Sudah hampir satu minggu, Alysa mengurung diri di kamarnya. Selama itu juga Alysa tidak memakan makanan berat. Hanya sereal yang ia seduh dengan air dispenser yang kadang dikonsumsinya. Sesuai yang ia dengar, Raka tidak sekalipun menghubungi Alysa.
Kebingungan melanda dirinya. Apa yang kini harus dilakukannya. Haruskah ia menggugurkan kandungannya? Penyesalan memang selalu datang belakangan, dan akan selalu berakhir dengan kata seandainya.
Angel, teman kuliah Alysa yang juga tinggal di asrama bertanya-tanya, ada apa dengan Alysa. Tak biasanya temannya itu betah di kamarnya. Awalnya Angel berniat ingin meminta minum, karena air di kamarnya habis. Sudah biasa bagi mereka untuk berbagi.
Angel mengetuk kamar Alysa beberapa kali. Namun, tak juga mendapat jawaban. Akhirnya Angel menurunkan knop pintu dan ternyata tidak dikunci. Angel masuk ke kamar Alysa tapi tidak menemukannya di sana. Hanya suara gemericik air dari kamar mandi yang Angel dengar.
"Al, gue minta minum yah ... minum gue abis!" seru Angel. Namun, Angel tak mendengar sahutan apa pun.
"Al ... Al...!" seru Angel lagi. Tetapi masih tetap tak mendapat jawaban. Merasa curiga, Angel membuka pintu kamar mandi yang tidak dikunci.
"YA TUHAN, ALYSA!" Angel segera masuk ke kamar mandi saat mendapati Alysa pingsan di bawah guyuran air shower. Setelah mematikan kran shower, Angel mendudukkan Alysa di lantai kamar mandi. Dengan susah payah, Angel melepas seluruh pakaian Alysa setelah itu ia menghandukinya dan segera membawa Alysa ke ranjang serta memakaikan baju untuk Alysa. Panik masih saja hinggap di benak Angel saat Alysa belum juga sadar padahal Angel sudah berusaha menghangatkan tubuh Alysa.
Angel bingung apa yang harus dilakukannya. Apalagi saat ini asramanya tengah kosong. Meraih ponsel Alysa, Angel segera mencari kontak Raka dan segera menghubunginya, tetapi tak juga mendapat jawaban.
***
Di tempat lain, Raka sedang berdua bersama Farel.
"Kok akhir-akhir ini gue nggak pernah ketemu Alysa, ya," ucap Farel.
"Gue juga. Kalo gue sih, sengaja."
"Jahat, lo!"
"Bukannya jahat, justru karena gue nggak mau ngasih harapan palsu ke dia"
"Tapi lo udah ngerusak dia, Bro!"
"Kita sama-sama suka waktu ngelakuinnya, Bro. Mumpung dia belum hamil, makanya gue ngehindarin dia. Takut khilaf lagi. Nanti kalo gue udah liat dia udah sama cowok lain, baru gue berhenti ngehindarin dia"
"Ckckckck, kebangetan lo!"
Drrrrrtttt drrrrrrttttt
Ponsel Raka bergetar. Raka melihat nama Alysa terpampang di sana. Raka memberikan ponselnya pada Farel.
"Siapa?" tanya Farel.
"Alysa. Kalo nanyain gue, bilang aja gue lagi mandi atau lagi ngapain, kek."
"Hhhhhhhhhh." Meskipun enggan, Farel segera mengusap ponsel Raka untuk menjawab panggilan itu.
"Hallo...."
"Hallo, Raka?"
"Bukan, ini Farel. Rakanya lagi mandi."
"Oh, Farel. Lo bisa nggak ke asrama Alysa?"
"Ada apa?"
"Alysa pingsan di kamar mandi. Dari tadi belum sadar juga. Gue mau minta tolong buat bantuin gue bawa Alysa ke rumah sakit. Asrama lagi nggak ada orang."
"Oh ... ok, ok. Kita akan segera ke sana."
"Ok, gue tunggu."
"Ada apa?" tanya Raka saat melihat raut kecemasan di muka Farel.
"Alysa pingsan, Ka."
"Apa?!"
"Ini temen satu asrama Alysa yang telepon. Dia minta tolong buat bantu bawa Alysa ke rumah sakit." Meskipun tidak ada cinta, rasa cemas tetap menggelayuti hati Raka saat mendengar Alysa pingsan.
"Ok. Ayo kita ke sana!"
***
Raka sangat merasa bersalah saat mendengar penjelasan Angel bahwa Alysa pingsan di kamar mandi di bawah air shower yang mengalir. Ditambah lagi saat dokter mengatakan jika Alysa mengalami hipotermia. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Raka bagai mendengar petir di siang yang terik saat dokter mengatakan bahwa Alysa hamil. Raka yakin, sangat yakin malah. Bahwa Rakalah orang yang harus bertanggung jawab untuk itu.
Hari sudah pagi. Namun, Alysa belum juga sadar karena pengaruh obat bius. Raka terus menemani Alysa. Sementara Farel dan Angel sudah kembali ke tempat masing-masing. Angel sangat marah saat mendengar apa yang terjadi. Namun, kemarahan Angel reda, saat Raka mengatakan akan bertanggung jawab.
Raka memperhatikan wajah Alysa yang terlihat pucat.
"Apa kamu sudah tau kalau kamu hamil? Jika iya, kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?" tanya Raka berbisik dengan menanggalkan kata lo-gue, berganti menjadi kamu-aku. Meski Raka tahu, Alysa tak akan menjawabnya karena Alysa belum sadar.
"Aku janji, aku akan bertanggung jawab. Jangan melakukan apa pun lagi yang dapat membahayakan kamu dan anak kita, ya...," lanjut Raka. Kemudian mencium kening Alysa.
"Engh...," erang Alysa pelan, perlahan membuka matanya.
"Sa ... kamu udah sadar?"
Alysa mencoba menajamkan penglihatannya. Setelah kesadarannya penuh, Alysa segera menepis tangan Raka yang menggenggam tangannya.
Raka segera memanggil dokter untuk mengecek kondisi Alysa. Dokter mengatakan jika kondisi Alysa sudah membaik. Hanya masih butuh istirahat total. Setelah itu, dokter segera pergi meninggalkan ruang rawat Alysa.
"Sa ... kamu hamil, " ucap Raka sambil meraih tangan Alysa. Berharap Alysa tidak lagi menepisnya. Namun, tetap sama. Alysa menolak disentuh Raka.
"Gue udah tau," jawab Alysa dingin.
"Kalo udah tau, kenapa kamu nggak ngomong ke aku?"
"Buat apa? Kalopun gue ngomong, belum tentu lo mau tanggung jawab, kan?!"
"Kenapa ngomong gitu?"
"Udah lah Ka, buat apa sih, berpura-pura terus di depan gue. Gue muak, Ka. Gue muak!"
"Siapa yang pura-pura? Aku nggak pura-pura. Bukannya aku udah pernah bilang, kalo sampe terjadi sesuatu, aku pasti bakalan tanggung jawab?"
"Cukup Ka! Gue tau, gue cuma pelarian lo. Selama ini lo cuma manfaatin gue."
"Kamu ngomong apa, sih?"
"Gue denger semuanya Raka!"
"Denger apa?"
"Lo berniat jauhin gue, karena selama ini lo belum bisa move on dari mantan pacar lo. Dan apa yang lo lakuin selama ini ke gue cuma buat pelarian lo. Iya, kan? Iya kan, Raka?!" teriak Alysa histeris dengan air mata mengalir di pipinya.
Raka terdiam mencerna perkataan Alysa. Raka menyadari bahwa Alysa pasti ada di kantin saat Raka berdua bersama Farel. Dan Alysa pasti mendengar pembicaraannya bersama Farel.
Setelah Raka sadar dari keterdiamannya, Raka segera membawa Alysa ke dalam palukannya. Alysa terus meronta menolak pelukan Raka.
"Sssttt, maafin aku ... maafin aku. Aku akui aku memang melakukan itu sama kamu bukan karena cinta...." Ucapan Raka membuat Alysa semakin murka. Namun, Raka tak membiarkan Alysa lepas dari pelukannya.
"Tapi aku janji, aku janji akan bertanggung jawab. Aku janji akan belajar mencintai kamu...." Rontaan Alysa perlahan melemah.
"Aku akan menemui orang tua kamu, kita akan menikah." Raka memeluk Alysa lebih erat lagi. Satu tangannya mengusap kepala Alysa.
"Kamu tenang, ya ... semua akan baik-baik aja. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu."
***
Tbc.