Usai menjalani terapi, Raka mengajak Dea makan siang di luar. Diambilnya kursi roda yang terlipat dari jok belakang mobilnya. Setelah ia meregangkan kursi roda Dea, Raka menggendong Dea dan mendudukannya di atas kursi rodanya.
"Terimakasih, Om," ucap Dea.
"Sama-sama," jawab Raka sambil mencuri ciuman di pipi istrinya itu.
Sontak Dea tersenyum karena malu. Setelah Raka mengunci mobilnya, Raka mendorong kursi roda Dea masuk ke restoran. Mereka memesan makanan untuk makan siang mereka.
Menunggu makanan datang, Raka memperhatikan Dea. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Dea yang berada di atas meja.
"Tetap semangat, ya, kamu dengar, 'kan, kata dokter tadi? Kamu pasti bisa berjalan kembali."
"Iya, Om."
"Apa jika nanti kamu sudah bisa berjalan, kamu akan meninggalkanku?" tanya Raka penasaran. Karena Raka sadar, usianya sudah tua. Mungkin saja Dea ingin memiliki suami yang seumuran.
"Om bicara apa?"
"Kita menikah karena kamu yang tidak bisa berjalan. Ayahmu takut jika itu permanen dan tidak ada lagi yang mau menikah denganmu."
"Jadi, Om terpaksa menikahiku?" tanya Dea dengan nada sedikit kecewa.
"Tidak, Dea, tidak. Justru aku bertanya karena, karena aku sudah mulai mencintaimu. Aku hanya takut di saat cintaku sudah sangat besar padamu, di saat kamu sudah bisa berjalan kamu akan meninggalkanku."
Dea menggenggam tangan Raka, "Tidak, Om. Bagiku pernikahan bukanlah permainan. Aku menerima ini semua. Karena mungkin inilah yang menjadi takdirku. Seperti Om, aku juga akan belajar untuk mencintai Om. Menerima Om menjadi suamiku."
"Benarkah?" Raka tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Dea mengangguk cepat beberapa kali.
"Terima kasih, Dea, terima kasih. Karena kamu mau menerimaku. Duda tua yang bahkan lebih cocok menjadi ayahmu."
"Kata siapa, Om ... Om bukan pekerja kasar. Wajah dan badan Om tidak kalah dari yang berumur dua puluh lima tahun." Sambil mengucapkan itu, ingatan Dea kembali ke Angga. Namun, segera ditepisnya.
"Benarkah? Kamu memujiku bukan hanya sekedar untuk membuatku senang, 'kan?"
"Nggak, Om...."
Obrolan mereka terhenti saat paramusaji datang membawa pesanan mereka.
"Terima kasih," ucap Raka saat pramusaji itu meletakkan pesanan mereka di meja. Setelah itu pramusaji meninggalkan itu mereka.
Raka yang awalnya duduk di depan Dea, pindah ke samping Dea.
"Kenapa?" tanya Dea.
"Ingin dekat dengan istriku," jawab Raka. Lagi-lagi Raka mencuri ciuman di pipi Dea.
"Malu, Om, banyak orang lihat," protes Dea.
Raka hanya nyengir memperlihatkan gigi putihnya.
**
Setelah makan siang selesai, mereka langsung pulang. Raka memanggil suami Bik Asti untuk memarkirkan mobilnya dan memintanya untuk membawa kursi rodanya ke dalam rumah setelah mobilnya diparkirkan.
Sementara Dea digendongnya dibawa ke kamar mereka. Mendengar jika Dea akan belajar mencintainya, membuat Raka sangat bahagia. Delapan tahun seperti mati rasa menjadi seorang duda, akhirnya ia bisa kembali merasakan cinta.
Bahkan sembilan belas tahun lebih. Ya, seusia Saka putranya. Dulu saat Raka menikah dengan Alysa, istri pertamanya perasaannya masih untuk Ara cinta pertamanya yang menikah dengan kakak kandungnya, yang membuatnya salah paham. Ara yang dikiranya mengkhianatinya, ternyata hanya tidak ingin merusak impian dan masa depan Raka karena saat itu Ara hamil anak Raka. Saat Raka sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya di luarnegeri.
Di saat dirinya sudah mencintai Alysa, ibunya yang memaksanya menikahi Ara yang saat itu buta karena kecelakaan. Saat itu, Rama diduga meninggal karena kecelakaan pesawat. Akhirnya Raka menikahi Ara, hingga akhirnya rumah tangganya dengan Alysa harus berakhir.
Namun, selama berumah tangga dengan Ara, Raka tidak bisa mencintainya kembali. Ia tidak bisa melupakan Alysa. Hingga akhirnya Raka menceraikan Ara, setelah ibunya yang meninggal mendonorkan matanya untuk Ara, dan ternyata Rama kembali dalam keadaan sehat.
Raka ingin kembali pada Alysa, namun sayang semuanya telah terlambat. Alysa telah membuka hatinya untuk pria lain yang saat ini sudah menjadi suaminya sejak enam tahun lalu.
Dan akhirnya, kini Raka merasakan kembali. Merasakan jatuh cinta lagi. Merasakan rasa itu lagi. Meski usia mereka terpaut cukup jauh, Raka merasakan kenyamanan bersama Dea. Meski sampai sekarang, Dea hanya bisa duduk di kursi roda. Tetapi Raka akan menunggunya hingga Dea bisa kembali berjalan.
***
Raka membaringkan tubuh Dea di ranjang. Ditatapnya mata Dea, Dea menunduk karena jengah ditatap sedekat itu. Dengan jarinya Raka mengangkat dagu Dea hingga Dea mendongak. Tanpa aba-aba, Raka mencium bibir Dea. Meski tetap selembut tadi pagi, kali ini ciuman Raka sedikit menuntut. Menuntut agar Dea mau membalasnya. Dea yang tidak tahu bagaimana cara berciuman, membalas ciuman suaminya itu hanya berdasar nalurinya saja.
Cukup lama mereka melakukan itu. Mereka tidak sadar jika pintu kamar belum Raka tutup. Suami Bik Asti sempat melihat adegan itu saat menaruh kursi roda Dea di depan kamar. Dia hanya bisa mengulum senyumnya.
Bukan hanya suami Bik Asti saja yang melihat, Saka yang akan berangkat kuliah melewati kamar Raka juga melihatnya.
"Gila si Papa. Udah berumur masih juga bisa kaya gitu. Untung gue udah punya KTP, coba kalo belum bisa berabe," ucap Saka pada dirinya sendiri.
Meskipun Saka sudah memiliki pacar, Saka tidak pernah melewati batas. Raka sudah menceritakan semuanya. Termasuk bagaimana gaya pacarannya saat muda. Dan Raka tidak ingin Saka sampai sepertinya. Saka pun menurutinya, karena dia adalah salah satu saksi hidup bagaimana penderitaan orang tuanya dulu.
Dengan mengendap, Saka mendekati pintu kamar Raka. Setelah berhasil meraih handle pintu, Saka berteriak, "PINTU PA ... PINTU!" Setelah itu Saka menutup pintu lalu berlari meninggalkan sang papa.
Raka dan Dea hanya bisa tersenyum malu karena kepergok putranya sendiri. Atau bahkan ada yang melihatnya selain Saka.
"Maaf, aku lupa menutup pintu."
TBC.
***