Beberapa hari setelah dirawat, Dara akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tubuhnya tampak lemah, tapi setidaknya ia kini berada di rumah — tempat yang sedikit lebih tenang. Intan ikut menemaninya sejak pagi, duduk di ruang tengah sambil memperhatikan setiap gerak sahabatnya itu dengan cemas. “Ra, kamu jangan cuma duduk melamun gitu. Udah makan belum?” tanya Intan sambil membawa semangkuk bubur hangat. Dara menggeleng pelan. “Nggak lapar, Tan…” Intan menghela napas panjang, duduk di sampingnya. “Dengerin ya. Aku ngerti kamu masih sedih, tapi kamu hamil, Ra. Ada nyawa kecil yang bergantung sama kamu sekarang. Kamu harus kuat.” Dara menunduk, menahan air mata. Ia tahu Intan benar, tapi hatinya masih dipenuhi perasaan hampa dan luka yang belum pulih. Namun d

