6. My Family

683 Kata
Alysa Sudah tujuh tahun lebih aku menjalani rumah tangga bersama Raka. Anak sulung kami laki-laki yang kami beri nama Saka Ical Rahardian sudah berusia tujuh tahun. Kenapa aku bilang anak sulung? Karena setelah usia Saka tiga tahun, aku dipercaya untuk hamil lagi. Anak kedua kami perempuan, kami beri nama Alika Aurora  Rahardian. Raka-lah yang memberi nama. Kini ia berusia tiga tahun. Saat ini, kami masih menetap di negara tempat kami kuliah. Raka sudah mendapat gelar S2-nya sejak lima tahun lalu. Sejak kami menikah, Raka belum pernah kembali ke rumahnya. Hanya sesekali menelepon ibu juga kakaknya. Terkadang, aku merasa sedih. Karena sampai sekarang Raka belum juga memberitahu statusnya juga kedua anak kami kepada keluarganya. Jika aku bertanya kenapa? Pasti dia akan menjawab belum siap. Entah apa yang membuatnya belum siap. Di sini kami membuka usaha kecil-kecilan. Yaitu sebuah cafe dan toko kue. Lumayan, bisa untuk menghidupi keluarga kecil kami. Selain itu Raka juga bekerja pada perusahaan asing. Gaji dari kerjanya itu kami tabung. Katanya untuk dia membuka usaha sekembalinya kami ke Indonesia. Raka bercerita kepadaku jika selama dia sekolah dan kuliah, kakaknyalah yang membiayai hidupnya. Karena ayahnya telah tiada, dan dia tidak ingin merepotkan kakaknya lagi. Cup Satu kecupan mendarat di pipiku. Hal itu membuat diri ini tersadar dari lamunan. "Ngelamunin apa, sih? Sampe-sampe nggak sadar aku masuk, hem?" tanya Raka yang diakhiri dengan kecupannya lagi. "Ngelamunin kamu," jawabku. Karena memang benar 'kan, sedari tadi aku melamunkannya. Melamunkan keluarga kecil kami tepatnya. "Ngelamunin jorok, ya?" godanya padaku. "Iiihh, nggak lah, ya...." "Iya juga nggak apa-apa. Yang penting ngelamunin pas sama aku." "Ihhh, kamu...." Inilah rumah tangga kami sekarang. Sejak malam pertama kami, sejak Raka mengucapkan akan berusaha mencintaiku, Raka memang benar-benar melakukannya. Meskipun aku tahu, entah siapa masih melekat di dalam hatinya. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku sering menangkap basahnya sedang melamun. Dan aku tahu pasti ada hubungannya dengan masa lalunya. Tapi aku tak mau ambil pusing selama dia masih bersikap wajar padaku dan anak-anak. "Mau jemput anak-anak?" tanyaku. Ya, karena Saka sekarang sudah bersekolah di sekolah dasar. Sementara Alika juga sudah mulai dikenalkan dengan dunia sekolah. Mungkin jika di Indonesia setara dengan PAUD. "Farel yang jemput. Dia naksir sama guru Saka. Makanya dia nawarin diri buat jemput." "Yakin? Bukan kamu yang nyuruh dia?" tanyaku curiga. "Ya nggak, lah. Buat apa?" "Kamu kan sering modus." Tuh kan, benar. Baru juga aku menyelesaikan kalimatku, dia sudah menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Menciuminya hingga membuatku merinding. "Pulang yuk, Yang...," ucap Raka sambil membawa tanganku untuk menyentuh benda keras yang berada di balik celananya, dari luar permukaan celananya. Kupandangi Raka dan dia hanya nyengir memamerkan giginya. Aku hanya bisa menurutinya. Karena sebisa mungkin, aku meminimalisir hal-hal yang akan memancing pertengkaran kami. *** Hari Minggu, kami berkumpul di apartemen. Apartemen yang awalnya kami sewa, tapi kemudian kami membelinya satu tahun yang lalu. Apartemen yang jauh lebih besar dari apartemen Raka dulu. Inilah kegiatan kami tiap minggunya. Kami hanya akan mengecek cafe dan toko Kue kami siang atau sore. Karena keduanya sudah kami percayakan pada karyawan kami, yang masing-masing memiliki tujuh karyawan untuk cafe, dan tiga karyawan untuk toko kue. Aku bersyukur keluargaku selalu dilimpahi kebahagiaan. Meskipun terkadang ada masalah dan kendala, tapi itu tidak menjadi hal yang berarti. Karena kami akan segera menyelesaikannya. Saat kami sedang asyik menonton film kartun kesukaan anak-anak, ponsel Raka berdering. "Iya, Ma?" ucap Raka. Ternyata mamanya yang menelepon. "...." "APA?!" "...." "Ok, ok, Ma ... Raka akan segera pulang." "Ada apa, Ka?" tanyaku pada Raka, setelah Raka menyelesaikan sambungan teleponnya. "Kak Rama sakit. Kita harus pulang ke Indonesia." "Kita? Aku dan anak-anak?" tanyaku ragu. "Iya...." "Kamu yakin?" "Aku rasa udah waktunya." "Baiklah, as you wish...." "Ok. Aku akan pesan penerbangan besok pagi. Kamu beresin baju kita dan anak-anak. Aku mau ke cafe dan toko. Biar mereka bisa meng-handle untuk sementara waktu. Abis itu sekalian minta izin ke guru anak-anak." Aku mengangguk. "Kamu hati-hati di jalan." "Iya," jawab Raka. Lalu mencium keningku. Kemudian segera pergi meninggalkanku. Aku segera masuk ke dalam apartemen. Menghampiri anak-anak untuk mangatakan pada mereka tentang kondisi kakak ayahnya yang mengharuskan untuk pulang ke Indonesia. Anak-anak sangat antusias mendengarnya. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN