Cao Hua tidak tau harus tertawa atau menangis ketika ia mendengar jawaban Xue Yang itu. Cao Hua tidak bisa membantu tapi hatinya sepenuhnya menyadari bahwa kata-kata yang baru saja meninggalkan bibir Xue Yang itu tulus adanya.
Cao Hua berbalik dan menatap wajah Xue Yang, senyuman dingin melengkung dari sudut bibirnya, “Kau bahkan tidak tau masalahku dan kau berani mengatakan hal itu? Aiya, panglima Xue, kau sangat jantan sekali.”
Xue Yang menatap mata Cao Hua yang memancarkan kesedihan. Dari mata yang jernih itu, Xue Yang bisa mengetahui kalau Cao Hua benar-benar merasa tertekan saat ini. Berpikir bagaimana ketika siang tadi ketika Xue Yang masih menemani Cao Hua berlatih pedang, suasana hati putri ketiga keluarga Cao itu masih sangat baik. Tapi setelah Cao Hua keluar dari ruangan pribadi ayahnya itu, Xue Yang melihat perubahan yang benar-benar signifikan.
“Kalau begitu katakan padaku. Apa yang sebenarnya membuatmu bersedih dan marah?” Xue Yang dengan berani mengajukan pertanyaan, berharap Cao Hua yang sejak dulu ia kagumi itu akan berbagi beban padanya.
Cao Hua ber hmmph sebelum akhirnya tersenyum mencibir. Wajah cantiknya suram dan senyuman dingin terpancar dari wajahnya ketika ia berbicara, “Sebagai panglima perang yang tinggal di istana, kau pasti sudah tau mengenai pengangkatan selir. Bahkan rakyat ibu kota sudah mendengar rumor ini jauh-jauh hari.”
Hingga saat ini Xue Yang masih berpikir positif. Ia mengira Cao Hua bersedih karena ia terlalu khawatir pada permaisuri Xianmu, “Apa kau mengkhawatirkan yang mulia permaisuri?”
Cao Hua, “Aku sangat mengkhawatirkannya. Kakak kedua adalah saudariku, bagaimana aku tidak khawatir padanya? Tapi bukan itu yang membuatku bersikap seperti orang gila sekarang.”
Cao Hua tiba-tiba meneguk anggur yang berada di kendi porselen, setelah menyeka anggur yang berjatuhan dari mulutnya, ia kemudian tertawa seperti orang gila. Xue Yang melihat hal ini segera menghentikan Cao Hua, “Berhenti minum. Kau akan menyakiti dirimu sendiri.”
Melihat langkah Cao Hua yang sempoyongan, Xue Yang dengan sigap menggapai lengannya. Cao Hua ambruk ke tanah dan ia meraung, “Aku mungkin sekarang lebih berharap mati. Bagaimana bisa aku hidup saat ayah menyuruhku untuk memasuki istana dan menjadi selir. Bukankah itu akan membunuh kakak kedua? Jika orang lain yang menjadi selir, maka itu tidak akan begitu buruk baginya! Tapi aku berbagi darah dan daging dengan permaisuri Xianmu. Dia melihatku tumbuh besar, dia merawat dan menjagaku menggantikan ibu yang sudah meninggal. Dia bahkan melindungiku dari para selir ayah yang jahat. Dan sekarang apa?! Ayah ingin aku juga berbagi suami dengannya, bagaimana mungkin aku menjadi begitu tak tau malu?”
Air mata membanjiri pipi Cao Hua, membuat penampilannya sangat menyedihkan sekarang. Ia terus menyalahkan dirinya dan berharap bahwa apa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi buruk belaka.
Xue Yang yang sejak kecil sudah menaruh hati pada nona ketiga keluarga Cao itu merasakan hatinya telah remuk. Walau ini bukan keinginan Cao Hua, tapi akan sulit baginya untuk melangkah jika kaisar Xian sendiri yang akan menjadi lawannya. Memikirkan bagaimana rasa sakit menhujani hatinya, Xue Yang hanya bisa diam sembari mengepalkan tinjunya.
“Katakan padaku, jika kau menyuruhku untuk membawamu lari maka aku akan membawamu ke ujung dunia. Bersembunyi dari kenyataan ini.” Xue Yang berkata.
Cao Hua menyeka air matanya, ia kemudian berbalik dan menatap Xue Yang. Cao Hua yang bodoh sama sekali tidak menyadari perasaan Xue Yang padanya. Melihat laki-laki yang sudah di anggapnya sebagai saudara itu berkata akan membawanya pergi, Cao Hua tidak bisa menahan senyum kebahagiaannya. Sejak Cao Jie masuk ke istana, ia benar-benar hanya bisa bergantung pada Cao Xiao. Tapi kini Cao Xiao sudah menjadi istri Chu Fei Yang, jadi ia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tapi Xue Yang selalu berada di sisinya, Xue Yang selalu ada untuk menemaninya.
“Kau bocah bodoh, aku akan memikirkan jalan keluar ini sendiri. Jangan khawatir.” Cao Hua tidak ingin membawa masalah pada Xue Yang, jadi ia hanya melangkah pergi dari halaman.
Xue Yang menatap bayangan gadis pujaannya itu pergi. Ia kemudian bangkit dan berjalan menuju suatu tempat. Menatap ke sebuah ruangan yang masih terang, Xue Yang melangkahkan kakinya menuju ruangan itu. Tapi ketika sudah berada di depan pintu ia berhenti. Xue Yang ragu-ragu, ia awalnya berniat untuk meminta Cao Cao membatalkan niatnya itu. Tapi Xue Yang takut kalau ini hanya akan membawa masalah bagi Cao Hua. Makai a berbalik dan melangkah keluar dari kediaman keluarga Cao.
Keesokan harinya, tekanan lain menghampiri Cao Hua. Seorang kepala pelayan mendekati kamarnya dan mengetuk pintu kamarnya, melihat Cao Hua yang masih tidur pelayan itu dengan berani membuka tirai dan membiarkan silaunya matahari menusuk mata Cao Hua.
“Berani-beraninya pelayan sepertimu! Kau benar-benar lancang! Kedua kakakku saja tidak pernah memperlakukanku seperti ini.” Cao Hua meraung ketika ia dengan terpaksa bangkit dari tempat tidurnya.
Para pelayan kecil yang mendengar kemarahan nona ketika itu langsung gemetar ketakutan. Keringat dingin mengalir deras dari punggung mereka. Tapi reaksi berbeda di tunjukkan oleh kepala pelayan wanita yang berusia sekita lima puluh tahun itu. Dengan wajah yang penuh ketenangan dia berbicara, “Nona ketiga, ini sudah sangat siang. Sekarang sudah pukul sepuluh, dan sekarang adalah waktunya belajar etiket istana. Pelayan ini akan memandu nona ketiga, selain itu tuan sudah menyiapkan guru untuk nona ketiga.”
Ucapan pelayan senior itu sangat lembut, tapi itu bukanlah ucapan untuk menenangkan amarah Cao Hua. Alih-alih menurut dan tersenyum, ekspresi Cao Hua bertambah suram. Ucapan pelayan senior itu bak minyak tanah yang disiramkan ke dalam api, membuat api semakin membesar. Para pelayan junior tampak semakin ketakutan, sesaat mereka menahan napas ketika mereka secara sembunyi-sembunyi menatap wajah suram Cao Hua.
“Aku tidak mau! Berhenti memaksaku!” Cao Hua meraung dan berteriak.
Tapi pelayan senior itu tidak takut sedikit pun, ia kemudian berkata, “Kalian, kenapa masih berdiri disana?! Cepat bantu nona ketiga berpakaian!!”
Mendengar suruhan atasannya, para pelayan itu dengan ragu-ragu melangkahkan kakinya ke arah Cao Hua. Tapi langkah kaki itu seketika berhenti ketika Cao Hua mengangkat pedangnya dan menghunuskannya ke arah para b***k itu. Dengan dingin ia berkata, “Selangkah lagi kalian maju, maka aku akan memisahkan kepala kalian dari lehernya.”
Mendengar ancaman yang begitu menakutkan itu, para pelayan segera membungkuk dan memohon ampun. Tapi itu tidak berlaku bagi pelayan senior, dia tetap kokoh berdiri di tempatnya. Kata-kata mengancam keluar dari bibir keriputnya, “Kalian semua tidak mau berdiri dan berniat melawan perintah tuan Cao Cao?!”
Para pelayan itu kemudian berpikir dua kali. Jika saja mereka mengabaikan perintah Cao Hua, kemungkinan hanya mereka yang akan mati mengenaskan. Tapi jika perintah yang mereka langgar adalah perintah Cao Cao, maka kemungkinan besar keluarga mereka akan mati menenaskan tanpa adanya pemakaman. Jadi dengan kaki yang gemeteran, para pelayan itu bengkit dan mendekat kea rah Cao Hua yang masih menghunuskan pedangnya.
“Ah, kalian benar-benar mengira aku bercanda. Kalian kira aku adalah gadis dari keluarga terhormat yang baik hati. Baiklah, kemarilah dan aku akan membuat kalian semua menemui raja neraka!!” Cao Hua tersenyum dingin ketika bilah pedangnnya yang tajam mulai menyentuh leher salah satu pelayan.
“Hentikan!!”
Suara lembut tiba-tiba bergema di sepanjang kediaman Cao Hua. Di landa kepanikan, para pelayan berbalik dan melihat sosok Cao Xiao tengah berdiri di belakang mereka. Cao Xiao tiba-tiba datang dan membuat suasana menjadi sedikit lebih tenang.
“Hua er, hentikan. Mari kita bicarakan hal ini secara baik-baik.” Ujar Cao Xiao sembari mendekat kea rah adik bungsunya.
Para pelayan sedikit merasa lega dengan kedatangan Cao Xiao. Jantung para pelayan yang nyaris terputus, tiba-tiba mengendur ketika sosok bidadari lembut itu datang.
“Kalian semua pergi!! Aku mau berbicara pada adikku.” Ujar Cao Xiao dengan tegas.
Para pelayan junior tanpa ragu-ragu berlarian keluar ruangan, sementara pelayan senior masih kokoh berdiri. Ia tampak keras kepala dan tidak mau keluar, tapi Cao Hua menatapnya dengan tatapan dingin. Aura membunuh dan haus darah terpancar dari matanya. Menyadari bahwa emosi adik bungsunya masih belum mereda, Cao Xiao mengalihkan pandangannya ke arah pelayan senior itu. Ia kemudian berkata dengan suara tegas, “Kau juga harus pergi.”
Mendengar perkataan Cao Xiao, pelayan itu tampak ragu-ragu. Ia harus berpikir dua kali, jika ia tidak pergi maka ia akan membuat Cao Xiao tersinggung. Mungkin bukan hanya Cao Xiao, tapi Chu Fei Yang juga akan menargetkannya karena telah berani menghina istrinya. Maka dengan langkah yang berat, pelayan senior itu membungkuk dan pergi.
Sekarang hanya ada mereka berdua di ruangan itu, Cao Hua langsung melepaskan pedangnya dan suara berdentang terdengar. Ia kemudian memeluk Cao Xiao dengan erat, seolah ia sedang meminta perlindungan.
“Kakak, aku tidak mau menjadi selir. Aku mohon bantu aku untuk berbicara pada ayah. Ayah selalu mendengarkan kakak, apa kakak tidak kasian melihatku dan kakak kedua?” Cao Xiao terisak ketika ia mencurahkan semua isi hatinya pada saudari tertuanya.
Cao Xiao melepaskan pelukannya itu, ia kemudian menggenggam tangan adiknya. Ketika ingin menjawab, Cao Xiao melihat luka di tangan Cao Hua. Cao Xiao kemudian menarik Cao Hua dan mengobati tangannya. Saat ini tidak ada yang memulai pembicaraan, begitu hening sehingga suara jarum yang terjatuh pun akan terdengar.
Melihat kakak tertuanya tidak menjawabnya, Cao Xiao kembali membuka mulutnya, “Kakak, ini bukanlah saat yang tepat untuk mengobati lukaku. Ini sama sekali tidak sebanding….”
PLAKKK
Tamparan melayang ke pipi putih Cao Hua. Cao Xiao menampar adiknya itu untuk pertama kalinya.