Bab 14

1857 Kata
Dengan terpaksa dan menahan rasa sesak di d a d a, Yasmin akhirnya menyetujui untuk ikut terbang ke Bali. Mereka sudah berada di bandara pagi ini. Duduk di kursi, untuk menunggu penerbangan yang tinggal setengah jam lagi. Tangan Hans tiba-tiba terulur dan menengadah di depan Yasmin. “Berikan ponselmu pada saya!” “Buat apa, Mas?” Yasmin bertanya, bingung sekaligus curiga. “Jangan banyak tanya! Berikan saja barang yang sama minta!” Tanpa menjawab lagi, Yasmin memberikan ponselnya pada Hans. “Buat antisipasi. Bisa saja kamu diam-diam mengambil foto kami dan dikirim ke keluarga saya!” “Astagfirullah ....” Tutur kata Hans lagi-lagi membuat Yasmin hanya bisa mengelus d a d a sambil melafalkan istighfar. Tidak lama, penerbangan akan dilakukan. Yasmin berjalan di belakang Hans dan Davina. Ia menatap iri pada Davina yang tangannya selalu digandeng oleh Hans. Sesekali wanita itu juga tertawa kecil saat suaminya membisikkan sesuatu. Sampai di kursi penumpang pesawat, Yasmin hanya tertunduk diam saat duduk berdampingan dengan Davina. Posisi Yasmin berada di paling samping dekat jendela. Davina di tengah, dan Hans tentu saja berdampingan dengan istri keduanya. “Mas, kamu di tengah-lah. Kamu harus adil.” Suara Davina menginterupsi Hans yang sedang fokus pada tab di tangannya. “Aku enggak bisa duduk di tengah. Yang ada aku mual dan bikin kamu repot.” Yasmin menghela napas mendengar alasan klise suaminya. Ia yakin betul, seorang pebisnis handal seperti Hans mana mungkin mual hanya karena duduk di kursi tengah? Alasan utamanya sudah jelas dirinya. Hans tidak mau dekat-dekat dengan istri bercadarnya itu. “Hih, kamu ada-ada aja, Mas.” Hans hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Davina tidak bisa melawan. Ia berganti menatap Yasmin yang langsung memalingkan wajah ke arah jendela pesawat. Tangan hangatnya menggenggam erat jari-jemari Yasmin. “Terima kasih banyak karena mau ikut, Yasmin.” “Iya.” Usai menjawab, Yasmin lepas genggaman itu dengan pelan. Ia mengambil posisi bersandar dan berusaha memejamkan mata. Tapi, sialnya telinga Yasmin tetap bisa mendengar suara Davina dan Hans yang saling melempar candaan. Ia terasa mual, namun bukan karena mabuk perjalanan atau bahkan kelelahan. Kata-kata manis Davina dan perlakuan Hans yang lembut membuat matanya terbuka perlahan. Yasmin menaruh atensi pada keduanya. Ia pun paham, dari sorot mata Hans, terlihat betapa pria itu menyayangi istri keduanya yang selalu diprioritaskan. Layaknya dunia milik mereka berdua, kehadiran Yasmin tidak lagi dihiraukan. Padahal, ia pun punya posisi yang sama, istri seorang Hans Pratama Yudha. Selama pesawat itu terbang, selama itu pula Yasmin menggantung harapan pada pernikahannya. Andai memang Hans tidak bisa membuka hati untuk Yasmin, setidaknya ia berharap Tuhan permudah jalan untuk ia dan suaminya berpisah. “Yasmin, dari tadi kamu diem aja. Ada apa, hm? Kamu mikir apa?” “Enggak punya temen bicara. Takut dikira orang g i l a kalau ngobrol sendiri, Mbak.” Yasmin menjawab dengan nada ketus lalu tersenyum hambar. Davina merasa sedikit tersinggung. Ia sadar sedari tadi sibuk mengobrol hangat dengan Hans tanpa mengajak Yasmin. “Maafin kami, Yasmin. Kami enggak bermaksud—“ “Enggak apa-apa. Sudah biasa. Lanjutkan saja, aku mau tidur.” Wanita tersebut langsung mengambil posisi menyamping, sedikit membelakangi sang madu. Jari-jemari lentik Davina menyentuh punggung Yasmin dan mengusapnya perlahan. Hans yang sedari tadi diam lantas menggenggam tangan Davina. Ia sandarkan kepalanya di pundak sang istri. “Sudahlah, enggak perlu dipikirin. Kita pergi untuk bersenang-senang, Sayang.” Davina tersenyum lalu mengangguk. Ia membelai pipi suaminya penuh sayang. “Aku sudah booking villa di Ubud, dua kamar.” “Serius? Wah, aku enggak sabar banget, Mas!” Hans merespons dengan anggukan singkat dan senyum kecil. Di lain sisi, Yasmin yang pura-pura terlelap bisa mendengar semuanya. Ia hanya bisa mencengkeram bajunya kuat. Ingin ia berteriak sekeras mungkin, berharap bebannya berkurang, walau sedikit. Namun, kenyataan lagi-lagi seperti memintanya untuk menahan amarah dan sabar lebih lama lagi. “Sampai kapan aku harus menanggung ketidakadilan di rumah tanggaku sendiri, ya, Allah?” Yasmin berucap dalam hati. Batinnya menangis meraung-raung. *** Di kamar Villa Ubud .... Yasmin membersihkan diri dan berendam pada air hangat. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu menembuskannya kasar. Sementara di luar, Davina dan Hans sibuk berenang berdua. Apa mereka peduli dengan Yasmin? Sama sekali tidak. Hans dan Davina sepertinya lupa bahwa di dalam kamar sebelahnya ada Yasmin yang bahkan bisa melihat adegan romantis keduanya. “Demi Allah. aku enggak rela kalian memperlakukanku begini. Entah karma apa yang akan kalian dapat, tapi semoga itu tidak terjadi.” Yasmin bergumam. Ia lantas membasuh tubuhnya, dan cepat-cepat memakai pakaian yang tertutup. Hans benar-benar membiarkan Yasmin menonton kemesraannya dengan Davina. Dan satu hal yang membuat Yasmin paling marah ialah ponselnya tidak dikembalikan oleh Hans semenjak di bandara. Bosan. Sangat memuakkan bagi Yasmin. Ia tidak punya kegiatan apa pun selain meringkuk di atas kasur. Setiap tawa kecil Davina terdengar seperti peluru yang menembus jantung Yasmin. Dan tiap kali Hans membalas tatapan Davina penuh perasaan, Yasmin merasa hancur sedikit demi sedikit. Cemburu saja tidak cukup untuk mewakili perasaannya saat ini. Ia bahkan seperti tidak punya harga diri di sini. Ia dibawa jauh dari Jakarta hanya untuk dihancurkan dan dibuat mati perasaannya oleh suami sendiri. Villa di Ubud yang mewah dan tenang, nyatanya mampu menciptakan gemuruh panas dalam d a d a Yasmin. Kolam renang pribadi layaknya sebuah panggung tontonan adegan romantis dari pasangan yang lupa diri itu. Yasmin tidak bisa menikmati apa pun. Ini adalah neraka rumah tangganya. Api cemburunya membakar diri tanpa kendali. Tengah larut dalam pikiran yang berkecamuk, suara ketukan pintu yang pelan membuat Yasmin beranjak dari ranjang. Davina, wanita yang memakai handuk kimono itu membawa sepiring potongan buah yang terlihat segar dengan segelas s u s u. “Ada apa, Mbak?” “Ini buat kamu. Kamu pasti lapar, kan? Sebentar lagi kita keluar buat cari makan di restoran.” Yasmin menerima pemberian Davina lalu meletakkannya di atas meja. Ia kembali mendekat ke arah sang madu. “Keluar saja sama Mas Hans. Aku malas ke mana-mana. Lagi pula potongan buah dan s u s u juga udah cukup. Makasih, Mbak.” Brak! Yasmin langsung menutup pintunya kasar. Saking kerasnya, Davina sampai terkejut dan mundur spontan. “Yasmin, jangan begini. Kita harus pergi sama-sama!” Davina setengah teriak sambil terus mengetuk pintu. Namun, tidak ada sedikit pun jawaban dari dalam. Melihat itu, Hans tidak terima. Ia bangkit dan mengetuk pintu kamar Yasmin dengan kasar. Sampai akhirnya, karena merasa terusik bukan main, Yasmin membukanya lebar. “Jangan memaksaku, Mas, Mbak. Aku mau di sini. Tidur lebih baik daripada harus jadi setan di antara kalian!” “Yasmin, tolong jangan seperti ini terus.” Davina muncul dari balik punggung lebar Hans. “Aku harus gimana, Mbak? Lama-lama aku bisa g i l a kalau kalian terus memaksaku begini!” Hans menampilkan seringainya yang tipis. Ia menatap Yasmin yang menunduk lemah. “Kamu cemburu, Yasmin?” Tak ada jawaban. Yasmin bersandar di kusen pintu sambil menahan napas. Matanya basah, tapi segera ia usap. “Maaf, aku mau istirahat, Mas. Kalian kalau mau makan di luar, pergi aja. Nggak perlu mikirin aku karena memang kalian pergi ke sini hanya untuk mencari kesenangan berdua.” Hans dan Davina sama-sama membisu. Bahkan, sampai Yasmin menutup pintu pun, keduanya masih ada di sana. “Ya, sudah, Mas, kita pergi saja. Nanti kita belikan makanan buat Yasmin.” “Iya, Sayang. Ayo, kita siap-siap.” *** Keesokan harinya, mereka sarapan di teras villa. Davina mengenakan dress putih tipis. Bibirnya berpoles lipstik warna merah yang menambah kesan s e n s u a l. Sementara Hans duduk di samping Davina. Ia menyesap teh panasnya sambil merangkul bahu sang istri. Dan Yasmin—wanita bercadar tersebut hanya duduk di sudut teras sambil memakan roti panggang tanpa selera. Ia menatap kosong ke arah kolam renang. Semalam, Yasmin melihat jelas bagaimana hebatnya percintaan Davina dan Hans yang dilakukan di kolam renang. Desahan penuh g a i r a h keduanya sangat mengganggu Yasmin yang berusaha memejamkan mata sambil menyembunyikan kepalanya di balik bantal untuk meredam suara. Jangan ditanya seberapa besar rasa sakit Yasmin. Ia telah dihancurkan bertubi-tubi, tapi selalu punya cara untuk bertahan. “Kita harus coba spa berdua, Mas. Paket pasangan itu loh, yang aroma terapi,” ucap Davina sambil tersenyum. “Kamu juga harus ikut, Yasmin!” Merasa terpanggil, Yasmin menoleh ke arah Davina. Ia menatap dingin sang madu. “Mbak yakin? Spa paket pasangan, Mas Hans bawa dua istri. Spa yang mana yang mau saya pilih? Spa buat penonton?” Davina tertawa kecil. “Yasmin, kamu terlalu serius. Santai aja. Kita, kan, lagi liburan.” “Iya, kalian yang liburan. Saya cuma tambahan bagasi.” Jawaban sinis Yasmin sukses membuat Davina bungkam. Ia melirik ke arah Hans yang terlihat kesal, tapi sebisa mungkin menahan diri. “Kalau gitu ... nanti kita ke pantai aja, Yas.” Davina kembali berusaha membangun obrolan dengan nada antusias. “Silakan pergi ke mana pun, tapi jangan harap aku ikut!” “Lho, mumpung di sini, Yas. Jangan kayak gini, dong, aku jadi enggak enak.” Yasmin tetap menggeleng. Ia menghabiskan potongan roti panggang yang tinggal sedikit. “Eh, dari kemarin kita belum foto bertiga deh! Yuk foto buat kenang-kenangan.” Davina menarik lengan Hans untuk dibawa mendekat ke arah Yasmin. “Enggak perlu, Mbak. Kalian aja yang foto.” “Tapi, Yas—“ Ucapan Davina terhenti saat Yasmin beranjak dan masuk ke kamar. Ia mengunci diri di sana. Menangis diam-diam hingga bantalnya basah. Memukul-mukul kasurnya saat ia merasa amarahnya tidak bisa ditahan. Ia tergugu, bahunya sampai terguncang saking hebatnya tangisan itu. Keadaannya yang begitu tidak lantas membuat Hans dan Davina luluh. Keduanya tetap pergi untuk menikmati waktunya di tempat lain. Mungkin, kepergiannya ke Bali kali ini akan menjadi trauma terbesar yang tidak ingin Yasmin ulangi. Pada saat semua orang mendambakan keindahan dan pesona Pulau Dewata, Yasmin malah mendapat seribu luka di sana. Tidak, Yasmin tidak akan pernah ke sini lagi, dengan siapa pun, dan kapan pun. Bali akan menjadi tempat pertama yang masuk dalam daftar merahnya untuk dikunjungi. *** Malam pun tiba. Yasmin keluar dari kamar dan duduk di teras dengan tatapan kosong. Matanya terlihat sembab dan merah. Siluet dari dalam kamar sebelah lagi-lagi membuat Yasmin hanya mampu tersenyum sinis. Lama termenung, wanita itu akhirnya berniat beranjak pergi. Namun, siapa sangka, Davina keluar dengan baju dinas malamnya yang tipis dan s e k s i. “Kamu belum tidur?” Davina bertanya ketika duduk di hadapan Yasmin. “Enggak bisa tidur.” Hening. Davina membenarkan tali baju dinasnya yang merosot. “Kamu marah?” “Bukan cuma marah, tapi hancur.” Davina menarik napas panjang. Ia menggenggam tangan Yasmin. “Aku enggak ada maksud nyakitin kamu.” Yasmin melepas genggaman itu. Matanya penuh dengan sorot kesedihan. “Aku tahu kalau Mas Hans nggak cinta sama aku. Aku juga tahu yang Mas Hans maunya cuma Mbak. Tapi, tolong, hargai keberadaanku di sini.” Layaknya anak kecil yang sedang dimarahi, Davina menunduk. Ia tidak berani melihat wajah Yasmin sedikit pun. “Kalau Mbak pikir aku bakal terima dan menyerah, Mbak salah. Aku enggak akan pergi dari Mas Hans, kecuali Mama dan Papa yang minta, tapi aku juga bukan boneka yang bisa dengan seenaknya kalian permainkan!” “Jadi, kamu mau bicara soal ini sama Om Hanggara dan Tante Ranti?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN