14. Anak Kita

790 Kata
Ya, kurasa sudah saatnya aku melupakan semuanya. Tenggelam dalam masa lalu membuatku terancam akan kehilangan istri dan anak anakku. Bukan aku tidak mencintai Alysa, aku mencintainya. Hanya saja kemarin kemarin aku belum bisa melupakan Ara. Atau mungkin aku yang tidak bersungguh sungguh berusaha melupakannya. Masalah nama Aurora, itu memang sengaja aku sematkan dinama Alika karena saat itu aku masih memiliki rasa pada Ara. Namun saat Alika berumur sembilan bulan, saat itu Alysa kembali mengalami hipotermia yang membuatnya tidak sadarkan diri untuk beberapa hari. Saat itu aku sadar, hatiku mulai berpindah pada Alysa. Dan aku tidak bisa kehilangan dia. Dan masalah foto, itu adalah keteledoranku yang lupa tidak menghapusnya dari memori ponselku. Aku bertanya pada Alysa dari mana dia tahu tentang Ara. Katanya dari barang barang yang ada dilaci lemari kamarku. Dan itu yang tidak aku ketahui sama sekali. Aku pikir, mama sudah membuangnya. Setelah kejadian malam itu, aku lebih menunjukkan rasa cintaku pada Alysa. Bahkan aku tak sungkan menunjukkannya didepan Ara dan mama saat aku berkunjung kerumah mama. Karena aku merasa jika Ara masih mengharapkanku. Dan aku tak mau dia memiliki celah untuk mendekatiku. "Ra ... Kakak mohon, tolong jangan usik keluarga Raka lagi." "Kakak nggak kasihan sama Kara?" "Bukannya kaya gitu, apa kasih sayang Kakak masih kurang? Kamu tahu, Kakak cinta sama kamu ... apa nggak bisa sedikit aja kamu bales perasaan Kakak?" "Kita udah pernah bahas ini, Kak ... dan Kakak juga tahu, cuma Raka yang aku cintai. Aku nggak pernah maksa Kakak buat nikahin aku." "Kami juga nggak pernah maksa kamu untuk nggak bilang ke Raka tentang keadaan kamu waktu itu." Baru kali ini Rama benar-benar merasa kesal pada Ara. Kenapa dia begitu keras kepala? "Ya udahlah, terserah kamu! Kakak capek ngadepin kamu," ucap Rama akhirnya. Kemudian pergi meninggalkan Ara. Malam Minggu, Raka bersama istri dan anak-anaknya, seperti biasa datang ke rumah sang mama. "Besok hari Minggu. Gimana kalo kita jalan-jalan, Ka?" tanya Rama. "Boleh, Kak. Kemana?" "Ke waterboom aja gimana?" "Boleh. Saka sama Alika pada seneng tuh, main air. Gimana, Sa?" "Aku ngikut aja," jawab Alysa, kemudian Raka mencium pipi Alysa. Hal itu tak luput dari Rama dan Ara. Rama tersenyum melihat tingkah laku adiknya. Sementara Ara tampak tidak menyukai itu. "Kamu ikut kan, Sayang?" tanya Rama pada Ara. Ara tampak tidak menyukai dipanggil sayang oleh Rama di depan Raka. "Terserah." Setelah menjawab itu, Ara memilih untuk menghampiri Kara yang sedang bermain bersama Saka dan Alika. Rama hanya bisa berdecak pelan. Esoknya, pagi-pagi sekali Raka sekeluarga sudah tiba di rumah mamanya. Jam delapan pagi mereka semua berangkat menggunakan mobil masing-masing. Sesampainya di tempat tujuan, mereka langsung membeli tiket. Kemudian masuk ke dalam mencari tempat yang teduh untuk meletakkan barang-barang mereka. Ara dan Alysa mulai mengganti baju anak-anak mereka dengan baju renang. Alysa menggiring Saka dan Alika ke kolam renang. Sementara Ara meminta Rama untuk mengawasi Kara. "Kak ... Kak Rama yang nemenin Kara ya ... aku lagi dapet," pinta Ara. Tanpa dua kali memintanya, Rama mengangguk. Kemudian berdiri lalu menuju kamar ganti untuk mengganti bajunya. Awalnya Raka juga akan mengikuti Rama. Namun, Ara mencegahnya. Segera Ara mencekal lengan Raka. "Ada apa lagi?" tanya Raka datar. "Kita harus bicara." "Apa lagi yang harus dibicarakan?" "Tentang kita, Raka...." "Lihat!!" ucap Raka menunjuk ke arah di mana Rama dan Alysa bersama anak-anaknya sedang main air. "Mereka begitu sangat bahagia. Untuk apa kita mengungkit masa lalu?" "Tapi...." "Tolong ... tolong jaga perasaan anak dan istriku. Juga jaga perasaan Kak Rama. Aku sangat menyayanginya." "Tapi bagaimana dengan perasaanku, Raka?!" Ara mulai gusar. "Haruskah kamu egois, dengan hanya mementingkan perasaan kamu?" "Aku nggak bisa mencintai Kak Rama." "Kenapa baru sekarang kamu mengatakan itu?" "Karena baru sekarang kamu kembali." "Udahlah. Ini jalan yang kamu pilih." "Tapi kamu masih cinta, kan, sama aku?" "Enggak! Aku udah nggak cinta sama kamu!" "Bohong!!" "Terserah kamu mau percaya apa enggak, kita udah punya kebahagiaan masing-masing. Kita juga sama-sama udah punya anak. Udah cukup aku menyakiti Alysa, karena dulu di saat dia udah jadi istriku, aku masih mencintai kamu. Dan sekarang aku nggak akan pernah menyakitinya lagi, hanya demi kamu. Wanita yang sudah meninggalkanku. Wanita yang sudah menghancurkan hati dan hidupku." Ara menangis. Sungguh, ia ingin sekali memeluk Raka. Dan mengatakan semuanya. "Tapi aku punya alasan untuk itu, Raka...." "Apa pun alasannya, kamu udah menyakiti aku. Beruntung Tuhan mengirimkan Alysa untuk mengobati luka itu." "Aku melakukan itu karena aku ingin kamu sukses. Karena aku tidak ingin mengganggu kuliah kamu...." "Bukannya dua tahun kuliahku, kita baik-baik saja? Atau mungkin kamu yang pintar bersandiwara, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Nyatanya kamu berselingkuh dengan kakakku di belakangku." "Enggak, Raka! Semua itu nggak benar." Tangis Ara semakin kencang. "Udahlah, Ra. Kamu kakak iparku sekarang. Dan aku nggak mau membuat masalah dengan Kak Rama!" "Tapi, KARA ANAK KITA! KARA ANAK KAMU!" Deg "...." Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN