“Set alat lukis. Papa tahu kalau Kakak juga suka melukis seperti Bia.” Nada suara Elang terdengar datar—terlalu datar, bahkan untuk sebuah ucapan sederhana. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti garis tegas tanpa emosi, dingin, dan kaku di telinga Kania. “Saya taruh di sini, ya.” Satu kotak berpita biru muda ia letakkan dengan hati-hati di atas meja belajar Kania. Kotak itu tampak indah, terbungkus rapi, tapi suasananya tidak. Elang sempat melirik ke arah rak di dekat jendela, di mana medali lomba mereka berdua tergantung berjejer. Matanya berhenti di salah satu medali. “Punya Kakak tergores pensil.” Kania menoleh pelan ke arah yang dimaksud, lalu mengangguk singkat tanpa banyak komentar. Ia tahu Elang bukan sedang memperhatikan medali, tapi sedang menegaskan sesuatu ya

