Melani keluar dari kamar Reyhan dengan bibir cemberut, muka ditekuk, meremas ujung gaun sepanjang lutut yang dia kenakan pagi ini. Langkah malas mulai terdengar menuruni satu demi satu anak tangga. Sampai di ruang makan gadis itu menundukkan kepala untuk memberikan hormat kepada Sandiaga yang tengah menunggu dirinya dan Reyhan untuk sarapan pagi bersama.
“Loh? Kok sendirian? Reyhan belum bangun?” Tanya Juwita, istri dari Sandiaga. Dua orang pasangan suami istri tersebut menatap ke arah Melani.
“Sudah bangun Kek, Om itu, masih mandi.” Ucapnya dengan suara pelan. “Maksud Melani, Kak Reyhan.” Ralat Melani cepat dengan wajah serba salah. “Kakak? Bukannya itu terlalu muda? Panggilan yang cocok untuk pria tua itu ya cuma Om.” Cetus Melani dalam suara lirih. Reyhan yang sudah turun ke lantai bawah sempat mendengar bisikan tersebut, pria itu mulai cemas kalau penyakit kakek-nya kambuh gara-gara mendengar ucapan Melani. Dengan setengah berlari pria itu mendekati Melani lalu buru-buru membekap bibir mungil-nya. Dengan kasar Melani menarik telapak tangan Reyhan dari bibirnya, lalu memicingkan matanya ke arah Reyhan. Sandiaga terkekeh sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah cucu-nya.
“Sudah sini kalian berdua, kita sarapan bersama.” Ucap pria itu pada dua sejoli yang masih berperang melalui tatapan mata mereka berdua. Saling melotot dan saling memainkan bibirnya berbicara tanpa suara.
Mereka berdua melangkah menuju meja makan dan duduk bersebelahan. Melani duduk dengan malas. Gadis itu sengaja menginjak kaki Reyhan lalu memasang wajah pura-pura bodoh. Tindakannya tersebut hampir membuat Reyhan tersedak. “Maaf Om, Melani nggak lihat.” Bisik gadis itu pada Reyhan ketika pria itu hampir memuntahkan makanan dari dalam mulutnya seraya menatapnya dengan geram.
Melani mulai menyendok makanan dan menyuap ke dalam bibirnya. Saat merasakan hidangan yang lezat sejenak gadis itu melupakan keberadaan Reyhan di sebelahnya, Melani berhenti mengganggu ketenangan pria itu.
“Kek, Nek. Reyhan ke kantor dulu.” Pamitnya seraya berdiri dari kursinya, Reyhan hanya makan sedikit setiap sarapan. Melani membelalakkan bola matanya melihat Reyhan beranjak dari kursinya, mulutnya masih penuh. Gadis itu makan dengan lahap sekali. Dia merasa nyaman makan bersama Kakek dan Nenek Reyhan karena biasanya dia selalu sarapan seorang diri di kediamannya lantaran kedua orangtuanya sangat sibuk di perusahaan.
“Tunggu Mela dulu Rey, antarkan dia ke sekolah. Katanya ada hal yang harus diurus di sana.” Ujar Nenek-nya pada Reyhan.
“Kenapa tidak dengan supir saja sih? Aku sudah telat, kamu kapan selesai makan?” Tanya pria itu pada Melani.
Melani dengan pipi menggembung menjawab pertanyaannya. “Supir ku pulang. Sebentar lagi selesai.” Ucap gadis itu seraya mengunyah makanannya hingga makanan dari dalam mulutnya berhamburan ke wajah Reyhan dan membuat wajah pria itu kotor gara-gara Melani memaksa untuk menjawab pertanyaan pria tersebut. Reyhan mengambil beberapa lembar tissue untuk menghapus kotoran pada wajahnya. Reyhan tidak komentar lagi, tapi pria itu segera mengambil telapak tangan Kakek dan Neneknya. Melihat itu Melani segera turun dari kursinya dan mengikutinya melakukan hal seperti dirinya lalu mengekor Reyhan keluar dari dalam rumah.
“Mereka serasi sekali.” Ucap Juwita seraya menoleh ke arah Sandiaga.
“Aku tahu Melani memang masih kurang dewasa untuknya, tapi dia cocok untuk Reyhan. Pria keras kepala itu aku yakin hanya Melani yang dapat meluluhkan hatinya.” Sahut Sandiaga pada Juwita.
Di luar rumah..
Reyhan masuk terlebih dahulu ke dalam mobil. “Kamu serius mau ke sekolah?” Tanya Reyhan setelah Melani masuk ke dalam. Pikir Melani pria itu akan memarahinya lantaran tindakannya yang kurang sopan saat sedang di meja makan, tapi pria itu malah membahas hal lain dan melupakan masalah tadi.
“Yakin.” Sahutnya cepat seraya membuang muka ke samping kiri.
Reyhan tidak bertanya lagi, pria itu segera mengantarkannya ke tempat gadis itu sekolah. Sampai di sana Melani segera turun lalu berlari membaur dengan teman-temannya di sekolah tersebut.
“Dasar gadis ingusan!” Ucap Reyhan seraya melajukan kembali mobilnya meninggalkan sekolahan Melani.
Beberapa teman Melani memeluk bahunya. “Bagaimana kencan kamu sama pria yang kamu ceritakan itu, aku dengar kalian sudah bertunangan?” Tanya Sita padanya.
“Iya aku juga dengar kalian mau menikah beberapa minggu lagi kan?” Timpal Rida teman sebangku Gita. Gita berada di sebelah Sita, gadis itu hanya cemberut melihat Sita dan Rida begitu bersemangat untuk mendengarkan kisah yang akan diceritakan Melani. Akan tetapi selalu tidak peduli jika dia bercerita atau mengeluh. Gita merasa dia selalu tidak dianggap oleh ketiga temannya tersebut, tapi dia juga tidak bisa pergi dari mereka karena selama ini mereka bertiga selalu membantunya.
“Om-om itu.. Tidak ada yang istimewa.” Sahut Melani dengan nada malas.
“Tenang saja, kami pasti bantu kamu supaya Om-om itu nggak betah sama kamu.” Ucap Rida seraya mengguncang bahu Melani untuk memberikan semangat.
“Aku malu sekali, kenapa haru pria bangkotan sepertinyaaaa! Akhhhh!” Mengacak-acak rambutnya sendiri seraya menghentakkan kedua sepatunya di lantai.
Gita masih tetap berdiam diri, sebenarnya gadis itu juga melihat dan mencari tahu siapa pria yang bakal menjadi suami Melani Anisa. Bagi Gita, Reyhan adalah sosok pria yang cukup matang, berdedikasi, dan memiliki segala hal yang diinginkan oleh wanita, satu saja kekurangan dari pria itu adalah tidak tertarik untuk mendekati wanita.
Melani menyadari sejak tadi Gita hanya ikut serta kemanapun mereka bertiga melangkah tanpa berbicara sama sekali. “Git? Kamu sakit? Sudah sarapan belum? Ke kantin yuk?” Melani dengan senyum riang segera merangkul bahunya seraya mengajaknya ke kantin sekolah. Pikir Melani gadis itu sedih karena belum makan pagi, atau kedua orangtuanya tidak memberikan jatah saku padanya. Bisa bersekolah di SMA ternama bagi Gita adalah anugerah luar biasa melihat keluarganya hidup pas-pasan. Kedua orang tuanya Gita bekerja di kediaman Melani, Ayah gadis itu menjadi tukang kebun sementara Ibu Gita menjadi pelayan.
“Selalu saja kita ditinggal.” Gumam Rida pada Sita.
“Mela, tunggu kita!” Teriak Sita seraya berlari menarik pergelangan tangan Rida mengejar ke kantin.
Melani memesan beberapa makanan untuk Gita lalu duduk menemaninya di sebelah gadis itu. Gita masih menundukkan kepala, dia selalu merasa tidak cocok berada di antara tiga gadis luar biasa dengan keluarga kaya raya tersebut.
“Gita? Ini sudah akhir kelulusan kita loh. Kamu malah sedih begitu? Kenapa?” Tanya Sita dengan tidak sabar.
Gita buru-buru menggeleng dengan bibir tersenyum kaku. Sikap Gita sangat aneh menurut Rida, sejak awal dia selalu mengawasi Gita. Dan yang dilihat oleh Gita adalah Melani Anisa. Cara Gita menatap Melani sangat aneh, dan setiap Rida melaporkan hal itu pada Melani hanya tanggapan cuek yang dia dapatkan. Melani selalu bilang.. “Nggak mungkin Rid, kamu berlebihan Rid, Gita nggak mungkin begitu.”
“Melani, kalau aku ikut kamu setelah kamu menikah nanti.. boleh?!”
Bukan hanya Rida yang terperanjat mendengar permintaan tersebut meluncur dari gadis pendiam seperti Gita. Tapi Sita juga ikut membelalakkan bola matanya, sementara Melani hanya terkekeh geli sambil menutupi mulutnya sendiri melihat kedua temannya Sita dan Rida melotot sambil terus menggeleng meminta dia agar menolak permintaan konyol dari Gita tersebut.
“Dia pasti mau cari gara-gara! Dasar tidak tahu diri!” Umpat Sita dalam hatinya.
“Dikasih hati makan empedu! Sialan!” Umpat Rida dalam hatinya.