Sementara Daffa, malam ini dia memutuskan mengunjungi bar karena teman-temannya tengah berkumpul disana.
Beberapa temannya menyambutnya dengan heboh karena papa muda itu sangat sulit mereka ajak kumpul-kumpul.
"Wah, wah, kesambet apa nih papa muda tiba-tiba mau ikut join." Celetuk Rio yang sudah merangkul wanitanya.
"Lagi kangen sama lo!" Jawab Daffa asal dan langsung menghidupkan rokok yang sudah ia beli sebelumnya.
"Idihh! jangan bilang karena kelamaan duda lo jadi belok!" Jawab Rio tak terima.
"Sal, coba lo deketin tuh duda kira-kira masih bisa turn on apa enggak." Perintah Aldo pada wanita sewaannya malam ini.
"Eh, anjing bener ya lo." Umpat Daffa sambil berusaha menghindar dari sentuhan wanita cantik yang dengan cepat mendekatinya.
"Udah lah sekali-kali lo seneng-seneng jangan ngurus anak mulu."
Daffa hanya tersenyum tipis dan berusaha tidak tergoda dengan wanita liar di sampingnya.
"Eh, Daf kemarin gue ketemu Valen," ucap Aldo.
Daffa sedikit mengerutkan kening dan kembali mengingat-ingat siapa wanita yang terdengar tidak asing.
"Valen?"
"Serius lo lupa sama Valen? padahal dia masih ingat banget sama lo."
"Siapa sih, Do?"
"Bentar gue suruh dia kesini, kebetulan dia juga lagi di sekitar sini."
Aldo segera mengirim pesan pada perempuan yang dia sebutkan tadi. Dan benar, tak lama kemudian wanita cantik dan berpenampilan seksi itu datang menghampiri meja mereka.
Seketika Daffa langsung teringat dengan jelas dan memberinya senyum terbaik.
"Hai guyss, gue ikut gabung ya," ucap Velen pada mereka dan langsung mengusir Salma yang berada di samping Daffa.
Daffa tak henti-hentinya memandang Valen sambil tersenyum.
"Hai, gimana kabarnya?" Sapa Valen dengan senyum super manisnya.
"Baik, kamu?"
"Jauh lebih baik daripada dulu," jawabnya sambil tertawa lepas.
"Nah loh giliran ada mantannya langsung bisa senyum." Ledek Rio yang sudah tau hubungan Daffa dan Valen dahulu kala saat mereka masih sama-sama duduk di bangku SMP.
Daffa tak menggubris dan memilih berbincang-bincang dengan Valen karena terakhir mereka bertemu saat dia masih bekerja di kafe Sarah.
"Kayaknya disini bising banget mau nggak ke tempat lain?" Ajak Valen yang merasa tak nyaman gara-gara bau minuman dan juga musik disko yang sangat keras.
"Bentar aku pamit kunyuk-kunyuk itu. Woi, gue cabut duluan ya."
"Heh! mentang-mentang udah dapat cewek main pergi aja!" Protes Aldo.
"Bentar aja, nanti gue bakal balik lagi."
"Awas kalau sampai lo nggak balik! udah keburu beli minum banyak nih."
Daffa tak menjawab dan menarik Valen keluar dari dalam sini.
"Mau kemana, Len?" Tanya Daffa saat mereka sudah berada di luar.
"Kesana yuk cari nasi goreng, lapar banget nih." Valen menunjuk jajaran pedagang pinggir jalan yang tak terlalu jauh dari tempatnya.
"Jalan kaki aja?"
Valen mengangguk dan meraih tangan Daffa tanpa sadar lalu menggenggamnya erat.
Daffa hanya diam sambil melihat genggaman tangannya dengan Valen.
"Len, sorry." Daffa melepaskan genggaman itu karena dia merasa tak pantas menggandeng tangan Valen yang dulu pernah dikabarkan sudah menikah.
"Aku yang minta maaf, Daf, tadi refleks banget."
Daffa mengangguk dan terlihat santay.
"Btw kamu tadi dimana kok cepet banget sampainya," tanya Daffa memulai obrolan.
"Dari butik temenku di ujung jalan sana." Valen menunjuk perempatan yang masih terlihat dari posisinya sekarang.
Daffa mengangguk sambil mengamati suasana di sekitarnya yang ramai lancar.
"Udah lama ya kita nggak kabar-kabaran," ucap Valen.
"Kamu yang nggak ada kabar Len semenjak nikah."
Valen terlihat mengulum bibirnya dan memasang mimik wajah sedih saat Daffa membahas pernikahannya.
"Rumah tanggaku nggak harmonis, Daf. Suami aku super protektif sampai aku nggak boleh keluar rumah kalau nggak sama dia."
Daffa langsung menghentikan langkahnya karena saat ini hanya jalan berdua dengan Valen.
"Kenapa Daf?" Velen terlihat bingung pada Daffa yang tiba-tiba berhenti.
"Kita cuma berdua, nanti kalau suami kamu salah paham gimana?"
"Aku sudah pisah."
"Hah?"
Valen kembali menarik tangan Daffa untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Lebih baik jadi janda daripada punya suami tapi setiap hari tersiksa."
Daffa benar-benar terkejut dengan pernyataan itu. Meski dia tak begitu mengenal baik suami Valen, tapi dia sempat bertemu dan dia terlihat seperti pria baik-baik.
"Terus kamu sekarang tinggal dimana?"
"Aku beli apartemen di sekitar sini biar dekat sama tempat kerja aku."
Akhirnya mereka sampai juga di tempat penjual nasi goreng. Setelah memesan dua porsi nasi goreng Daffa langsung menyusul Valen ke tempat duduknya.
"Kalau kabar Raya sama anak kamu gimana, Daf?" Tanya Valen balik setelah beberapa saat sama-sama diam.
"Rumah tangga aku juga berantakan." Jawab Daffa sambil menahan kesedihan.
"Serius? karena apa?"
"Sejak awal pernikahan aku sama Raya emang nggak dapat restu dari orang tua Raya. Kita nikah siri dan bersembunyi di kota itu, sampai akhirnya Papi Raya tau keberadaan kita dan mengambil Raya paksa."
Valen menggenggam tangan Daffa dan mencoba menguatkan pria di hadapannya.
"Terus anak kamu ikut siapa?"
"Ikut aku. Sekarang umur dia udah 5 tahun."
Tanpa disangka kisah rumah tangga mereka hampir mirip, bedanya Daffa belum bisa mengikhlaskan kepergian istrinya sedangkan dirinya benar-benar sudah yakin berpisah.
"Terus gimana cara jelasin ke anak kamu kalau sebenarnya kamu dan Raya udah pisah?"
"Aku nggak pernah bilang apa-apa, kalau Kejora tanya dimana Mommy-nya aku jawab masih bekerja jauh dan belum bisa pulang."
Valen mengerutkan kening, "kasian anak kamu, makin berharap nanti."
"Bagi aku ini yang terbaik, Len, aku nggak mau Kejora kecewa sama Raya."
"Kamu masih cinta ya sama Raya?"
Jawabannya sudah pasti iya, belum ada wanita yang berhasil menggantikan cinta Raya.
"Sampai kapan pun aku akan tetap tunggu dia kembali, Len, karena aku yakin Raya pasti kembali."
Valen menepuk bahu Daffa salut, mantan pacarnya ini benar-benar pria sejati.
"Yasudah makan dulu yuk, ngobrolnya dilanjut nanti." Keduanya langsung melahap nasi goreng yang baru saja diantar oleh pelayan warung.
"Oh iya Len, kapan-kapan mampir ke kafe aku dong."
"Wihh di daerah mana, Daf?"
"Setia Budi sama Jayabaya, kalau resto aku ada di Jaksel."
Valen menepuk tangannya bangga. "Di Jakarta udah berdiri tiga bisnis, di Bogor Bakerynya udah banyak cabang, hebat kamu."
"Sebagian join sama orang tua aku, Len, kalau bakery itu udah aku dedikasikan buat Raya kalau di kembali aku kasih semuanya ke dia."
Valen mengangguk dan kembali menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
Selesai makan, mereka kembali jalan dan berhenti di taman yang tak jauh dari bar.
"Nggak apa-apa kan kita disini? kalau terus disana aku takut kebablasan."
"Maksudnya?"
"Mabuk, Len, kamu kayak nggak tau Rio sama Aldo aja."
"Wihh udah tobat nih, bukannya dulu kamu suka koleksi bir?" Ledek Valen.
"Udah tua Len, kasian Kejora kalau bapaknya mabuk-mabukan mulu."
"Sekali-kali boleh lah Daf, asal nggak banyak-banyak."
"Ngajak nih ceritanya?"
"Kalau kamu mau kenapa tidak? kita cari meja sendiri aja, aku males sama mereka."
Tanpa pikir panjang Daffa mengangguk dan kembali berjalan menuju bar.
Akhirnya malam ini Daffa habiskan untuk minum-minum dengan Valen dan melupakan semua masalah-masalah rumit dalam hidup mereka.
***
Pagi ini Dea benar-benar dibuat mumet oleh keempat anaknya termasuk Kejora. Semuanya minta dilayani sedangkan dia hanya memiliki dua tangan untuk bekerja.
Suaminya yang biasanya sudah rapi dengan pakaian kantornya pagi ini masih menggunakan kaos dan celana kolor karena kedua bayi kembarnya bergantian menangis.
"Mama baju selagam Kejola bukan ini." Protes Kejora saat Dea memakaikan seragam lama milik Kejora.
"Udah nggak apa-apa sayang, seragam Jora yang baru kan di rumah daddy."
Kejora cemberut karena dari semalam daddy-nya belum menunjukkan batang hidungnya. "Daddy kemana sih! halusnya daddy udah disini antelin Jola ke selolah."
Setelah memasukkan bekal ke dalam tas Kejora dan Alfa, Dea menghampiri Kejora yang terlihat tidak bersemangat sama sekali.
"Daddy ada acara sayang, nanti Jora di antar papa ya."
Mendengar ucapan Dea, mata Kejora mulai berkaca-kaca.
"Heh, nggak boleh nangis nanti bedalnya luntur loh. Tunggu disini bentar, mama mau panggil papa." Dea mendudukkan Kejora di atas sofa.
"Mas, antar Kejora sama Alfa dulu ya."
"Kamu nggak ikut?"
"Nanti Dela sama Al sama siapa?"
"Bibi kan ada, yuk ah ikut." Deva segera memakai sweater untuk menutupi kaosnya.
"Aku panggil bibi dulu, nanti kamu cepat nyusul ya." Setelah itu Deva langsung keluar dari kamar dan menghampiri Kejora dan Alfa yang sudah menunggu.
"Nunggu mama bentar ya."
Kejora mengangguk lesu karena daddy-nya belum memberi kabar atau berpamitan padanya.
"Jora kenapa sih? jangan sedih terus dong," ucap Deva lagi.
Kejora tetap membisu sambil memainkan jari tangannya.
"Daddy kamu nggak hilang Jora, paling juga masih tidur," ucap Alfa menimpali.
"Kak Alfa sok tau!" Balas Kejora kesal.
"Kak Alfa kan peramal jadi serba tau."
"Tukang bohong nanti masuk nelaka!"
Alfa tertawa terbahak-bahak dan mencubit kedua pipi Kejora gemas.
"Papa kak Alfa nakal!!!" Teriak Kejora sambil berusaha mencubit Alfa balik.
"Heh, udah pagi-pagi nggak boleh berantem," ucap Dea yang baru saja datang dari kamarnya.
"Mama ...." Kejora langsung meluk kaki Dea erat.
"Nggak boleh rewel, yuk berangkat sekarang." Dea mengangkat Kejora ke gendongannya dan berjalan keluar bersama.
*
Ternyata saat mobil Deva berhenti di depan sekolah Kejora, bel masuk sudah berbunyi dan seluruh murid sudah masuk ke dalam kelas masing-masing.
Kejora yang sebelumnya sudah bad mood kini semakin bad mood dan menangis di gendongan Dea karena takut ibu gurunya marah.
Dengan kesabaran Dea mencoba memberi Kejora pengertian dan membujuknya untuk berhenti menangis dan masuk ke dalam kelas.
Dengan sedikit paksaan Dea menggendong Kejora masuk ke dalam area sekolah dan berjalan menuju kelasnya yang terletak tak jauh dari pintu masuk.
Karena takut, Kejora menyembunyikan wajahnya dalam-dalam saat Dea mulai berbicara pada Raline yang saat ini mengajar kelas Kejora.
"Maaf ibu Kejora terlambat karena kesiangan berangkatnya," ucap Dea dengan sopan pada guru muda di hadapannya.
"Tidak apa-apa bu, kami juga belum memulai pembelajaran. Ayo, Kejora masuk sama bu Aline."
Perlahan Kejora mulai menunjukkan wajahnya pada Raline yang tersenyum manis padanya.
"Ayo masuk kelas sama ibu."
Kejora mengangguk pelan dan turun dari gendongan Dea. "Mama, Jora masuk kelas dulu ya."
"Iya sayang, nanti siang mama jemput." Dea mengusap rambut Kejora yang sudah ia kuncir rapi.
"Ayo kita masuk sayang."
Kejora mengangguk dan masuk kedalam kelas bersama Raline.
***