“Yas, nggak, Yas. Saya mohon, aku mau berubah. Tolong.” Hans memohon. Lelaki itu seperti sudah kehilangan semua wibawa. Ia merendahkan diri dan meminta pengampunan dengan suara serak yang pecah. Tubuhnya yang masih terduduk di kursi samping ranjang sang istri tampak lunglai, bahunya turun, wajahnya pucat pasi. Matanya bengkak, merah, penuh air mata yang tak kunjung reda. Tangannya gemetar, berulang kali meremas ujung kain selimut seolah itulah satu-satunya pegangan agar tidak runtuh. Sementara itu, Yasmin menatap Hans dengan tatapan datar. Pandangan yang ia beri bukanlah pandangan cinta, melainkan sebuah garis tegas—batas yang tidak ingin lagi ia langgar. “Mas...” suaranya lirih, menahan perih pasca persalinan. “Aku serius. Tolong tanda tangani surat cerai itu. Aku bener-bener mau kit

