Bab 13

1676 Kata
Aktivitas Yasmin terhenti saat mendengar nada bicara Davina yang cukup tinggi. Wanita itu menoleh, memindai wajah sang madu yang terlihat menahan kesal terhadapnya. “Apa susahnya Mbak bilang? Jelas aku yang akan susah! Aku harus jadi penonton setia bulan madu kalian, begitu?” Davina membuang napas, gusar. Ada rasa tegang di antara keduanya ketika mulai berseteru. “Bukan maksudku begitu, Yasmin. Di sana juga kamu bisa ambil kesempatan untuk menarik perhatian Mas Hans. Kamu bisa menghabiskan waktu sama Mas Hans.” Apa yang dibicarakan oleh Davina tidak ayal membuat Yasmin semakin tidak habis pikir. “Mbak bahkan tahu seperti apa sikap Mas Hans sama aku. Semakin aku bertindak, semakin besar pula rasa benci dia sama aku!” Davina berpikir beberapa saat. Ia menggigit jarinya, tanpa melepas tatapan dari Yasmin. “Tapi, kita harus tetap pergi, Yasmin. Mas Hans sudah terlanjut pesan tiket dan kita akan terbang hari lusa.” Satu sudut bibir Yasmin tertarik, membentuk seringai tipis. Lagi-lagi ia dibuat bingung oleh sikap suami dan madunya. “Aku enggak bisa, Mbak. Sabtu ada kegiatan.” “Please, Yasmin ... kali ini saja. Aku juga enggak ada hari libur lagi setelah hari itu.” “Kok, Mbak jadi pemaksa begini, sih? Aku tetap enggak bisa, Mbak, maaf.” Tidak ada lagi yang bisa Davina perbuat. Dengan membawa rasa kecewa, ia akhirnya keluar dari sana dan masuk ke kamarnya dengan wajah lesu. “Yasmin menolak buat ikut kita ke Bali, Mas.” “Biar aku yang bicara!” Hans langsung turun dari ranjang, tapi langkahnya terhenti ketika Davina menahan lengannya. “Bicara dengan lembut. Kalau memang Yasmin enggak mau, ya, gimana lagi, Mas.” Senyum hangat terukir di bibir Hans. Ia memberi kecupan ringan di kening sang istri untuk menyalurkan ketenangan. “Dia akan tunduk kalau aku yang bicara, Vin.” Setelah Davina mengangguk, Hans keluar dari kamar itu. Langkahnya lebar dan pasti. Sampai di depan pintu kamar istri pertamanya, ia menatap punggung Yasmin. Wanita itu sedang sibuk dengan beberapa modul di meja sambil sesekali menikmati salad buahnya. “Yasmin.” Merasa dipanggil, Yasmin kembali menoleh ke sumber suara. Hans, suaminya itu berdiri dengan tatapan dingin. “Tumben sekali kamu ke kamarku, Mas. Ada apa?” “Terpaksa,” jawab Hans dengan nada ketus. Tubuhnya bersandar di kusen pintu. “Kamu harus ikut ke Bali, Yasmin. Saya tidak terima bantahan apa pun!” Yasmin termangu mendapat permintaan sang suami yang terkesan memaksa. “Jawabanku tetap sama, Mas. Aku enggak akan ikut.” Ia menjawabnya cepat dan tanpa ragu. Kedua tangan Hans mengepal di masing-masing sisi. Ia melangkah masuk supaya lebih dekat dengan Yasmin. “Saya tidak terima penolakan apa pun. Kalau kamu tetap mau baik-baik saja di rumah ini, ikuti semua kataku!” Wanita itu berdiri dan menatap Hans dengan tajam. Tapi, tanpa disangka sang suami langsung membuang pandangannya ke arah lain. “Itu acara honeymoon kalian, aku enggak mau ikut, Mas.” Hans tersenyum sinis. “Kamu ikut! Bukankah kamu ingin berbakti sama saya? Inilah saatnya, Yasmin!” Yasmin menahan napas. Sisi bajunya ia remas kuat untuk menahan emosi yang gemeletuk. “Berbakti apa harus membuatku sakit, Mas? Kamu mau sengaja membunuhku pelan-pelan, hah?!” Pria itu berkacak pinggang. Sekali lagi, ia berusaha menatap Yasmin, tapi lagi-lagi tidak bertahan lama. “Dari awal, kita menikah atas dasar perjodohan! Kalau kamu melibatkan perasaan, bukan urusan saya. Kamu bahkan tahu saya punya wanita lain, kenapa masih berharap?” “Kalau kamu memang enggak ada perasaan sama aku, kenapa enggak berterus terang sama Papa dan Mama? Kenapa kamu menurut saja saat dijodohkan?!” Ucapan Yasmin sukses membuat gejolak emosi pria itu memuncak. Ia mengepalkan tangan lalu memukulkannya ke udara dan berteriak frustrasi. “Kamu jelas tahu alasannya apa, Yasmin! Jangan membuat kesabaran saya habis!” “Silakan kamu pergi sama Mbak Davina. Aku enggak bakal bicara sama Mama-Papa atau adik-adik kamu.” Hans mengusap wajahnya kasar. Tangan kokohnya mulai mencengkeram rahang Yasmin begitu kuat. “Apa kamu masih belum paham juga, hm? Apa perlu saya bersikap kasar supaya kamu menuruti semua permintaan saya?” Yasmin berusaha menyingkirkan tangan Hans dari rahangnya. Ia mendorong kasar d a d a pria tersebut. “Apa gunanya aku ikut, Mas? Apa nggak cukup kalian pamer desahan di rumah ini setiap hari?! Masih mau pamer juga dengan mengajakku ke Bali?!” Hans tersenyum hambar. Lirikan sinis ia berikan pada istri pertamanya. “Sumpal saja telingamu itu dan masalahnya akan selesai. Jangan memperkeruh suasana!” “Aku tetap enggak mau mengikuti ide gilamu itu, Mas. Aku enggak sebodoh itu yang mau-maunya jadi penguntit saat suaminya honeymoon sama perempuan lain!” “Wanita lain kamu bilang? Davina itu istri saya! Dia bahkan selalu bersikap baik terhadap kamu, tapi apa balasan kamu, hah?! Di mana rasa terimakasihmu, Yasmin?” Suasana kamar redup itu semakin tegang dan panas. Keduanya berdebat tanpa ada yang mau mengalah. “Kamu yang enggak punya hati, Mas! Kamu enggak pernah mikir gimana perasaanku!” Kali ini, Yasmin berbicara lirih. Ia terduduk di kursinya lagi dan menunduk dalam. Sakit di dadanya semakin merekah. Sikap Hans belum ada perubahan, tetap memandangnya sebelah mata. “Kalau kamu enggak mau ikut, saya akan bilang sama Mama dan Papa kalau kamu selalu menolak melayani saya. Kamu yang tidak mau mempunyai anak. Atau ... saya akan bilang kalau kamu mandul sekalian!” “Terserah, Mas!" Sambar Yasmin tidak mau kalah. "Silakan lakukan apa saja, aku terima.” Hans menggeram lalu menendang meja belajar Yasmin hingga posisinya bergeser. “Tunggu saja, Yasmin! Kamu akan menyesal karena terus membangkang perintah saya!” Yasmin mematung dan tidak lama kemudian Hans keluar dari kamar tersebut dengan menahan amarah luar biasa. Sedikit menepi, ia memencet nomor seseorang lalu meneleponnya. [“Tolong cari kelemahan Yasmin. Saya mau, besok siang harus sudah ada hasil.”] [“Siap, Tuan!”] Kesanggupan dari orang di seberang sana membuat Hans mematikan sambungan teleponnya. Ia menyeringai lebar. “Mas ... gimana?” Pertanyaan itu terdengar lembut dan penuh harap. Davina memangkas jarak dari suaminya yang berdiri di jendela lantai dua. Kedua tangannya melingkar di pinggang pria itu. “Bisa diatasi, Sayang. Tenang saja.” *** Di kantor Hans .... Hans duduk dengan gelisah saat menunggu kehadiran seseorang. Tidak lama, seorang pria bertubuh tinggi tegap dan memakai pakaian serba hitam masuk ke ruang kerjanya. “Bagaimana, Arman? Kamu sudah mendapat hasilnya?” “Setelah saya selidiki, ternyata Bu Yasmin punya kelemahan pada kedua orang tuanya, Tuan.” “Maksudmu?” Hans mengernyitkan kening. “Bukankah orang tua Yasmin sudah meninggal?” Arman mengangguk, memberi validasi. “Benar, Tuan, tapi jika saat ini ada orang yang menghina kedua orang tuanya, Bu Yasmin bisa sangat lemah. Dia tidak bisa berkutik, apalagi semenjak insiden Bu Yasmin yang disiram air keras. Orang tuanya juga tidak lepas dari bulan-bulanan warga.” Hans terdiam sesaat, mencerna baik-baik ucapan Arman yang panjang lebar. Ia lantas tersenyum penuh arti. “Sejauh ini, hanya informasi itu yang saya dapat. Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tuan?” “Cukup, Arman. Kamu boleh keluar sekarang.” “Baik, Tuan.” Arman lantas pergi dari ruang kerja tuannya. Sementara Hans kini tersenyum setan sambil meremas bolpoin di tangannya. “Lihat saja, Yasmin! Kali ini kamu tidak akan bisa mengelak lagi!” Sore hari .... Pria itu keluar dari mobil dengan langkah terburu-buru. Ia sengaja pulang lebih awal, sebelum Davina tiba di rumah. Hal itu semata-mata agar Davina tidak melihat bagaimana ia mengancam Yasmin agar mau ikut ke Bali. Bahkan, hanya karena alasan itu, Hans rela membawa pulang pekerjaan kantornya yang belum selesai. “Mas, kamu sudah pulang?” Yasmin, wanita yang tidak lepas dari pakaian syar’inya menyambut kepulangan Hans. Ia membuatkan secangkir kopi, meskipun sering kali sikap perhatian dan pedulinya ditolak mentah-mentah. “Jangan harap dengan kamu begini bisa membalas budi pada keluargaku, Yasmin.” Wanita tersebut meletakkan kopi di atas meja, kemudian memandang suaminya yang berwajah kecut. “Kamu ini bicara apa, Mas?” Hans tertawa mencemooh. “Oh, ada benalu lupa dengan inang rupanya.” Yasmin kembali dibuat bingung oleh kalimat yang terlontar dari mulut pria itu. “Bicara yang jelas, Mas!” “Kamu itu utang banyak sama keluarga saya, Yasmin! Kalau bukan karena Mama dan Papa, mungkin orang tua kamu tidak bisa berobat jalan selama dua tahun! Kamu dan orang tuamu itu hanya benalu!” Deg! Jantung Yasmin seperti ditikam bertubi-tubi oleh ucapan suaminya sendiri. Ia sampai memegangi dadanya. Semua kekuatan yang Yasmin punya seperti diserap habis. Tubuhnya lunglai hingga refleks terduduk di atas sofa. Yasmin menatap nanar ke arah Hans. “Kenapa tiba-tiba kamu berkata seperti itu, Mas? Apa salahku?” “Salahmu? Kamu masih punya muka untuk bertanya di mana letak kesalahan kamu?” kata Hans, kembali melempar kalimat menohok. “Jadi orang miskin itu harus tahu diri, Yasmin. Harusnya kamu bisa mengambil kesempatan ini untuk balas budi! Hanya ikut ke Bali apa susahnya, hah?!” Kedua tangan Yasmin menutup telinga. Ia tidak mau lagi mendengar kata-kata apa pun. Matanya mulai memanas. Setetes air bening luruh begitu saja di pipi. “Cukup, Mas! Berhenti menghina keluargaku!” Melihat respons Yasmin yang menahan sakit hati, Hans malah semakin gencar mencercanya. “Di dunia ini tidak ada yang gratis, Yasmin! Orang miskin seperti almarhum abah dan ummimu yang sok alim itu harus tahu tata cara membayar hutang budi!” “Tolong berhenti, Mas! Abah dan Ummi enggak salah!” Yasmin tidak sanggup lagi mendengar hinaan untuk keluarganya. “Cih, menjijikkan! Bahkan orang tua kamu menjual kata agama hanya untuk memanfaatkan uang Mama dan Papa! Penampilannya saja alim, dalamnya tidak lebih baik dari bangkai!” “Diam! Kamu keterlaluan, Mas!” Yasmin berteriak di tengah tangisnya. Ia menatap benci ke arah Hans. “Saya akan terus mengungkit utang keluarga kamu ke Mama dan Papa selagi kamu terus keras kepala, Yasmin! Saya tidak peduli jika kamu sampai teriak g i l a sekalipun, saya akan tetap melakukan itu!” Dengan kasar, Yasmin mengusap wajahnya yang basah dan menatap nyalang ke arah suaminya. “Apa sebenarnya mau kamu, Mas?” “Mauku?” tanya Hans lalu tersenyum licik. “Kamu jelas paham betul apa mau saya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN