“Ya, marahlah, Kak. Kakak itu—“ “Jangan mendebat,” potong Elang tanpa meninggikan nada suaranya. Ia tatap perempuan yang kini menatapnya kesal. “Semua yang saya lakukan demi kesehatan kamu.” Senja tetap tidak terima. Kedua tangannya mengepal di masing-masing sisi celana piamanya. Tatapannya berapi-api. “Aku nggak mau tau, ya! Pokoknya Kak Elang harus tanggung jawab!” “Oke.” Elang menyanggupi. Ia melipat tangannya di depan d.a.da. Tubuhnya bersandar di meja pantri. “Tanggung jawab seperti apa yang kamu minta?” Gleg! Mendadak Senja menelan salivanya berat. Ia kehabisan kata-kata. Padahal detik sebelumnya, perempuan tersebut begitu keras kepala mendebat Elang. “Katakan.” Elang menuntut lagi. Senja justru membisu. Mulut yang tadinya begitu berisik mendadak bungkam. Ia berdiri, mem

