Dara memeluk surat Elang erat-erat, seolah dari sanalah ia bisa mencuri kekuatan terakhir untuk menahan sesak di dadanya. Tapi pesan asing itu menghancurkan semua harap yang sempat tumbuh. Walau belum tentu benar, luka lama yang belum sembuh langsung berdarah kembali. Dara tak perlu menunggu kepastian. Ia sudah cukup kenyang dengan penantian dan keraguan. Pagi itu, Dara duduk sendiri di teras rumah neneknya. Matanya sembab, tapi pandangannya tegas. “Aku mencintainya, Tan,” ujarnya saat Intan datang menemaninya. “Tapi cinta saja tidak cukup kalau aku terus merasa jadi pilihan kedua.” Intan adalah tetangga neneknya sekaligus juga teman masa kecilnya Dara dulu. Dulu sebelum pindah ke rumah yang ditempati Rasmi sekarang ini mereka tinggal di rumah neneknya ini. Intan menggenggam tangan Dara

