Di lain tempat Daffa masih tertidur lelap di sofa apartemen Valen. Sisa mabuk semalam belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya.
"Daffa, udah siang nih kamu nggak bangun." Valen berusaha mengguncangkan bahu Daffa, namun pria itu seakan tak terganggu.
Valen membuka lebar gorden yang menutupi kaca lebar yang ada di ruang tamu agar Daffa merasa terganggu dan cepat bangun karena dia juga akan berangkat bekerja.
"Daffa ayo bangun!" Karena tak kunjung bangun Valen menarik paksa kedua tangan Daffa agar pria itu bisa duduk. Namun, jauh dari perkiraannya Daffa malah memeluk tubuhnya erat dan berbisik tidak jelas di dekat telinganya.
Tubuh Valen membeku dan jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
"Daffa?"
"Hmm ...."
"Lepas ya."
Daffa mulai sadar dan langsung melepas pelukan itu. "Sory Len, gur udah lancang," ucap Daffa merasa sangat tidak enak pada Valen.
"Nggak apa-apa, bangun gih udah siang nih."
Matanya menyipit melihat jam tangannya ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan.
"Astaga, Kejora!" Daffa langsung mencari-cari ponselnya untuk menelfon kakak iparnya menanyakan Kejora.
Namun, sebelum dia menelfon ternyata sudah sangat banyak panggilan tak terjawab dari Dea ataupun Deva.
"Kenapa Daf?"
"Aku lupa hari ini Kejora harus masuk sekolah, pasti tadi pagi dia ngambek." Daffa benar-benar merasa tak tenang dan langsung menghubungi Dea balik.
"Halo kak, Kejora gimana?" Tanya-nya saat Dea mengangkat panggilannya.
"Sudah berangkat kok, kamu nggak usah khawatir ya selesaiin dulu kerjaannya," jawab Dea penuh pengertian.
"Ngambek nggak?"
"Pasti, dia kan mirip kamu dikit-dikit ngambek."
Akhirnya Daffa bisa bernafas lega setelah mendengar kondisi putrinya.
"Yasudah aku matiin dulu ya kak, bye."
Daffa langsung memutus panggilan telfonnya dan menatap Valen yang juga tengah menatapnya.
"Semalam kamu mabuk berat, lagi banyak masalah ya?"
Valen tersenyum tipis dan menggeleng.
"Asal kamu tau, Len, orang mabuk itu nggak pernah pernah bohong. Semua yang keluar dari mulutnya adalah kejujuran."
"Kamu teriak-teriak panggil nama mantan suami kamu, kenapa?"
Valen hanya tertawa dan berjalan menuju mini bar yang berada di dekat dapur untuk membuat kopi.
"Dia udah punya cewek lagi, parahnya dia kasih rumah kita dulu ke perempuan itu."
Daffa berdiri dan menyusul Valen yang sudah menyesap kopi buatannya. "Kamu masih cinta sama dia?"
"Nggak sih, cuma ada yang aneh aja lihat dia sama yang lain," jawab Valen sambil tertawa agar kesedihannya sedikit tertutupi.
"Kebanyakan sih begitu, meskipun kita sudah berusaha ikhlas tapi tetap saja ada rasa yang mengganjal. Sabar ya." Daffa menepuk puncak kepala Valen lembut.
"Mandi dulu abis ini sarapan aku udah masak tadi."
Daffa mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi yang tak jauh dari dapur.
Setelah ini dia akan berangkat ke Bandung untuk menghadiri resepsi pernikahan teman komunitasnya sekalian kimpul-kumpul dengan beberapa teman yang lain.
Selesai mandi, Daffa langsung menyusul Valen yang sudah berada di meja makan.
"Maaf kalau lidah kamu nggak cocok sama masakan aku," ucap Valen sebelum Daffa menyendokkan nasi dan ayam kecap yang sudah Valen masak.
"Enak kok," jawab Daffa setelah dia memasukkan satu sendok penuh nasi dan ayam lalu mengunyahnya.
Valen tersenyum lega dan kembali makan dengan hening.
**
Selesai sarapan Daffa langsung berpamitan pulang karena dia harus bersiap menuju Bandung bersama beberapa temannya yang berada di Jakarta.
Karena hari ini acara yang formal, Daffa memilih pakaian formal pula. Kemeja yang dia padukan dengan celana bahan.
Setelah merasa penampilannya oke, dia segera melajukan mobilnya menuju titik kumpul dan berangkat ke Bandung bersama-sama.
Sesampainya di gedung resepsi, dia dan teman-temannya yang lain langsung masuk dan memberikan selamat pada pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan.
"Selamat bro, semoga cepat dikasih momongan," ucapnya sambil berjabat tangan ala lelaki.
"Thanks bro, lo juga buruan nyusul ya biar ada yang bantu urus Kejora." Semua teman-temannya memang sudah kenal baik dengan putrinya karena setiap ada perkumpulan Kejora tak pernah absen ikut.
"Doain ya." Jawabnya setelah itu beralih pada mempelai wanita dan berjalan turun dari pelaminan.
Daffa nenyusul teman-temannya yang lain dan menyalimi mereka satu persatu.
"Kejora mana kok nggak di ajak?" Tanya Mas Ghani yang duduk di sampingnya.
"Sekolah, mas, ribet nanti kalau di ajak."
"Iya sih, apalagi ini perjalanan lumayan jauh."
"Randi mana nih kok nggak kelihatan?" Tanya Daffa.
"Lagi absen, istrinya sakit jadi anaknya nggak ada yang urus," jawab Asep mewakili yang lain.
Daffa mengangguk dan mengamati para tamu undangan yang hadir siang hari ini.
Saat melihat-lihat tamu yang hadir mata tajam Daffa menangkap wajah orang yang tidak asing. Dia langsung berdiri dan mendekati seseorang yang tidak asing itu dan memastikan keberadaannya.
Setelah dia berjarak sekitar 2 meter dari tempat orang itu, Daffa benar-benar yakin kalau pria berbadan tinggi besar itu adalah bodyguard Reza Alendra —mantan mertuanya.
Dengan cepat Daffa langsung menghampiri pria itu dan mencoba menyapanya baik-baik agar pria itu tak emosi dan berujung tak mau memberinya informasi.
"Pak Roni kan?"
Pria itu terlihat mengamati Daffa dengan seksama dan mengangguk. "Anda siapa? ada keperluan apa dengan saya?"
"Bisa kita bicara di luar sebentar?"
"Saya tanya anda siapa?!" Pria itu mulai terlihat kesal pada Daffa.
"Saya Daffa, mantan suami Raya."
Mendengar itu, Roni langsung terdiam dan tampak ingin cepat-cepat menghindari Daffa.
"Maaf, saya sudah tidak bekerja sama dengan keluarga Alendra. Permisi."
Daffa langsung menahan tangan Roni agar tidak pergi karena dia sangat berharap mendapat sedikit penjelasan tentang kondisi Raya saat ini.
"Tolong jangan memancing kemarahan saya!" jawab Roni dengan nada suara garang.
"Saya hanya membutuhkan sedikit jawaban, saya mohon."
Setelah beberapa saat diam, akhirnya Roni mengangguk dan berjalan keluar dari dalam gedung.
"Apa yang ingin kamu ketahui?" Tanya Roni to the point.
"Dimana Raya sekarang?"
"Terakhir kali saya menjaga nona Raya 2 tahun lalu, saat itu dia dan Tuan Alendra berada di Singapura entah sekarang mereka pindah kemana lagi."
"Keadan Raya bagaiaman? dia baik-baik saja kan?" Tanya Daffa sangat antusias karena Roni mulai menjawab pertanyaannya.
"Kurang baik, nona Raya sempat depresi dan mulai sakit-sakitan."
Senyum yang sebelumnya merkah kini perlahan pudar saat mendengar kabar pilu itu.
"Raya sakit?"
Anggukan Roni benar-benar membuat tubuh Daffa lemas karena dia merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Raya dari orang tuanya.
"Apa saya ada kesempatan buat bertemu Raya?"
Roni langsung menggeleng tegas karena dia tahu betul bagaimana watak Alendra.
"Lebih baik kamu lupakan nona Raya dan buat lembaran baru dengan wanita lain. Raya sudah tidak mungkin kamu gapai lagi."
Mendengar ucapan Roni mata Daffa langsung berapi-api marah karena selama ini dia selalu optimis bisa mendapatkan Raya kembali dan berkumpul seperti sedia kala.
"Kenapa tidak? saya yakin Raya masih mencintai saya dan dia juga ingin bertemu anaknya!"
"Tuan Alendra semakin ketat menjaga nona Raya, bahkan dia sibuk berpindah-pindah negara agar Nona Raya tidak bisa berkutik."
Mendengar itu Daffa berteriak kesal. Mantan mertuanya benar-benar iblis.
"Pak Roni tau nomor telefon Raya?"
"Sayangnya tidak. Kami sebagai karyawan dilarang keras menyimpan nomor pribadi majikan."
Daffa mengepalkan tangannya kuat karena dia semakin merasa emosi mendengar fakta pedih itu.
"Nona Raya bisa lepas setelah tuan Alendra sudah tidak ada. Kalau kamu mau, silahkan menunggu sampai waktu itu tiba. Saya permisi!" Roni langsung berjalan cepat meninggalkan Daffa yang masih dirundung emosi.
Mantan mertuanya memang pria tak punya hati sampai tega menyekap putrinya sendiri dan juga memisahkan Kejora dari ibu kandungnya.
Andai dia tau keberadaan Raya saat ini, dia pasti akan membebaskannya dan kembali mengajaknya hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.
"Disini ternyata, dicariin mas Ghani tuh," ucap Tirta yang sudah berada di sampingnya.
"Kenapa?"
Tirta menaikkan bahunya tak mengerti. "Yaudah masuk yuk."
Daffa mengikuti langkah Tirta masuk ke dalam gedung dan menghampiri semua teman-temannya yang sudah berkumpul.
"Dari mana, Daf?"
"Dari luar mas," jawabnya lesu.
"Ada masalah?"
"Aku abis ketemu bodyguard Raya dulu."
"Terus kamu dapat info soal Raya?"
Daffa menggeleng lemah. "Raya dan Papinya nggak pernah menetap di satu negara."
"Totalitas banget sembunyiin Raya dari kamu."
"Dia emang nggak punya hati, mas! oke lah kalau nggak suka sama nggak apa-apa, aku rela nggak ketemu Raya asal Kejora bisa bertemu dan mengenal ibunya."
Ghani menepuk bahu Daffa dan berusaha menguatkannya. Selama ini dialah saksi bisu kisah cinta Daffa dan Raya yang tak pernah berjalan mulus.
"Seumpama suatu hari nanti Raya kembali apa yang kamu lakukan?" Tanya Ghani.
"Rujuk lagi. Selain untuk kebaikan Kejora, hatiku juga masih membutuhkan dia."
"Kamu optimis kalau dia masih cinta sama kamu?"
Daffa berdecak dan memandang sinis Ghani yang berniat meledeknya. "Kalau emang begitu kenyataannya ya nggak apa-apa asal cinta dia ke Kejora nggak pernah pudar."
"Pasti Kejora sekarang sering tanyain mommy-nya."
"Sering banget sampai aku bingung kasih alasan apa lagi."
"Cariin Mommy baru aja," ucap Ghani sambil tertawa terbahak-bahak.
Daffa tetap menggeleng karena dia optimis Raya akan kembali.
"Tapi jangan terlalu menutup diri, Daf. Banyak cewek yang mau berbagi kesenangan."
"Nggak kepikiran sampai situ, tiap hari udah sibuk banget ngurus kerjaan sama Kejora."
Ghani benar-benar bangga pada sifat yang Daffa miliki.
"Saya benar-benar bangga dengan kegigihan kamu."
****