Matahari mulai bergulir semakin meninggi. Tubuhku mulai berkeringat meski kipas angin yang menempel di dinding toko dinyalakan. Suaranya berderit-derit mengikuti irama gerakan sapu ibuku. Aku menyapukan kemoceng ke meja telepon dengan bersemangat, menyelesaikan membersihkan sudut terakhir toko. Sebentar lagi kegiatan bersih-bersih ini akan selesai. Aku tak sabar, acara televisi favoritku akan dimulai sebentar lagi. Animasi Jepang Tokyo Mew Mew. Kau tahu itu? Kalau tahu, mungkin kita seumuran.
"Ibu sudah selesai?" Aku mendekati ibu yang sedang menyapu bagian depan toko.
"Sebentar lagi." Ibu tak menoleh.
Aku memutuskan kembali ke dalam. Duduk di kursi yang biasanya ibu duduki saat menunggu pembeli.
Aku menghela nafas, lelah. Memperhatikan satu persatu barang dagangan di toko kami. Rupanya toko kami sebagian besar menjual makanan ringan. Mungkin karena di sekitar toko banyak sekali anak-anak kecil. Kalau sore biasanya mereka akan nongkrong di depan toko kami. Membeli beberapa camilan, sambil menunggu guru ngaji mereka datang. Ya, di dekat toko kami juga ada surau. Surau kecil yang menjadi pusat peribadatan warga kampung sini. Karena itu pula ibu memilih membuka toko hingga sore hari, menunggu waktu emas para target pasar datang.
Aku mengambil salah satu jajanan favoritku. Mie remes. Kemasannya kecil, harganya seratus rupiah, sesuai sekali dengan kantong anak-anak seumuranku kala itu.
Aku menikmati menyantap mie remes sembari melihat ibuku yang mulai membersihkan kursi di depan toko.
"Bu, habis bersihin kursi selesai?" Aku tak sabar ingin pulang.
"Iya." Ibu tersenyum.
Hore! Saat pulang nanti, mungkin acara kartun favoritku sudah mulai. Tak apa, yang penting masih bisa nonton.
Sayangnya, impian sederhanaku itu tak pernah terjadi. Padahal, bayangan acara kartun itu sudah menari-nari di depan mataku saat aku dibonceng ibu menggunakan sepeda. Ditambah rasa sejuk diterpa semilir angin saat perjalanan pulang, menambah semangatku untuk segera menontonnya.
Roda sepeda ibuku berhenti tepat di depan rumah. Di teras rumah kami sudah ada ayahku yang tertunduk lesu. Di sebelahnya, kakak kedua ayahku duduk dengan wajah yang seolah siap mengamuk. Aku bergidik, apa yang terjadi?
"Oh, ada Mas Rama." Ibuku menyapa dengan senyum tak lepas dari wajahnya. Tapi aku tahu, ibu juga sama ngerinya denganku. Pasalnya, jika Pakdeku itu sudah berwajah masam, artinya akan ada yang diamuk.
Pakdeku berdiri. Tinggi tubuhnya yang lebih dari seratus tujuh puluh senti itu tampak semakin menjulang. Aku bersembunyi di balik punggung ibuku.
"Kamu yang bikin suamimu bangkrut, Ning?" Pakdeku bertanya tanpa basa-basi. Ah, bukan bertanya. Lebih tepatnya menuduh.
"Maksud Mas Rama apa?" Ibuku menggenggam tanganku erat. Aku semakin menciut.
"Suamimu sampai mau pinjam uang sama aku, apanya yang bukan bangkrut? Kamu penyebabnya, 'kan? Ngaku kau, Ning!"
"Tenang, Mas." Ayahku berdiri. Menyentuh lengan Pakde Rama. "Ini musibah, bukan salah siapa-siapa."
"Sejak awal aku nggak pernah setuju kau nikah sama Ningrum. Begini 'kan jadinya? Kau bangkrut! Nggak ada hasilnya semua usahamu itu!" Pakde Rama menghempaskan tangan ayahku kasar. Nafasnya memburu. Matanya berkilat-kilat.
Kakiku gemetar hebat, air mataku sudah siap meluncur jatuh. Takut sekali.
Aku mengintip wajah ibuku yang berdiri mematung. Ia menunduk, wajahnya memerah. Entah karena marah atau justru karena sedih. Bibir ibuku terkatup rapat. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku.
“Aku nggak mau tahu kau dapat dari mana modal untuk tokomu. Nggak akan kupinjamkan. Buat apa? Nanti juga dihabiskan sama si Ningrum itu!” Telunjuk Pakde Rama mengarah lurus ke wajah ibuku yang tertunduk.
“Mas… Jangan bicara begitu, ada Naya.” Ayahku masih berusaha menenangkan.
“Sudah! Aku mau pulang. Tambah pusing aku lihat wajah istrimu itu.” Langkah kaki Pakde Rama lebar-lebar meninggalkan teras rumah kami. Ia melewatiku dan ibu. Aku semakin bergidik.
Ayah mendekati ibu. Merengkuh tubuh ibu ke pelukannya. Ia menyeret lenganku lembut. Tangannya yang kekar melingkar di punggungku. Aku menangis sejadi-jadinya. Antara sedih dan ngeri.
***
Sejak hari itu, hidupku tak lagi sama. Ibu yang biasanya selalu tersenyum setiap hari, kini sudah tak lagi kutemukan. Ayah yang selalu mencandaiku setiap malam, sudah tak lagi kudapatkan. Mereka mendadak berubah pendiam dan murung. Isi rumah kami pun perlahan-lahan berkurang. Tak ada lagi kulkas, meja makan, VCD player, bahkan televisi. Barang-barang itu dijual untuk modal dan biaya hidup sehari-hari. Begitu yang kutahu dari percakapan ayah dan ibuku suatu pagi.
Ibuku semakin sibuk mengurung diri. Setiap hari ia hanya ke luar rumah untuk menjaga toko. Selebihnya ibu hanya berdiam diri di rumah. Barang-barang di toko kami juga mulai menipis. Kadang-kadang, aku membawa beberapa barang dari toko ke sekolah. Aku jual ke teman-temanku. Harga camilan seratu rupiah di tokoku, bisa aku jual seratus lima puluh rupiah di sekolah. Teman-temanku rata-rata anak orang kaya. Pasalnya, sekolahku adalah sekolah elit.
Tak hanya itu, aku juga mengumpulkan uang dari membantu tetangga mengupas kacang tanah. Tetanggaku punya ladang kacang tanah yang sangat luas. Saat panen, hasilnya bisa berton-ton. Sebagian dijual kotor, sebagian lagi dijual bersih. Kacang tanah yang dijual bersih biasanya perlu dikupas kemudian diolah. Aku menawarkan diri untuk menjadi jasa pengupas kacang tanah. Bayaranku tak banyak, hanya lima ratus rupiah untuk sekilo kacang tanah yang berhasil aku kupas. Setiap hari aku melakukannya. Aku tak lagi ingat untuk bermain dengan teman sebayaku, sepulang sekolah aku langsung bergegas ke rumah tetangga. Mengupas kacang tanah.
Ah, orang tuaku tak tahu soal ini. Maka ketika seminggu berlalu menjadi buruh pengupas kacang tanah, tanganku melepuh.
“Kenapa tanganmu, Nduk?” Tanya ibuku begitu melihat tanganku yang melepuh.
“Anu… ini… gara-gara main.” Aku tak tahu harus menjawab apa.
“Main apa sampai begini?” Wajah ibuku khawatir sekali. Aku semakin tak tega mengatakan yang sebenarnya, tapi aku juga tak pandai berbohong.
“Main… sama temen-temen.” Aku nyengir saja. Berharap ibu tak melanjutkan pertanyaannya.
“Main apa?” Ibu menyuruhku duduk di kursi bambu. Ia bergegas mengamil air hangat dan handuk kecil. Mengopres jemariku yang mungil.
“Ngupas kacang.” Suaraku lirih.
“Ngupas apa?” Suara ibuku meninggi. Aku semakin takut. Tapi sudah kepalang tanggung.
“Ngupas kacang, Bu. Biar dapat uang. Biar Naya nggak usah minta uang jajan ke Ibu. Kata Pakde Rama, Ayah ‘kan bangkrut. Barang-barang kita juga mulai habis. Mau jual apa lagi? Naya juga mau bantu.”
Gerakan tangan ibuku berhenti. Aku menunduk dalam-dalam. Tak berani menatap wajah ibuku.
Beberapa detik berlalu tak ada pergerakan dari ibuku. Maka pelan-pelan kuangkat wajahku.
Deg!
Ibuku menangis. Wajahnya yang lesu akhir-akhir ini itu semakin kuyu. Wanita yang melahirkanku itu merengkuh tubuhku. Aku bisa merasakan tubuh ibuku yang berguncang karena menangis.
“Naya nggak perlu begitu, Nduk. Nggak perlu. Ayah sama ibu yang akan berusaha, Naya cukup belajar yang baik aja di sekolah.” Suara ibuku serak. Ia terisak.
Aku tak mengerti, kenapa perihal aku mencari uang dengan menjadi buruh pengupas kacang tanah sampai bisa membuat ibuku menangis sejadi-jadinya begini?
Saat itu aku tak mengerti, bahwa tangis ibuku bukan hanya karena aku. Tapi karena beban yang menumpuk di pundaknya. Karena luka yang menganga di hatinya. Karena kesedihan yang berusaha selalu ia tutup-tutupi.
***
Rupanya, setelah pengakuanku waktu itu, ibu memutar otak untuk menambah pemasukan keluarga. Akhirnya ibuku membuka jasa membuat kue tart. Ya, ibuku pandai membuat kue dan menghiasnya menjadi kue yang indah. Aku tak lagi menjadi buruh pengupas kacang tanah, ibu memintaku menjadi asistennya di dapur. Aku, sih, senang-senang saja. Aroma kue yang dipanggang itu sungguh membuatku ketagihan. Belum lagi keseruan saat menghias kue pun sangat kunikmati.
Satu dua tetangga mulai tertarik memesan kue ke ibuku. Beberapa anak tetangga yang merayakan ulang tahun pun memesan kue ke ibuku. Aku senang sekali meskipun ibuku dan aku jadi sangat sibuk. Karena biasanya ibuku akan membuat satu potong kecil kue untukku. Membiarkanku menghiasnya sendiri lalu pura-pura mengadakan pesta ulang tahun kecil di teras. Mengajak teman-teman sepermainanku ikut berpura-pura merayakan pesta. Menyenangkan sekali.
Awalnya ibu hanya menerima pesanan kue tart. Tapi akhirnya ada pelanggan yang meminta ibu untuk sekalian menyediakan souvenir ulang tahun.
“Naya mau bantu ibu bikin souvenir ulang tahun nggak?” Tanya ibuku selepas mendapat saran dari pelanggan.
“Bikin seperti apa, Bu?” Aku penasaran. Sepertinya menyenangkan. Tak apa meski akhirnya kesibukanku bertambah. Tak apa, bukankah semua orang di dalam keluarga harus berusaha untuk keutuhan keluarga itu?
“Nanti ibu beli kardusnya dan camilan-camilannya. Naya yang merakit kardusnya terus diisi sama camilan dan minuman yang sudah ibu beli. Mau?” Ibu tersenyum. Sepertinya wajah cerah ibuku mulai kembali.
Aku mengangguk antusias. “Eh, tapi kalau sendirian ‘kan lama? Naya boleh ajak teman-teman?”
Ibu mengangguk. “Boleh. Nanti teman-teman Naya, Ibu kasi upah. Seperti waktu Naya bantu mengupas kacang tanah di rumah tetangga.”
“Yey, asiiik!” Aku bersorak bahagia. Ini pasti seru sekali.
Keesokan harinya, ibu benar-benar membeli kotak kertas yang bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun’ di bagian depannya dan berbagai cemilan dan minuman. Masing-masing ada dua puluh lima. Camilan dan minumannya sengaja ibu beli lebih, katanya untuk upahku dan teman-temanku.
Sore itu, sepulang sekolah, aku dan temanku mengerjakan tugas dari ibuku. Sementara ibuku sibuk menghias kue di belakang. Katanya, jam lima nanti pelanggannya akan datang untuk mengambil pesanan. Aku dan teman-teman semakin semangat merakit kotak kertas dan memasukkan camilan.
Saat itu kupikir semuanya akan segera kembali normal. Ibuku yang ceria dan banyak tersenyum akan kembali. Ayahku yang suka bercanda juga akan kembali. Barang-barang di rumah kami takkan lagi berkurang. Sesegera mungkin. Sesegera pelanggan itu mengambil dan membayar pesanannya.