“Soal Pak Sulaiman yang marah, saya rasa wajar, Yasmin. Hanny anak semata wayang mereka. Pasti sekarang pun Pak Sulaiman menyesal atas semua kejadian yang menimpanya, Sayang.” “Jadi, kamu ikhlas dijadikan samsak sama mereka?” Hans tidak segera menjawab. Diamnya bukan tanpa alasan—di dalam hatinya, rasa kecewa masih mengendap. Ia masih bisa merasakan perih di tubuhnya, mengingat bagaimana para pemuda itu memukulinya dengan brutal semalam. Ada luka fisik, tapi yang lebih dalam adalah luka batin: harga dirinya diinjak-injak tanpa belas kasihan. Namun, entah mengapa, semua sisi arogan yang biasanya muncul justru lenyap begitu saja ketika matanya jatuh pada Yasmin. Sikap lembut istrinya—sentuhan tangan yang hati-hati, tatapan abu yang penuh keteguhan, dan suaranya yang menenangkan—mampu melu

