Beberapa hari setelahnya, Yasmin mulai terbiasa bicara lagi. Tidak terlalu panjang, tapi cukup—fokus pada inti tanpa basa-basi. “Mas, tolong buatin s.u.su untuk anak-anak.” “Mas, tolong ambilin bantal.” “Mas, tolong anterin Kania dan Elang beli es krim.” Dan masih banyak lagi kalimat ‘Mas, tolong’ yang lain itu terdengar. Namun, meski begitu, Hans menerima setiap permintaan kecil itu dengan rasa syukur. Malam itu, mereka makan bersama. Yasmin menyiapkan sayur bening dan tempe goreng. Elang menceritakan hal-hal kecil tentang teman TK-nya; tentang siapa yang punya mainan baru, siapa yang menangis waktu jam tidur siang. Sementara Kania, makan dalam hening. Kondisi diamnya itu sudah seperti jadi rutinitas saat berhadapan dengan Hans. Gadis kecil itu kaku, canggung, dan merasa tidak p

