Kania langsung menepis tangan lelaki itu, gerakannya cepat dan penuh refleks ketakutan. Nafasnya sedikit memburu. Ia mendongak, dan seketika pandangannya membeku. Seorang lelaki berdiri di hadapannya. Jarak mereka terlalu dekat—terlalu berani—seolah ia sama sekali tak peduli bahwa di sisi lain Elang masih berdiri dan memperhatikan. Lelaki itu mengenakan seragam sekolah yang tampak kusut, dengan satu kancing atas terbuka sehingga memperlihatkan sedikit kulit di bawah tulang lehernya. Penampilannya berantakan: dasi longgar, rambut acak, dan sikap tubuhnya mencerminkan arogansi yang sulit disembunyikan. Davin. Nama itu langsung membuat jantung Kania berdegup lebih cepat dari biasanya. Lelaki yang akhir-akhir ini seperti bayangan gelap dalam hidupnya—mengikuti ke mana pun ia pergi, membawa

