10. Go go, Braga!

1069 Kata
Braga sudah setengah jam mematut dirinya di depan cermin. Laki-laki itu terus saja menatap pantulan dirinya dari cermin itu untuk melihat apakah pakaiannya sudah pas atau belum. Kali ini Braga memakai celana jeans panjang dan kemeja batik. Braga baru saja melihat tutorial di internet kalau mendatangi rumah perempuan harus berpakaian sopan, memakai batik misalnya. Namun Braga menatap dirinya sangat aneh kali ini. Wajahnya yang semula tidak terlihat tua, kini pun terlihat sesuai umurnya. Braga mengambil hpnya lagi, ia melihat hasil screenshoot dari layar hpnya tentang tata cara berpakaian yang sopan. Benar, di sana tertulis baju batik. Braga melihat batiknya sendiri yang berwarna d******i brown dan semburat kuning dan maroon. Sebenarnya bagus juga batiknya, tapi kenapa saat dia memakainya sangat tidak pantas?. Braga memasukkan hpnya kembali, pria itu mengambil parfum dan menyemprotkan ke seluruh tubuhnya. Tak lupa bagian resleting celana turut dia semprot. Bagian situ malah harus lebih wangi dari yang lain.  "Bismillah!" ucap Braga meyakinkan dirinya sendiri. Braga yakin dan siap ke rumah Alleia, tapi entah kenapa kakinya tidak bisa dia ajak beranjak. Kakinya seakan kaku dan tidak mau bergerak.  "Ayo kaki! Kenapa kamu malah diam?" tanya Braga melihat ke arah bawah.  "Kaki, bergerak!" titah Braga lagi.  Braga menghela napasnya. Biasnya dia juga sruntal sruntul datang ke rumah ayahnya, tapi kali ini entah kenapa rasanya sungguh berbeda. Dia datang ke rumah Rexvan bukan sebagai seorang anak ataupun rekan bisnis, tapi sebagai seorang pria yang ingin mengutarakan perasaannya pada putri Rexvan. "Tarik napas ... keluarkan!" ucap Braga seorang diri.  Braga melangkahkan kakinya dengan perlahan, laki-laki itu mengambil sepatunya sebelum benar-benar keluar dari kamarnya. Tak lupa Braga menyambar hp, dompet dan kunci mobil yang dia letakkan di ruang tamu. Dalam hati, Braga menyemangati dirinya sendiri bahwa dia mampu, dia bisa dan dia tidak takut untuk meminta restu pada Rexvan.  "Kalau direstui Alhamdulillah, kalau pun tidak direstui juga tidak mungkin aku dimakan hidup-hidup," batin Braga.  Braga menuju mobilnya dan segera melajukan ke penjual martabak. Kata Bunga, cara meluluhkan hati mertua adalah dengan memberinya martabak. Dan saat tadi dia browsing di internet, juga tertera hal yang sama. Kali ini Braga lebih yakin dari sebelumnya. Saat sampai di penjual martabak, Braga segera turun dan memesan tujuh kotak martabak. Adik Alleia sangat banyak, kalau beli dua porsi hanya nyantol di tenggorokan.  "Pak, tujuh porsi martabak spesial!" ucap Braga pada penjual martabak.  "Tunggu sebentar ya, Pak!" jawab penjual itu yang diangguki Braga.  Braga duduk di kursi plastik yang sudah disediakan. Braga melihat sekelilingnya yang didominasi oleh pembeli pria. Braga baru tau kalau martabak itu hanya boleh pria yang beli, soalnya tidak ada satu pun wanita yang ikut mengantri.  "Mas, tau gak kenapa martabak kebanyakan yang beli laki-laki?" tanya seorang laki-laki di samping Braga. Braga menolehkan kepalanya sembari menunjuk dirinya sendiri seolah bertanya 'Bicara sama aku?. "Karena mereka ini pejuang meluluhkan hati mertua," ucap pria di samping Braga yang menjawab sendiri pertanyaan yang ditanyakan.  Braga mengangguk kikuk. Ia baru tau kalau martabak sangat berefek dasyat untuk meluluhkan hati mertua. Toh buktinya yang beli para laki-laki. Jadi kalau ada cewek yang beli martabak, itu artinya dia jomblo? Braga mengedikkan bahunya sembari terkikik geli. Kasihan sekali jomblo, beli martabak sendiri.  Setelah lama menunggu, akhirnya pesanan Braga pun sudah siap. Setelah membayar Braga segera kembali ke mobilnya dan menjalankan ke rumah Alleia. Braga menghidupkan AC mobilnya dengan suhu paling rendah agar badannya yang memanas bisa sedikit dingin. Tidak terasa bibir Braga juga bergetar karena gugup, Braga sungguh persis Abg labil yang kasmaran dan baru cinta-cintaan.  Biasanya tidak lebih dari sepuluh menit Braga sampai ke rumah Alleia, tapi kali ini dia membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai. Braga menaiki mobil dengan kecepatan di bawah empat puluh kilometer. Itu pun pakai acara muter keliling aloon-aloon kota dua kali.  "Dasar mobil gak berguna. Aku naik mobil apa naik keong sih, lama banget," omel Braga memukul setirnya dengan kesal.  "Harusnya sampai ke rumah Alleia sudah sejak tadi, tapi malah molor," maki Braga lagi.  "Ganti aja deh mobilnya dengan mobil baru, yang bisa cepet sampai kalau digunakan ke rumah Alleia."  "Huhh dasar keong!" Tak hanya memaki, Braga juga memukul setirnya beberapa kali. Untung ia di dalam mobil seorang diri. Kalau bersama orang lain sudah pasti dia dianggap gilaa.  Braga makin melambatkan laju mobilnya saat lima ratus meter sebelum sampai rumah Alleia. Jantung Braga berdegub dengan kencang. Dia yang notabennya seorang pria dewasa sungguh merasa lemas saat akan meminta ijin berhubungan dengan anak gadis orang. Braga sungguh merasa dirinya itu memang cupu. Karena jaman sekarang anak-anak SMA saja pada berani main ke rumah ceweknya yang lengkap ada orangtuanya. Lah malahan dia yang sudah dewasa mentalnya seperti mental tempe. Badan boleh berotot, umur boleh dewasa, bela diri boleh jago, tapi siapa yang jamin kalau akan bertamu ke gadis yang dicintai, dalam hati sungguh sangat deg-degan. Sampai tepat di depan rumah Alleia, Pak Mansur segera membuka gerbang lebar-lebar saat tahu mobil Braga yang berhenti di depan. Braga memasuki pekarangan rumah Alleia dengan hatinya yang tidak menentu lagi.  Saat sudah menghentikan mobilnya, pria itu juga tidak kunjung keluar. Braga masih sibuk mengatur tatanan rambutnya, mengatur baju batiknya, juga mencium bau badannya sendiri untuk memastikan kewangiannya.  Melihat Braga yang tidak kunjung turun membuat Pak Mansur curiga. Pak Mansur mendekati mobil Braga dan mengetuk jendela mobil dengan pelan.  Braga menegang saat mendengar jendela mobilnya diketuk. Tanpa menjawab Braga segera keluar dari mobilnya membuat Pak Mansur menyingkir.  "Mas Braga, kirain kenapa-napa kok gak turun," ucap Pak Mansur membungkukkan badannya sedikit.  "Ini Pak, ngangkat telfon dulu," jawab Braga berbohong. Braga mengambil tujuh bungkus martabak untuk dia bawa masuk.  "Permisi ya, Pak. Aku masuk dulu!" ucap Braga.  "Iya silahkan," jawab Pak Mansur dengan sopan.  Pak Mansur melihat punggung tegab Braga, pria paruh baya itu mengerutkan alisnya saat melihat cara berjalan Braga yang seperti putri solo, kalem dan lemah lembut. Seketika Pak Mansur bergidik ngeri. Tidak mungkin kan kalau Braga yang macho berubah menjadi kecewek-cewekkan? Pak Mansur menggelengkan kepalanya, tidak mungkin Braga seperti itu. Karena tidak mau berpikir macam-macam, Pak Mansur segera kembali ke pos satpam.  Braga memencet pintu rumah Rexvan dengan was-was. Kaki Braga gemeteran, ia bahkan memejamkan matanya takut kalau respon orangtua Alleia tidak sesuai yang dia inginkan. Setelah lima menit tidak kunjung ada yang membukakan pintu. Braga memencet bel kembali. Percayalah, saat ini situasinya lebih menyeramkan daripada rumah hantu.  "Tidak ada orangnya, lebih baik aku pulang saja," ucap Braga membalikkan tubuhnya. Namun, suara pintu terbuka membuat Braga terdiam mematung.  "Braga, masuk sini!" ucap sebuah suara yang membuat bulu kuduk Braga menegang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN