Part-4

717 Kata
"Apa kamu benar-benar rela menjadi istri saya?" tanya Raka saat duduk di ruang tengah bersama Dea. Mereka hanya berdua. Karena Saka menginap di rumah mamanya. "Iya, Om." "Kenapa?" "Karena mungkin ini memang takdirku." "Ehm, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Raka ragu-ragu. "Tanya apa, Om?" "Apa ada masalah sama kamu? Sejak kecelakaan itu, saya melihatmu seperti memendam sesuatu." "Nggak ada kok, Om. Aku hanya masih shock dengan keadaanku," jawab Dea berbohong. Dea hanya ingin mengubur masa lalunya dalam-dalam. Tanpa harus ada orang lain yang tahu masalahnya. Dea sadar, Dea juga ingat. Kecelakaan itu terjadi bukan karena semata-mata kesalahan Raka. Dirinya juga bersalah karena menyebrang jalan sembarangan hanya karena ingin mengejar Angga. Laki-laki yang telah melukai hatinya. Karena itulah Dea mau saja saat ayahnya mengatakan bahwa dirinya akan dinikahkan dengan Raka, pria yang berumur dua kali lipat dari usianya. Bagi Dea, Dea sudah sangat bersyukur Raka tidak balik menyalahkannya. Bahkan lebih dari sekadar bertanggung jawab. "Apa kamu ingin pesta pernikahan?" tanya Raka lagi. Ia mencoba memahami Dea, di usianya yang masih sangat muda siapa tahu Dea memiliki pernikahan impian. "Nggak usah, Om." "Tapi kamu mau kan, pernikahan kita terdaftar di KUA?" "Iya, Om. Apa saja yang terbaik. Tapi maaf, dengan keadaanku, aku tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Om." "Kamu bicara apa? Fokuskan pada kesehatanmu, saya yakin kamu akan bisa berjalan kembali." "Iya, Om. Aamiin." *** Pernikahan Raka dan Dea akhirnya terdaftar di KUA. Sesuai keinginan Dea, tidak ada pesta pernikahan. Mereka hanya mengadakan syukuran yang hanya dihadiri keluarga saja. Setelah acara selesai, semua pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Alika, semenjak mamanya menikah lagi ia lebih sering tinggal di rumah mamanya. "Punya mama baru yang hampir seumuran. Boleh sekali-kali ngajak jalan, dong...," goda Saka. Dea hanya tersenyum. Ia masih mencoba beradaptasi dengan penghuni rumah barunya itu. "Sopan kamu Saka," tegur Raka. "Iya Papaku sayang. Aku cuma bercanda. Ya udah, Saka mau tidur." "Yakin jam segini mau tidur?" Raka tidak yakin pada putranya yang mengatakan akan tidur karena jam menunjukkan baru pukul setengah sembilan malam. "Yah, minimal masuk kamar lah, Pa. Entah di kamar mau video call-an atau main game," jawab Saka sambil nyengir. "Saka ke kamar, Ma," pamit Saka yang mulai membiasakan diri memanggil Dea dengan panggilan mama. "Iya," jawab Dea singkat seperti biasa. "Kamu mau ke kamar?" tanya Raka pada Dea setelah mereka hanya tinggal berdua. "Boleh, Om." Sebenarnya Raka merasa geli tiap kali Dea yang statusnya sebagai istrinya memanggilnya Om. Berasa seperti p*****l dirinya. Tetapi Raka juga tidak akan memaksakan apa pun pada Dea, termasuk soal panggilan Dea kepada dirinya. Biarlah waktu yang akan membiasakan mereka. Raka mendorong kursi roda Dea menuju kamar mereka yang ada di lantai bawah. Raka memang sengaja pindah kamar dari lantai atas ke lantai bawah. Untuk memudahkan Dea juga jika ingin keluar kamar. Seperti biasa Raka membaringkan tubuh Dea lalu menyelimutinya. "Jika kamu belum siap, saya akan tidur di sofa lagi." Sebelum beranjak dari duduknya, Raka seperti biasa mencium kening Dea. Raka sudah membalikkan badannya. Namun, Dea tiba-tiba meraih tangan Raka. "Tidak apa-apa kita tidur bersama. Hanya tidur kan, Om?" tanya Dea takut-takut. Tawa Raka pecah. Ia tahu, apa yang Dea maksud. "Iya, hanya tidur," jawab Raka akhirnya. "Baiklah saya ke kamar mandi dulu. Apa kamu ingin buang air kecil?" "Nggak, Om." "Ya sudah." Raka menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Senyum tak hilang dari bibirnya. Ia tak menyangka dirinya akan menikah dengan gadis yang jauh lebih muda darinya. Yang pada akhirnya membuat jiwa mudanya kembali. Raka berjalan ke arah ranjang. Dea masih terjaga. "Kenapa? Nggak bisa tidur?" Dea menggeleng. "Kamu takut kepada saya?" "Nggak, Om...." "Kamu tenang saja, saya tidak akan menyentuh kamu. Jadi kamu tidak perlu takut." "Bukan begitu...," sangkal Dea. Dea tidak merasa takut. Hanya saja kakinya merasa pegal. Karena seharian ini benar-benar sibuk. Meski dirinya hanya duduk di atas kursi roda, tapi cukup membuatnya merasa lelah hingga akhirnya kakinya pegal. "Lalu kenapa?" "Itu, Om, enghhh anu...." "Apa? Bilang saja.." "Kakiku, Om...." Tanpa Dea melanjutkan ucapannya, Raka mengerti maksud Dea. Raka kembali duduk di ranjang di ujung kaki Dea. Diraihnya kaki Dea, lalu diletakkannya di atas pangkuannya. Raka memijitnya dengan pelan. "Sudah saya bilang, kamu tidak perlu sungkan untuk mengatakan sesuatu. Saya suami kamu. Kamu istri saya. Kita harus belajar terbuka." "Iya, Om. Terima kasih. Maaf, aku sudah menyusahkan Om." "Sudah menjadi tanggung jawabku." TBC. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN