." Kata Leya mengalungkan tangannya dileher Max.
"Sebentar lagi aku harus kembali, Papa memintaku untuk menemaninya ke pusara adiknya, tidak apa kan?" Tanya Leya.
Max tersenyum dan menecup singkat bibir Leya.
"Hm. Mau aku antar?" Tanya Max.
"Tidak perlu. Aku kan membawa mobil." Ucap Leya
******
Sementara ditempat lain, terlihat seorang pria paruh baya yang berada di depan pusara adik dan kedua orang tuanya.
Dia mengepalkan tangannya dan menitikkan akr matanya karena dia kehilangan orang-orang yang dia cintai dengan tragis dan memilukan.
"Papa!" Panggil wanita cantik yang membuat pria paruh baya itu menoleh dan akhirnya tersenyum.
"Kemarilah, Sayang." Ucap Niko kepada putrinya Leya.
"Papa dari tadi?" Tanya Leya.
"Hm, sekitar 10 menit yang lalu." Kata Niko yang membuat Leya memeluk ayahnya, dia sangat tau jika ayahnya akan sedih jika berada di pusara Kakek Nenek dan Tante-nya.
Leya hanya diam saja sambil memeluk ayahnya, dia sangat tau bagaimana kisah kematian mereka sampai akhirnya hanya tinggal ayahnya,
"Jangan terlalu dendam, Pa." Kata Leya yang memperingati ayahnya bahkan sudah berkali-kali karena dia tau ayahnya masih sangat dendam kepada orang-orang yang membuat keluarganya meninggal. Padahal semua itu bukan sepenuhnya salah orang itu.
Niko hanya menanggapinya dengan senyuman namun lalu mencium kening putrinya sebentar.
'Mana mungkin aku tidak dendam Leya, mereka telah membuat kematian keluarga kita benar-benar tragis, terutama adikku.' Batin Niko.
Dia sama sekali tidak mengatakan jika memang dirinya masih memiliki dendam yang sangat mendalam kepada mereka semua. Meskipun memang awalnya keluarganya yang salah.