Setelah puas memanjakan dengan tidur beberapa jam, Daffa harus segera menjemput Kejora yang masih berada di rumah kakaknya. Seharian tanpa Kejora memang ada yang kurang lengkap karena sudah terbiasa direcoki olehnya.
Saat diperjalanan Daffa mampir ke toko cokelat dan burger king yang selalu menjadi favorit Kejora. Karena penghuni rumah Deva cukup banyak Daffa membeli banyak sekalian untuk buah tangan dan sogokan untuk putrinya agar tidak marah lama-lama pada dirinya.
Tiga puluh menit kemudian mobil Daffa mulai memasuki halaman rumah kakaknya yang terbilang cukup luas. Dengan senyum lebar Daffa masuk begitu saja ke dalam rumah agar Kejora terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
"Sudah pulang kamu?"
Daffa mengangguk dan siap menerima pelukan hangat putrinya.
"Jora mana kak?" Tanya Daffa pada Dea yang tengah menimang baby Al di ruang tengah.
"Lagi dikamar sama mas Deva, dia lagi sedih."
"Loh kenapa? dia di ejek temannya lagi?"
"Nggak Daf, jadi tadi di sekolah dia dapat tugas kerajinan buat bingkai foto terus bingkai itu diisi sama foto keluarga."
Daffa mengerutkan kening karena dia masih belum paham betul. "Sedih kenapa? kan Jora udah punya foto banyak."
"Maksudnya foto dia sama ayah ibunya, Daffa, kamu lola banget sih!"
Kalau urusannya sudah begini pasti susah. Kejora pasti akan sangat rewel dan akan terus-terusan mengungkit tentang keberadaan Mommy-nya.
"Dari pulang sekolah sampai sekarang dia nangis terus, nggak mau makan, di jailin Alfa nggak mempan." Sampai-sampai Dea ikut stress sendiri.
"Terus sekarang sudah makan?"
"Udah, dibujuk sama mas Deva."
Daffa langsung meletakkan semua makanan yang dia bawa dan berlari menuju kamar utama rumah ini.
Daffa mengurungkan niatnya saat akan membuka pintu lebar-lebar karena mendengar percakapan antara Kejora dan Deva.
Hatinya seperti di remas-remas kuat saat mendengar curahan hati Kejora. Gadis kecil nan polos itu menceritakan seluruh isi hatinya dengan sejujur-jujurnya.
"Pa, mommy Jola itu baik apa enggak olangnya?"
"Baik banget, sayang sama daddy, sayang sama Jora, sayang sama oma, opa, papa, mama, dan kak Alfa." Jawab Deva sambil mengusap lembut kepala Kejora yang tengah berada di atas pangkuannya.
"Kalau sayang sama Jola kenapa Mommy tega ninggalin Jola sama daddy?"
"Sayang dengerin papa, mommy nggak pernah ninggalin Jola."
"Semua bilang gitu sama Jola! tapi mommy nggak pulang-pulang. Pa, apa mommy sudah meninggal?"
Mendengar itu, Daffa langsung masuk ke dalam dan menghampiri Kejora dan Deva yang berada di atas ranjang.
Melihat daddy-nya masuk Kejora langsung membalikkan badannya menghadap Deva dan menyembunyikan wajahnya di d**a Deva.
"Papa, Kejola ngantuk!" ucapnya sebelum Daffa mulai berbicara.
"Jora marah dama daddy?"
Kejora tak menjawab dan semakin mengeratkan pelukannya pada Deva.
"Daddy minta maaf ya, daddy janji besok lebih perhatian sama Kejora."
Kejora tetap tak menggubris ucapan ayahnya dan memilih membisu di pelukan Deva.
"Nanti papa ikut marah kalau Jora nggak mau maafin daddy." Ancam Deva agar Kejora mau berbaikan dengan Daffa lagi.
Meski terdiam cukup lama akhirnya Kejora mau membalikkan badannya dan mengulurkan tangan kanannya terlebih dahulu pada Daffa untuk meminta maaf.
Dengan senang hati Daffa langsung menyambut uluran tangan putrinya. "Sini sama daddy."
Kejora berdiri dan langsung memeluk tubuh ayahnya erat. "Daddy dali mana aja sih!"
"Maaf ya daddy kelamaan ninggalin Jora."
Kejora mengangguk dan mulai menggelendot manja pada ayahnya.
"Keluar yuk daddy tadi bawa cokelat sama burger buat Jora sama kak Alfa."
Respon Kejora hanya mengangguk dan menyandarkan kepalanya di d**a ayahnya.
"Kok masih sedih, daddy kan udah disini sayang."
"Jola mau ketemu mommy, bu Aline bilang kamis Jola halus bawa foto kelualga."
Daffa memandang Deva yang juga terlihat susah. "Foto Jora sama mommy kan udah banyak dirumah nanti dibawa satu nggak apa-apa."
"Itu Jola masih kecil Daddy! yang bu Aline maksud foto sekalang!" Suara Jora mulai meninggi dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Yasudah nanti daddy bilang ke bu Raline kalau Jora pakai foto waktu kecil, pasti dibolehin bu Raline."
"Jola nggak mau daddy! pokoknya Jola mau ketemu mommy!"
"KEJORA!!!" Bentak Daffa dengan suara yang lebih tinggi dari Kejora.
"Papa daddy nakal." Kejora menangis keras dan kembali ke pelukan Deva yang juga terlihat marah pada Daffa.
"Yaudah sana ikut papa nggak usah ikut daddy lagi! daddy nggak suka sama anak yang rewel, nggak mau di atur!!"
Kejora semakin menjerit kencang di pelukan Deva saat ayahnya ikut murka dan berbicara yang tidak-tidak.
"Daddy mau pergi kamu nggak usah cari daddy lagi!"
Deva hanya diam dan berusaha menutupi kedua telinga Kejora karena sekali marah ucapan Daffa sering tak terkontrol.
"Foto aja sama papa kamu, nggak usah sama daddy!" Daffa berlalu pergi begitu saja dari kamar meninggalkan Kejora yang masih menangis sangat Keras.
Hatinya benar-benar terbakar emosi. Dia merasa benci dengan dirinya sendiri yang tak pernah bisa membuat anaknya bahagia meski segala cara sudah ia lakukan.
Panggilan Dea sudah tak ia hiraukan lagi saat dia lewat di depannya, dia terus berjalan cepat keluar rumah dan mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan di jalan raya. Malam ini dia benar-benar frustasi dan membutuhkan pelampiasan.
Kini mobilnya sudah berhenti di salah satu bar yang kemarin malam dia kunjungi. Dalam pikirannya, mungkin bir bisa menjadi solusi untuk masalahnya malam ini.
Namun, saat tangannya sudah membuka pintu mobil, Daffa mengurungkan niatnya dan mengunci kembali. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti mengunjungi bar saat ada masalah.
Kini Daffa hanya mengendari mobilnya seperti orang linglung karena dia merasa sendirian dan tak memiliki teman untuk diajak berbagi.
Ponselnya juga terus berdering tapi dia tak peduli sama sekali. Kalau dia nekat kembali ke rumah kakaknya dia takut akan semakin lepas kendali.
Saking bingungnya akhirnya Daffa memilih mendatangi apartemen Valen karena dia merasa Valen satu-satunya teman yang bisa ia ajak berbagi saat ini.
Karena kemarin sempat menginap disini, tanpa menghubungi Valen terlebih dahulu dia langsung naik menuju unit apartement-nya yang ada di lantai 5 nomor 20.
Beberapa saat setelah dia memencet bell, Valen langsung membuka pintu apartemen-nya dan terkejut melihat kedatangan Daffa malam ini.
"Daffa? yuk masuk dulu."
Valen mempersilahkan Daffa duduk di sofa depan tivi yang masih menyala.
"Mau minum apa Daf?"
"Bir kadar rendah kalau ada."
Valen terkekeh dan langsung pergi mengambil pesanan Daffa. Malam ini penampilan Valen benar-benar seksi dan menggairahkan. Bahkan sisi pria Daffa yang selama ini tak terusik malam ini sedikit terusik gara-gara melihat penampian Valen yang jauh berbeda.
Wanita turunan tiongkok itu berjalan dengan anggun dari arah dapur sambil membawa bir dan beberapa camilan.
"Tenang, ini nggak bikin mabuk kok." Valen menuang bir yang sudah ia buka ke dalam gelas agar bisa langsung Daffa teguk.
"Thanks, Len." Daffa tersenyum pada Valen yang masih memperhatikannya.
"Ada masalah?" Tanya Valen to the point karena raut wajah Daffa benar-benar sudah terbaca.
"Kejora pengen ketemu Mommy-nya."
"Kamu benar-benar nggak ada akses buat tau kabar dia nggak? setidaknya anak kamu bisa telfon atau video call meski belum bisa ketemu."
Daffa kembali meneguk bir yang ia tuang dalam gelas dan kembali berbicara. "Posisi dia aja aku nggak tau, Len, apalagi nomor hape dia."
"Sosmed?"
Dari dulu aku berusaha cari sosmed dia yang baru tapi nihil, Raya seperti hilang ditelan bumi.
"Yasudah tenangin diri kamu dulu, emosinya di redam, kasian anak kamu dia masih kecil dan nggak tau apa-apa masalah orang tuanya."
"Sekarang aku merasa bersalah banget, Len, udah bentak-bentak Kejora dan ninggalin dia gitu aja."
Valen terlihat tidak suka dengan perlakuan Daffa pada putrinya yang masih kecil.
"Nggak seharusnya kamu bentak-bentak dia. Naluriku sebagai ibu juga nggak terima kalau anak kecil dibentak atau dikasari karena dia hanya ingin menyampaikan apa yang dia rasakan."
Daffa mengacak rambutnya frustasi karena yang Valen ucapkan memang benar semua.
"Kalau kamu terus-terusan seperti ini jangan harap anak kamu tumbuh dengan kepribadian yang normal karena setiap dia ingin terbuka tentang isi hatinya ayahnya suka marah-marah dan bentak dia sesuka hati."
"Len, jangan ngomong begitu." Meski tak sering namun beberapa kali Daffa pernah marah besar seperti hari ini dengan sumber masalah yang sama yaitu perihal "Mommy."
"Aku salah satu korbannya, waktu kecil papa sering marah-marah ke aku dan bentak-bentak dengan kata-kata yang tak pantas karena aku memang bukan anak yang diharapkan. Kamu tau, setiap kata yang terlontar dari bibir papa aku rasanya seperti ditusuk duri tajam sampai aku nggak bisa lupain kejadian itu sampai kapan pun."
Perasaan basa bersalah semakin berkerumun di dalam hati Daffa. Dia mulai ingat rasa sakit saat papanya dulu sering membentak dan memaki dirinya dengan kata-kata pedas dan kasar. Dia tak mau Kejora merasakan apa yang sudah ia rasakan karena itu sangat menyakitkan.
"Jangan seperti itu lagi Daf, apalagi anak kamu cewek pasti dia lebih sensitif."
"Aku menyesal, Len. Setiap dia tanya soal mommy-nya emosiku langsung naik begitu saja."
"Itu yang perlu kamu rubah, coba lebih sabar dan beri dia pengertian baik-baik biar dia ikut mengerti dan nggak bikin emosi."
"Makasih Len. Dari dulu aku selalu egois dan nggak pernah mencoba melihat dari sudut pandang seorang ibu."
****