Part-5

749 Kata
Raka terbangun di tengah malam. Dilihatnya Dea yang tengah tertidur. Memang benar, Dea sangat cocok menjadi putrinya dibanding menjadi istrinya. Tetapi takdir siapa yang tahu. Tangan Raka terulur untuk menyingkirkan anak rambut yang berada di dahi Dea. Raka mendekatkan bibirnya kemudian diciumnya dahi Dea tersebut. Raka tak menyangka jika dia akan kembali merasakan sebagai ABG yang sedang kasmaran dalam waktu secepat itu. Tak bisa Raka mungkiri, jika memang ia mulai nyaman dengan keadaannya sekarang. Nyaman dengan keberadaan Dea di sisinya, yang membuatnya ingin segera pulang jika sedang berada di kantor. Meski mereka hanya sedikit berinteraksi, tetapi Raka bisa memaklumi karena Dea dan dirinya memang butuh adaptasi. "Aku hanya bisa berdoa, semoga kamu yang terakhir untukku. Semoga kelak kita bisa menjadi pasangan yang saling mencintai. Meski banyak perbedaan, semoga itu tidak menjadi masalah yang berarti," bisik Raka tepat di depan wajah Dea. *** Hari Sabtu, jadwal Dea untuk terapi. Raka juga libur di hari itu. "Mau mandi? Biar aku bantu," tawar Raka. Sudah dua bulan mereka menjadi suami istri. Raka mengganti kata saya menjadi aku. Agar tidak terdengar kaku, juga tidak terkesan formal. "Bik Asti di mana?" tanya Dea. Memang sudah biasa Bik Asti yang akan membantunya saat dirinya mandi. "Sedang ke pasar." "Ya sudah, tunggu Bik Asti saja." "Tapi nanti kita terlambat untuk terapi. Biar aku yang membantumu." "Enghh, tidak usah. Biar aku mandi sendiri." Dea memang belum bisa berjalan. Tetapi kakinya sudah tidak terlalu kaku untuk digerakkan. "Kenapa?" tanya Raka sambil menatap mata Dea. "Enghh, tidak apa-apa. Aku, aku bisa mandi sendiri." "Ya sudah, biar aku membantumu ke kamar mandi." Raka berdiri kemudian satu lengannya ia letakkan di pundak Dea, dan lengan satunya lagi di lutut Dea bagian dalam. "Om mau apa?" tanya Dea gugup. "Mau mengantarmu ke kamar mandi," jawab Raka diakhiri dengan senyumnya. Lalu mengangkat tubuh mungil Dea dan menggendongnya ke kamar mandi. Di kamar mandi, Raka mendudukkan Dea dia atas closet. Sambil menunggu air di bak mandi penuh, Raka membuka kancing piyama Dea. Namun, Dea menahannya. "Kenapa?" tanya Raka berbisik. Matanya sengaja mengintimidasi Dea. "Aku ... aku malu, Om," jawab Dea pelan. "Kenapa mesti malu? Aku suamimu. Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya ingin membantumu." "Tap–tapi, Om...." Tidak memedulikan ucapan Dea, Raka menyingkirkan tangan Dea yang menahan tangannya dengan tangan yang satunya. Satu persatu kancing Raka buka. Hingga ia bisa melihat bagian dalam tubuh Dea untuk yang pertama kalinya. Dea menunduk semakin dalam. Ia malu. Sangat malu. Untuk pertama kalinya tubuhnya terlihat oleh lawan jenis. Dea adalah penganut pacaran sehat. Dia tidak pernah melakukan hal yang melampaui batas saat berpacaran dengan Angga. Raka melepas baju Dea lalu dibukanya kaitan b*a Dea. Setelah terlepas, dengan berani Raka mencium tubuh bagian depan Dea. "Om...." Suara Dea bergetar lemah. "Tenang saja, aku tidak akan kebablasan." Puas menciumi tubuh Dea, Raka menarik tengkuk Dea lalu diciumnya bibirnya. Delapan tahun tidak pernah melakukan hubungan suami istri membuat hasrat Raka tersulut saat melihat tubuh t*******g Dea. Wanita yang sudah resmi menjadi istrinya. Meskipun, hanya baru bagian atas yang dilihatnya. Selama dua bulan ini, Raka tidak pernah berani menyentuh Dea. Selain hanya untuk menggendong dan mencium kening Dea. Untuk memeluk Dea saat tidur pun, belum pernah Raka lakukan. Entah sensasi apa yang Dea rasakan, hingga ia tak mampu menolak perlakuan suaminya itu. Ciuman mereka terhenti saat terasa air mengalir di kaki mereka. Ternyata air dalam bak mandi telah penuh. Raka tersenyum. "Mandi dulu, nanti bisa dilanjutkan lagi," ucap Raka yang membuat pipi Dea merona. Raka mematikan kran. Lalu pelan-pelan melepas celana Dea. Lagi-lagi Dea menahannya. "Kenapa lagi?" tanya Raka. "Aku malu, Om...." "Malu terus, sudah singkirkan tanganmu. Aku akan membantumu mandi." "Jangan, Om. Tidak usah," tolak Dea. "Jangan menolak. Aku hanya hanya ingin melakukan kewajibanku." "Kewajiban?!" Raka tertawa. "Jangan berpikir jorok dulu. Merawat istri di kala sakit, kan namanya juga kewajiban. Atau kamu mau kewajiban yang lain?" goda Raka. "Nggak, Om, nggak." Raka tertawa lagi. Ia tidak ingin memaksakan Dea apa pun. Raka ingin semuanya berjalan senatural mungkin. Setelah itu Raka membantu Dea mandi tanpa modus apa pun. Membantu mengeringkan tubuh Dea, juga memakaikan Dea baju. "Terima kasih, Om. Om sudah mau merawatku," ucap Dea tulus. "Sudah sering aku bilang, itu semua sudah menjadi kewajibanku. Jadi kamu tidak perlu sungkan." "Om!" "Ya?" "Maukah Om memelukku?" Raka tersenyum. "Tentu saja," jawab Raka kemudian memeluk tubuh istrinya yang duduk di atas ranjang. 'Jika ini memang sudah menjadi takdirku, aku akan belajar ikhlas menjalaninya. Aku akan belajar mencintai suamiku. Dan akan belajar melupakan semua masa laluku,' ucap Dea dalam hati. TBC. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN