9. Ayo berjuang lagi

1600 Kata
Brakkk! Alleia membuka pintu utama rumahnya dan membanting dengan kasar. Papa, mama dan kelima adiknya yang berada di ruang tamu sedang menantinya pun sontak terlonjak kaget. Intan melihat raut putrinya yang masam dengan air mata yang membasahi pipi gadis itu.  "Alleia, ada apa, Sayang?" tanya Intan mendekati anaknya.  Alleia tidak menjawab, perempuan itu tanpa menyapa keluarganya pun segera berlari menaiki tangga dengan tergessa-gesa.  "Kakak!" teriak Allard ingin mengejar Alleia tapi ditahan oleh Rex.  "Biarkan dulu kakakmu!" ujar Rex.  "Tapi, Pa. Kak Alleia menangis, sudah pasti ada yang cari gara-gara sama kakak," ujar Allard yang khawatir pada kakaknya. Meski dia sudah disembur kakaknya, tetap saja dia tidak bisa melepas perhatian pada kakaknya begitu saja.  "Kakakmu sudah dewasa, tau mana yang harus dia lakukan dan mana yang tidak harus dilakukan!" ucap Rex memberikan pengertian pada anak-anaknya supaya tidak ikut campur. Kasihan juga Alleia kalau apa-apa harus dicampuri oleh adik-adiknya.  "Apakah hanya mama yang tidak tau ada apa ini?" tanya Intan menatap memicing suami dan anak-anaknya. Intan merasa suaminya menyembunyikan sesuatu tentang anak perempuan mereka.  Rex merangkul bahu Intan dengan pelan, "Nanti malam kita diskusikan," ujar Rex menoel hidung istrinya.  "Pa, di situasi kayak gini gak usah mesra-mesraan kali!" ketus Alden menendang kaki papanya dengan pelan.  "Apa sih, kalau jomblo ya jomblo saja gak usah ganggu kesenangan orangtua!" jawab Rex dengan sewot.  "Awas saja sebentar lagi aku pulang bawa pacar!" ujar Alden dengan songong.  "Iya nanti papa siapin tali buat gantung kamu di depan pintu," ucap Rex menatap tajam anaknya. Kencing masih belum lurus sok-sokkan mau pacaran. Kebanyakan anaknya tukang ghosting, kasihan cewek-cewek yang menjadi korban lambe lamis anak-anaknya.  Di kamarnya Alleia tengah tengkurap sembari menangis kencang. Alleia kesal dengan drinya sendiri, kesal dengan emosinya dan kesal dengan segala jenis perhatian Braga yang dia salah artikan.  Apa salah dia sebagai perempuan terbawa perasaan dengan kebaikan Braga? Apa salah dia sebagai perempuan mengharap lebih dari segala perhatian Braga? Kalau memang Braga hanya sebatas balas budi, kenapa Braga tidak mencari cewek lain untuk dipacari agar tidak menimbulkan salah paham antara batin Alleia? Yang menambah Alleia makin baper adalah, Braga tidak pernah dekat dengan perempuan manapun selain dirinya.  Alleia masih menangis, gadis itu tidak tau apa yang harus dia lakukan selain menangis. Dering telfon nyaring dari tas Alleia tidak Alleia anggap. Alleia tidak ingin diganggu, terlebih jika itu telfon dari orang yang tidak penting.  Sedangkan di sisi lain tepat di depan rumah Rexvan, Braga masih belum menjalankan mobilnya. Braga masih menatap rumah besar itu dalam diam. Braga sedikit merasakan raut berbeda dari Alleia. Selain wajah yang marah, wajah Alleia lebih mendominasi ke ekspresi sedih.  Tok tok tok!  Suara ketukan kaca mobil membuat Braga menolehkan kepalanya. Braga menurunkan kacanya dan melihat dengan jelas wajah Pak Mansur yang mengetuk pintu.  "Iya, Pak?" tanya Braga.  "Mas Braga gak masuk?" tanya Pak Mansur, penjaga rumah Rexvan.  "Tidak, Pak. Aku mau ke kantor, tadi habis nganter Alleia," jawab Braga dengan sopan,  "Hari sudah sore masih mau ngantor lagi?" tanya Pak Mansur yang heran.  "Banyak pekerjaan, Pak. Kalau begitu aku pamit dulu, ya!" "Hati-hati di jalan!" jawab Pak Mansur yang diangguki Braga. Braga lantas menjalankan mobilnya untuk segera ke kantor.  Pak Mansur menatap mobil Braga yang menjauh. Pak Mansur sudah sejak Braga kecil bekerja ikut Rex. Pak Mansur juga yang menjadi saksi bagaimana baiknya Rex mengurus Braga seperrti anaknya sendiri. Pak Mansur pernah berdoa, semoga kelak saat Braga dewasa Braga akan menjadi orang yang membawa manfaat untuk orang lain seperti Rex. Bertahun-tahun dia bekerja dengan Rex, tidak pernah sekalipun dia dibentak ataupun dimarahi tanpa sebab. Sama siapapun Rex selalu menghargai dan menghormati.  Mungkin kehidupannya saat remaja dulu yang sangat keras, membuat Rex membentuk karakter yang baik saat dewasa. Terlebih Rexvan tidak salah memilih istri, istrinya perhatian, pengertian dan selalu mengingatkannya saat dia sudah mulai berbuat semena-mena.  Braga memilih pergi ke kantor untuk bekerja daripada pulang ke rumahnya. Percuma kalaupun dia pulang ke rumah karena tidak akan ada yang menunggunya pulang. Rumahnya sangat sepi, hanya suara kura-kura peliharaannya yang berenang di dalam kolam. Braga hanya bisa berandai-andai. Andai dia punya istri, saat pulang kerja akan disambut dan ditawari mandi dulu atau makan dulu. Namun sayangnya setiap orang tidak sama beruntungnya yang saat dewasa langsung mendapat pasangan.  Sampai di kantornya, sebagian karyawan sudah pulang. Braga tidak peduli, laki-laki itu segera naik ke lantai atas untuk menuju ke ruangannya. Setidaknya saat di kantor dia tidak terlalu merasa bosan karena ada hal yang harus dia kerjakan.  Setelah keluar dari lift, Braga menyusuri koridor lantai teratas. Laki-laki itu dari kejauhan melihat sekretarisnya yang siap pulang dengan meneteng tasnya.  "Mau ke mana?" tanya Braga pada Bunga.  "Eh Pak Braga ...." sapa Bunga dengan antusias.  "Sejak makan siang tadi saya mencari bapak sampai ke penjuru kantor, tapi bapak sama sekali tidak terlihat. Bapak dari mana saja?" tanya Bunga dengan suara centilnya.  "Berjuang mendapatkan hati cewek," jawab Braga dengan asal.  "Kok bapak mau sih capek-capek berjuang yang belum tentu diterima, padahal ada saya yang rela diperjuangin dan menerima sepenuh hati," ujar Bunga.  "Jangan ngawur kamu!" ucap Braga menatap tajam Bunga.  "Ayo ayo sini masuk ke ruangan, biar saya hibur bapak sampai bapak seneng lagi. Bapak gak pantes nampilin muka kayak gitu. Bapak pantesnya nampilin muka garang, bukan menye-menye kayak gitu!" omel Bunga menarik tangan Braga untuk masuk ke ruangan pria itu.  Braga hanya menurut saat diseret Bunga, jujur saja dia juga butuh hiburan. Mungkin dengan kecerewetan Bunga, Braga bisa mengalihkan pikirannya dari Alleia.  Bunga mendorong tubuh Braga hingga terhempas di sofa, buru-buru Braga melepas dua kancing teratas kemejanya untuk mengurangi rasa gerahnya.  "Bapak, saya nemenin bapak di sini dihitung lembur, kan?" tanya Bunga dengan menaik turunkan alisnya.  "Hem," jawab Braga dengan tenang  "Bapak ngapain sih bisa menye-menye begini? Siapa yang bapak sukai sebenarnya?" "Bunga, aku mau minta pendapatmu!" ucap Braga yang keluar dari jalur pembicaraan.  "Apa?" "Menurutmu, bagaimana kalau mencintai orang yang tidak mungkin bisa digapai?" tanya Braga.  "Buang-buang waktu," jawab Bunga dengan spontan hingga membuat Braga menolehkan kepalanya.  "Apa maksudmu?" tanya Braga. Braga tidak setuju dengan jawaban Bunga yang terkesan pasrah dengan keadaan,  "Kalau tidak bisa digapai kenapa dicintai? Buang-buang waktu dan ujungnya bakal sakit hati," ujar Bunga lagi.  Braga menimang-nimang, dia mencintai Alleia. Namun kalau menyerah secepat ini juga bukan gayanya, "Arkhhhh ...." Braga mengusap wajahnya frustasi.  "Bapak pernah berpikir gak kalau memenangkan tender itu susah?" tanya Bunga tiba-tiba.  "Pernah, apalagi saat pertama jadi CEO. Dalam pikiran saya, saya gak akan bisa meraih tender itu," jawab Braga.  "Nah iya itu!" pekik Bunga meninju lengan Braga dengan kencang. Braga menatap heran Bunga yang tampak antusias.  "Bapak pernah berpikir kan kalau tender itu tidak akan bisa bapak raih?  Dan nyatanya bapak malah memenangkannya. Maka itu kejar gadis yang bapak sukai sampai dapat. Tidak peduli hujan salju, kekeringan, atau bahkan lumpur lapindo yang menghalangi, bapak harus berjuang untuk dia. Kalau sudah maju, pantang untuk mundur!" oceh Bunga panjang lebar.  "Bapak jangan cupu jadi orang. Bapak sudah dewasa, sudah berkepala tiga, kalau bapak tidak berjuang sekarang, lalu kapan lagi?" tambah Bunga dengan geram. Walau dia menyukai Braga, bukan gayanya kalau harus menahan Braga mengejar cinta sejati cewek lain.  "Masalahnya, ini anak orang yang paling berjasa buat saya. Saya tidak ingin mengecewakannya," ucap Braga yang lemes lagi.  "Anak Pak Rexvan?" tanya Bunga yang tepat sasaran.  "Hem," jawab Braga. Bunga menganggukkan kepalanya dengan pelan, sudah dia duga sebelumnya kalau Braga menyukai gadis manja bernama Alleia.  "Yang lebih mengenal orangtua adalah anaknya, dan saya yakin kalau bapak mengenal Pak Rexvan lebih dari saya mengenalnya. Bapak harusnya tau seperti apa pak Rexvan, dan menurut saya beliau tidak akan menghalangi niat baik bapak," jelas Bunga.  "Begitukah?" tanya Braga.  "Iya, begitu!" jawab Bunga dengan mantab.  "Kalau tidak begitu?"  "Ya saya yakin begitu! Sekarang bapak pulang, mandi, dandan yang bagus, terus ke rumah Pak Rexvan. Kalau anaknya belum menyukai bapak, maka jalan satu-satunya adalah menarik hati orangtuanya. Anak boleh belum suka, tapi hati mertua harus diluluhkan dulu!" "Kok kamu lebih pengalaman?"  "Saya ini ahlinya ahli. Sekarang cepat pulang dan datangi rumah Alleia!" suruh Bunga memaksa Braga untuk berdiri.  Braga berdiri dengan kikuk. Sebenarnya apa yang diucapkan Bunga masuk akal juga. Masih bisa dilogika dan diterima otak sehat.  "Bismillah ... calon mertua biasanya suka dibawain apa?" tanya Braga pada Bunga.  "Martabak," jawab Bunga dengan serius.  "Hanya martabak? Kesannya kayak saya menabur garam di lautan. Pak Rexvan bisa membeli gerobaknya, masak saya cuma beliin martabaknya?" "Ketulusan tidak bisa dinilai dengan nominal. Kalau bapak masih ragu, saya yang akan mencium bapak di sini!" ancam Bunga.  "Jangan gilaa kamu!" desis Braga dengan kesal.  "Makanya cepat!" bentak Bunga yang sudah tidak habis pikir dengan atasannya. Karena tidak mau ribut lagi, Braga pun segera ngacir keluar dari ruangannya.  Bunga menatap punggung Braga yang berjalan menjauh. Katanya cinta itu butaa, tapi kenapa Bunga merasa dirinya tidak? Dia mencintai Braga, tapi dia masih waras untuk sakadar mengharapkan lebih. Bunga hanya ingin yang terbaik untuk atasannya.  Braga segera menjalankan mobilnya ke rumah. Laki-laki itu sebenarnya sudah sangat lelah sejak siang muter-muter tidak karuan gara-gara mencari Alleia. Dan sekarang muter lagi dari rumah Alleia ke kantor dan pulang ke rumahnya lalu akan ke rumah Alleia lagi.  Setelah sampai di rumahnya, Braga segera mandi untuk menyegarkan badannya. Ucapan Bunga masih terngiang-ngiang di otaknya. Saat dia meraih tender, dia juga meragukan kemampuannya sendiri. Namun pada akhirnya dia lah yang memenangkannya. Kali ini dia bertarung atas nama hati, kalau dia tidak memperjuangkan cintanya juga hatinya yang sakit.  Braga memegang dadaanya dengan pelan, ia berdiri di bawah air yang mengguyur tubuhnya dari shower, "Ayo berjuang mendapatkan cinta Alleia dan restu orangtuanya!" ucap Braga pada dirinya sendiri. Braga melirik tubuh bagian bawahnya. Yang lebih menyedihkan dari dirinya adalah benda pusakanya. Kasihan sekali di umurnya yang sudah berkepala tiga, tapi belum pernah menyentuh lubang sekalipun. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN