Langit masih berselimut kabut tipis ketika Elang terduduk lemas di teras rumahnya, surat dari pengadilan agama masih tergenggam erat di tangannya. Kertas itu seolah memiliki nyawa sendiri, menyengat seperti duri yang terus menusuk hatinya. Gugatan cerai dari Dara. Dua kata yang tak pernah ia bayangkan akan benar-benar sampai ke titik ini. Pagi yang biasanya dia lewati dengan aroma kopi dan suara tawa lembut Dara kini berganti dengan sunyi. Sunyi yang begitu pekat hingga detak jarum jam pun terdengar menyesakkan. Dia menatap kosong ke depan, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi tidak. Ini nyata. Terlalu nyata. “Kenapa kamu melakukan ini, Dara?” bisiknya lirih. Tak butuh waktu lama hingga rasa panik merayapi tubuhnya. Elang segera berdiri, masuk ke dalam ru

