14 - First Birthday Celebration

1582 Kata
Kue tart berhias krim warna biru muda dan bunga-bunga warna pastel di bagian atasnya itu sudah masuk ke kotak kue. Dua puluh lima souvenir ulang tahun sudah tertata rapih di dekatnya. Paket ulang tahun itu sudah siap diambil oleh si pemesan. “Wah, banyak yang pesen, Nay?” Ayahku baru tiba di rumah sehabis bekerja. Hari ini wajahnya tampak lebih bercahaya. “Iya, Yah.” Jawabku gembira. Aku meloncat ke pelukan ayah. Mencium punggung tangannya. “Anak Ayah sudah mandi? Tumben?” Ayah menyadari penampilanku yang sudah rapih dan wangi. “Iya, soalnya kata Ibu pesanannya mau diambil jam lima. Sebagai asisten Ibu, Naya harus berpenampilan rapih, dong.” Kataku sembari membusungkan d**a. Membanggakan diri sebagai asisten ibu. Ayahku terkekeh. “Terima kasih, ya, Nay.” Ia tersenyum. Tangannya yang besar mengusap rambutku lembut. Aku mengangguk. Bahagia. Ayahku masuk ke dalam rumah, aku kembali duduk di dekat paket ulang tahun itu. Sebentar lagi, si pemesan itu harusnya sudah datang. Aku tak sabar. Waktu terus berlalu, tapi si pemesan itu belum juga datang. Aku mulai gelisah. Karena tampaknya ini sudah lebih dari jam lima. Terlihat dari loudspeaker masjid dan musholla yang mulai memperdengarkan bacaan tilawah. Belum lagi semburat jingga yang semakin mendekati kaki langit. "Yang pesen belum datang, Nay?" Ayahku sudah mandi. Ikut duduk di sebelahku. "Belum, Yah." Jawabku sedih. "Belum datang?" Kali ini ibu yang bertanya. Aku mengangguk. Ibu ikut duduk di sebelah ayah. Wajahnya berubah gelisah. "Mungkin sebentar lagi." Ayah menyentuh lengan ibu. Berusaha menenangkan. Aku ikut mengangguk. Semoga saja. Beberapa menit berlalu, tak ada seorang pun yang datang untuk mengambil paket pesanan ini. Batang hidungnya pun tak ada. Ibu semakin gelisah, ia mondar mandir di teras. Ayah yang pamit ke kamar mandi barusan sudah kembali. "Belum datang, Bu?" Tanyanya sembari menurunkan lengan baju yang digulung. Ibu menggeleng. Wajahnya pias. "Pembayarannya juga belum lunas, ya? Baru bayar uang muka?" Ibu mengangguk. Wajahnya sudah hampir menangis. "Ibu nggak tahu alamatnya? Mungkin bisa kita antar, pinjam mobil Mas Rama." "Di-dia cuma bilang rumahnya di Kecamatan. Alamat lengkapnya I-ibu nggak tahu." Ibu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku ikut sedih melihat ibu putus asa. Paket pesanan ini sepertinya akan menjadi musibah kedua bagi keluarga kami. Adzan maghrib berkumandang. Maka kami putuskan untuk membawa barang-barang ini ke dalam rumah. Biarlah, kalau memang rezeki kami maka barang-barang ini akan ada yang mengambil. Jika tidak, mungkin ini pelajaran untuk keluarga kami ke depannya. Begitu ayahku mengingatkan. Malam semakin pekat, rembulan bersinar bulat di langit yang gelap. Indah. Tapi seindah perasaan kami hari ini. Paket ulang tahun itu tetap teronggok tak bertuan di ruang tengah. Ibu berkali-kali menghela nafas. Meminta maaf pada ayah karena sudah terlalu percaya pada pelanggan. Beruntung ayah tak marah. Ah, memang ayah jarang marah, sih. "Kita undang anak-anak tetangga yang ngaji di surau aja buat ngabisin ini." Begitu ide dari ayah. "Nggak apa-apa?" Ibu bertanya khawatir. "Nggak apa-apa. Daripada begini, mubadzir. Naya mau 'kan ngerayain ulang tahun lebih cepat?" Kali ini ayah bertanya padaku. Tentu saja aku mengangguk mantap. Orang tuaku tak pernah merayakan ulang tahunku, maka ini adalah perayaaan ulang tahunku yang pertama. Meski sebulan lebih cepat dari tanggal seharusnya. Selepas sholat isya, ayah mengumumkan kepada anak-anak yang mengaji di surau dekat rumah kami untuk tidak langsung pulang. Melainkan mampir ke rumah kami. Ada jamuan enak, begitu kata ayah. Maka malam itu, jadilah rumah kami dipenuhi senda gurau dan tawa anak-anak. Ayah mendadak jadi MC, ibu mendadak jadi petugas katering. Permainan-permainan ala perayaan ulang tahun dilakukan. Sederhana saja. Yang penting semua senang. Perlahan tapi pasti, wajah ibu berubah cerah. Ikut tertawa bersama kami. Kue tart cantik itu ludes seketika. Souvenir ulang tahun tak lupa diberikan pada para tamu undangan sesaat sebelum pulang. Semua bergembira, semua bahagia. Seolah kegelisahan dan keputusasaan beberapa waktu lalu tak pernah kami rasakan. *** "Semalem kayaknya ada acara di rumah Naya, ya?" Istri Pakde Rama bertanya saat aku sedang bermain di sekitar rumahnya. Rumah kami berdekatan memang, hanya berjarak beberapa rumah saja. "Iya. Hehehe." Aku nyengir saja. Lanjut bermain lompat tali dengan teman-teman. Halaman rumah Pakde Rama sangat luas, karenanya sering dijadikan tempat bermain oleh anak-anak seusiaku. Selain aku bisa numpang minum gratis kalah haus, juga tak terlalu jauh dari rumah. "Acara apa?" Istri Pakde Rama bertanya tanpa melihat padaku. Tangannya sibuk memotong-motong kacang panjang. "Ulang tahun Naya. Hehehe. Mendadak, sih, Bude. Soalnya ada pelanggan Ibu yang nggak tepat janji. Pesanannya nggak diambil." Aku melapor. "Oh, banyak pesanannya?" "Kue tart-nya satu. Kotak snack-nya ada dua puluh lima." Aku menjelaskan dengan detail. Tanpa punya prasangka apapun. "Wah, banyak juga. Belum dibayar tuh, Nay?" Budeku itu membulatkan matanya. "Belum lunas. Tapi nggak tahu kurang berapa." Aku mengangkat bahu. Melanjutkan main lompat tali, kini giliranku. Saat itu aku benar-benar tidak berprasangka apapun. Aku hanya menjawab apa yang kutahu. Aku pikir setelah kasus pelanggan yang menghilang berakhir bahagia itu semua akan kembali normal. Ya, kami memang rugi. Tapi ibu tetap bisa melanjutkan membuat kue, menerima pesanan, toko tetap buka namun akan tutup lebih cepat jika ibu ada pesanan. Semua masih normal jika dibandingkan beberapa minggu lalu saat barang-barang di rumah terpaksa dijual hanya untuk menyambung hidup. Sayangnya, semua yang kuanggap normal itu perlahan-lahan menjadi tidak normal. Keesokan paginya, sepulang ibu berbelanja di tukang sayur yang setiap hari mangkal di ujung jalan, wajah ibu berubah. Tak lagi secerah sebelumnya. Bahkan ibu tak menjawab saat kutanya soal menu masakan hari itu. Ibu diam seribu bahasa. Pagi itu, sarapanku hanya segelas s**u. Tapi ibu membawakanku bekal. Katanya, ibu tak sempat masak. Padahal aku tahu masih ada waktu satu jam sejak ibu pulang dari berbelanja di tukang sayur. Aku berangkat sekolah dengan satu tanda tanya besar di kepala. Nanti akan kutanyakan sepulang sekolah, begitu pikirku. Namun, pertanyaan itu akhirnya tak pernah sampai ke telinga ibuku. Aku terlanjur tahu alasan perubahan raut wajah ibuku. “Ayahmu bangkrut, ya, Nay?” Salah seorang tetanggaku bertanya saat aku mampir ke rumah teman sekolah sekaligus anak dari tetanggaku itu. “Eh?” Aku terbelalak. “Ya, ‘kan? Sampe jual barang-barang.” Wanita seusia ibuku itu menemaniku duduk. Aku sedang menunggu temanku berganti pakaian. Setelah ini, rencananya, kami akan main bareng. Jadwal rutin jika tidak ada ujian dan tidak ibuku sedang tidak ada pesanan. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Bingung harus menjawab apa. Apa ayahku bangkrut? Aku tidak tahu. Tapi, bukankah sekarang semuanya sudah kembali normal? “Ayahmu bangkrut gara-gara ibumu, ‘kan?” Wajah wanita itu mencibir. Aku tahu ekspresi itu. Tiba-tiba hatiku nyeri. Aku tak suka ibu dibicarakan jelek begitu. “Enggak!” Aku menggeleng tegas. “Iya. Tuh tokomu jadi sepi, barang-barangnya habis. Uangnya dipake apa sama ibumu?” Wajahnya masih menyebalkan. Aku geram sekali. “Dipake apa? Nggak ada. Ibu nggak begitu.” Suaraku meninggi. “Halah, kamu nggak tahu aja. Ibumu itu suka beli barang-barang mahal. Coba lihat perhiasan ibumu di laci kamarnya, pasti banyak tuh. Jangan-jangan uangnya dipake buat beli itu terus ayahmu nggak tahu.” Dadaku sesak. Wajahku panas. Apa benar ibuku begitu? “Ibumu dari dulu memang begitu, Nay. Suka duit. Makanya dia mau nikah sama ayahmu. Dulu ayahmu ‘kan kaya. Waktu nggak ada satu orang pun di desa ini yang punya handphone, ayahmu sudah punya. Eh, setelah bertahun-tahun nikah sama ibumu malah jadi bangkrut. Nggak punya apa-apa. Sampe ngutang ke saudara-saudaranya, jangan-jangan juga ngutang ke bank? Gara-gara siapa kalau bukan gara-gara ibumu?” Wanita itu terus menjelek-jelekkan ibuku dengan bibirnya yang tebal. Aku semakin geram. Dadaku semakin sesak, air mataku sudah siap tumpah. “I-ibu nggak begitu!” Susah payah aku mengeluarkan kalimat itu dari mulutku. Aku beranjak. Berlari meninggalkan wanita berbibir tebal yang selalu digincu merah itu. Hatiku sakit, air mataku tumpah sudah. Aku berlari sekencang yang kubisa. Pandanganku terhalang air mata yang menumpuk di pelupuk. Jduk! Kakiku terantuk batu. Aku terjatuh, lututku luka. Tapi aku tak peduli. Itu sama sekali tidak sakit jika dibandingkan dengan hatiku. Aku terus berlari, sampai ke depan pintu rumahku. Membukanya dengan kasar, langsung menuju ke kamar ibu. Nafasku terengah-engah, wajahku banjir oleh air mata, lututku kotor dan luka. Aku berdiri di depan meja rias milik ibuku. Ayah dan ibu sedang tidak ada. Ayah masih di kantor, ibu sedang jaga toko. Tanganku gemetar meraih gagang laci meja rias. Apa benar ibuku menyembunyikan banyak perhiasan di sini? Perhiasan yang dibeli ibuku tanpa sepengetahun ayahku? Perhiasan yang dibeli ibuku karena hasratnya akan harta? Laci itu perlahan terbuka. Menampilkan isinya yang berantakan. Ada bermacam-macam barang di sana. Kapas, bedak yang pecah, lipstick yang patah, sisir, dan kotak kecil beludru berwarna merah. Aku meraih kotak kecil itu, tanganku masih gemetar. Kotak kecil itu sepertinya sudah tua, warnanya sudah memudar dan kotor. Sepertinya itu tersimpan bertahun-tahun di dalam laci. Terlihat dari kotoran debu dasar laci yang membekas di sekeliling kotak itu. Aku membuka kotak itu perlahan. Air mataku masih mengalir. Kepalaku masih bertanya-tanya, benarkah omongan tetanggaku tadi? Jantungku kini berdetak semakin cepat. Kotak itu terbuka! Isinya? Dua buah gelang emas, satu buah kalung emas dengan liontin berbentuk oval, dan dua buah cincin emas dengan permata di indah di tengah-tengahnya. Aku terduduk di tepi kasur. Isakanku semakin menjadi. Kini aku tahu ke mana perginya uang ayahku. Bukan karena bangkrut, tapi karena uangnya dicuri oleh ibuku sendiri! Aku geram, aku kecewa sekali. Bagaimana bisa ibu menipu kami selama ini? Apakah usahanya menerima jasa membuat kue tart hanya pura-pura agar tidak ada yang tahu ulahnya di belakang kami? Tidak, itu bukan pertanyaan mendasar. Kenapa? Itu pertanyaan terbesarku. Kenapa ibu tega melakukan ini pada kami? Bahkan aku rela membiarkan tanganku melepuh demi mendapat uang receh lima ratus rupiah dari upah mengupas kacang tanah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN