HANIF "Isma, Sayang! Mas mohon jangan pergi!" Aku terus berteriak, tetapi Isma tak menggubris. Aku mengejarnya, tetapi tangisan Ayra yang makin kencang menghentikan langkah ini. Aku kalut. Aku bimbang antara ingin mengejar istriku tapi juga harus menenangkan putriku. "Hanif, tenangkan Ayra dulu. Untuk Isma biar nanti kita cari tahu." Papa menyusulku. Ia mengusap bahuku yang berguncang menahan tangis. "Dia pergi, Pa. Aku tidak ingin kehilangan dia lagi." "Ya, Papa tahu dan Papa minta maaf." Papa menepuk bahuku. "Karena ulah Papa dan Mama akibatnya jadi seperti ini." Aku menoleh ke arah Mama dan Mbak Marni yang sedang sibuk menenangkan putriku. Tak tega, aku berjalan gontai menghampiri mereka dan mengambil alih Ayra dari tangan Mbak Marni. "Ini Ayah, Sayang. Ayra jangan nangis."

