11. Sebuah Rahasia

818 Kata
"Ma ... Ma ... Mama...." Saka terbangun dari tidurnya. Ia langsung memanggil-manggil Alysa karena tak ditemukannya di ranjang di sebelahnya. Raka yang masih tidur menjadi terusik. Berbeda dengan Raka, Alika justru masih nyenyak dalam tidurnya. Lelaki dua anak itu membuka matanya kemudian berniat untuk menenangkan Saka. "Mungkin Mama di dapur, Sayang ... sini sama Papa." Tangan Raka terulur berniat untuk meraih Saka untuk dipeluknya. "Nggak mau! Saka nggak mau sama Papa. Papa jahat. Papa udah nggak sayang lagi sama kami." Saka memberontak. "Maafin Papa l, Sayang ... maafin Papa...." Hati Raka sakit mendapat penolakan dari putranya. Ia sadar jika dirinya salah. "Saka nggak mau di sini! Saka mau pulang! Di sini nggak ada yang sayang Saka. Di sini nggak ada yang sayang Alika. Oma juga jahat sama Mama. Saka mau pulang!" Tangis Saka pecah. Raka memeluk Saka meskipun Saka mencoba untuk memberontak. "Lho? Saka kenapa?" tanya Alysa saat masuk ke kamarnya. Mendengar suara Alysa, Saka langsung melepaskan diri dari sang papa kemudian turun dari ranjang menghamipiri Alysa dan memeluknya. "Ayo pulang, Ma ... ayo kita pulang!" Alysa membawa Saka untuk duduk di tepi ranjang dan memangkunya. "Saka nggak boleh gitu ... Saka kan anak baik. Masa ngambek terus?!" Alysa mengusap kepala Saka agar Saka tenang. "Saka sabar dulu, ya ... besok, Papa mau daftarin Saka sekolah. Nanti kalo udah sekolah, pasti Saka punya banyak teman. Pasti nanti Saka jadi betah tinggal di sini." "Tapi Oma nggak sayang kita, Ma...." "Bukannya nggak sayang. Oma sayang kita, kok ... hanya saja, kita baru ketemu. Jadinya belum dekat. Udah, ya ... Saka jangan nangis lagi. Jangan ngambek lagi." Saka diam. Namun, tangisnya telah mereda. "Sekarang Saka mandi dulu, ya...." Saka mengangguk. Kemudian turun dari pangkuan Alysa. Setelah itu ia melepas pakaiannya. Dan segera berlari ke kamar mandi. Saka memang sudah terbiasa mandi sendiri. "Maafin aku, ya," ucap Raka saat mereka tinggal berdua. Karena Alika belum juga mau bangun dari tidurnya. Alysa menghela napasnya. "Aku nggak masalah jika keluarga dan saudara kamu nggak nerima aku. Tapi apa salah anak-anak? Kenapa anak-anak juga harus nerima perlakuan buruk mereka?" Raka diam. "Kasian anak-anak, Ka ... aku harap, kamu mengerti perasaan kami." "Kamu ngomong apa, sih ... nanti aku akan bilang ke Mama dan Kak Rama, kalau kita akan tinggal di apartemen." "Baguslah, kalau begitu." "Jangan cemberut, dong. Tadi bilang ke Saka katanya nggak boleh ngambek. Masa sekarang tinggal mamanya yang ngambek." "Aku nggak ngambek. Aku cuma lagi kesel." "Kesel sama siapa?" "Sama kamu." "Kan aku udah minta maaf...." "Siapa Raisa??" "...." *** "Aku harap, kamu bisa merelakannya, Ra...." "Kenapa?" "Karena mereka udah bahagia." "Palsu, Kak. Aku yakin, Raka masih cinta sama aku." "Apa kamu tega menyakiti Alysa? Kalian sama-sama wanita." "Apa aku harus berkorban lagi?" "Kamu yang memilih sendiri jalan ini, Ra...." "Tapi semua aku lakukan demi Raka, Kak ... aku lakukan itu semua karena aku ingin Raka sukses. Aku pikir, dia akan bertahan dengan perasaannya." Rama memeluk Ara. Mereka memang telah menikah. Namun, tak seperti pasangan menikah kebanyakan. "Aku mencintainya, Kak ... aku sangat mencintainya." "Iya ... Kakak tahu. Tapi kalau kamu mencintainya, bukankah kamu juga harus biarkan dia bahagia? Meskipun itu dengan wanita lain?" "Aku nggak bisa, Kak ... Kara juga membutuhkan ayahnya." "Bukankah Kara tahunya aku ayahnya?" "Tapi Raka ayah kandungnya, Kak...." Hati Rama nyeri mendengarnya. Delapan tahun lebih Rama menjadi suami Ara, baru kali ini ia merasa dihempaskan. Meskipun ia tahu Ara tidak mencintainya, ia pikir ia bisa menjadi bagian dari hidupnya. Karena meskipun awalnya Rama tidak mencintai Ara, tetapi seiring berjalannya waktu rasa itu kini telah ada. Ia juga sangat menyayangi Kara, seperti ia menyayangi anak kandungnya. *** "A ... A ... Aku hamil, Kak...." Sore itu Ara mengajak Rama untuk bertemu. Ia benar-benar bingung harus bagaimana saat mendapati ada yang tidak beres dalam tubuhnya. Merasa mual, meriang seperti orang masuk angin. Saat menyadari siklus haid bulannannya telat, ia segera pergi ke apotek untuk membeli testpack. Dua garis merah yang ia lihat membuatnya tak bisa lagi berkata-kata. Merasa tak mungkin memberitahukannya pada Raka, akhirnya ia meminta Rama untuk menemuinya. "Hamil?" tanya Rama dengan nada terkejutnya. Ara mengangguk. "Apa Raka yang melakukannya?" Ara mengangguk lagi. Kecewa. Itu yang Rama rasakan. Adik yang dibanggakan, adik yang diharapkannya telah menghamili anak orang, sebelum ia memiliki masa depan yang jelas. "Kakak akan menghubungi Raka." "Jangan, Kak!" "Kenapa? Kamu mau hamil tanpa suami? Kamu mau jadi cibiran orang?" tanya Rama dengan nada tinggi. "Aku nggak mau menganggu kuliah Raka ... Aku takut, jika Raka tahu aku hamil, kuliahnya akan terganggu. Karena dia juga harus memikirkan kami." "Terus apa yang mau kamu lakukan?" "Aku akan membesarkan anak ini, Kak ... aku cerita ke Kakak, biar nantinya Raka tidak berpikir macam-macam." "Apa kamu nggak akan menyesal nantinya?" "Nggak, Kak ... aku hanya ingin Raka menjadi orang sukses, seperti apa yang selama ini dia cita-citakan." Rama menghela napasnya berulang kali. "Baiklah ... Kakak yang akan menikahi kamu." "Tapi l, Kak..l.." "Kakak hanya ingin menutupi aib kamu." Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN