Merasakan rasa sakit akibat tamparan kakak sulungnya, Cao Hua tidak mengatakan apa-apa. Pipi putihnya yang semula seputih salju kini telah berubah warna menjadi merah muda, bekas lima jari tergambar di pipinya. Tamparan itu setidaknya sudah membuat Cao Hua yang semula tidak bisa diam dan terlihat sangat gegabah menjadi lebih tenang. Tapi raut wajah berbeda ditunjukkan oleh Cao Xiao, sedikit penyeselan muncul di hatinya ketika ia melihat wajah adik bungsunya itu memerah karena rasa sakit. Tapi ia tidak bisa melunak atau Cao Hua akan kembali menjadi-jadi.
“Ini adalah kali pertama aku menamparmu. Dan ini juga kali pertama kau membuatku kecewa. Aku tau kau sedang mengalami masalah dan tertekan, tapi tidak bisakah kau menjadi dewasa?” Cao Xiao berkata dengan lembut, hatinya terluka ketika ia menatap adiknya dengan tatapan menyedihkan.
Cao Hua yang semula tegar, kini benar-benar goyah setelah mendengar ucapan kakak sulungnya itu. Dengan tatapan memohon, berharap kakaknya akan mengasihinya dan membujuk ayah mereka untuk membatalkan keputusannya itu, Cao Hua berbicara, “Aku benar-benar tidak mau menjadi selir. Apa kakak tau, itu akan sangat melukai permaisuri Xianmu.”
Cao Xiao mengerti akan ketakutan Cao Hua itu. Itu semua memang akan terjadi, tapi itu bukanlah akibat terburuk yang mungkin saja akan terjadi. Cao Xiao kemudian menenangkan adiknya, ia menggenggam tangan adik bungsunya itu dan kemudian berbicara dengan lembut, “Aku dan suamiku sudah memikirkan ini dengan hati-hati. Kau memang baik karena memikirkan perasaan permaisuri Xianmu, tapi apa kau pikir aku tidak memikirkannya? Dengarkan aku baik-baik Hua er, ada dua alasan kenapa kau harus menerima keputusan ayah ini dan masuk ke istana. Pertama, ayah bukanlah orang yang lembut seperti dulu, aku yakin dia tidak akan pernah menyerah akan hal ini. Walau harus menghalalkan segala cara, dia akan mendapatkan kemauannya. Alasan kedua,…”
Melihat Cao Xiao menghentikan perkataannya, Cao Hua bertanya, “Katakan kakak pertama. Apa alasan kedua?”
Cao Xiao sedikit ragu ketika ia berkata, “Suamiku berkata kalau Xue Yang kini tengah di tahan oleh ayah.”
Cao Hua tersentak, ia dengan panik berdiri dari kursinya. Ia mengingat kejadian semalam ketika ia dan Xue Yang tengah mengobrol di halaman, Cao Hua tidak pernah mengira kalau ayahnya akan bertindak sejauh ini.
“Kakak, di mana Xue Yang sekarang?!” Cao Hua sudah kehilangan ketenangannya begitu mengetahui kalau sahabat baiknya itu di tahan oleh ayahnya.
Cao Xiao berusaha menenangkan Cao Hua, tapi itu sepertinya sia-sia saja. Cao Hua sudah kehilangan akal sehatnya sekarang. Jadi dengan terpaksa Cao Xiao mengungkapkan keberadaan Xue Yang, “Dia sekarang ada di pos militer di bukit Dafan.”
Cao Hua mengambil pedangnya dan segera meninggalkan Cao Xiao yang masih berdiam di tempatnya. Tanpa pikir panjang, Cao Hua keluar dari pintu gerbang Cao Fu dengan perasaan khawatir. Ia memacu kudanya dengan kecepatan tinggi menuju ke bukit Dafan. Pos militer keluarga Cao itu merupakan pos militer terbesar kedua setelah pos militer kekaisaran, dan dibalik besarnya pos itu terdapat sebuah ruangan rahasia di mana penyiksaan penjahat dilakukan. Membawa seorang Xue Yang yang mungkin saja menjadi kelemahan Cao Hua akan menjadi tawar menawar yang bagus baik Cao Cao.
Walau si bodoh Cao Hua tidak memiliki perasaan apa pun pada Xue Yang, tapi ia masih menganggap pemuda itu sebagai sahabat terbaiknya. Semua pikiran Cao Hua hanya terfokus untuk menyelamatkan Xue Yang, berharap bahwa roh dan badannya masih menyatu.
Setelah seharian berkuda melewati bukit dafan, Cao Hua akhirnya sampai di pos militer itu. Dari luar pintu gerbang, penjaga tengah menatap Cao Hua yang mendekat dengan kudanya.
“Salam untuk nona ketiga.” Karena sudah mengikuti perang selama beberapa kali, para tentara dan pasukan militer itu sudah tidak asing dengan putri bungsu keluarga Cao itu.
“Di mana ayahku?” Cao Hua mengabaikan salam penjaga itu, dan dengan suara dingin ia bertanya.
“Tuan Cao Cao berada di Youhuan bersama dengan panglima Xue Yang.”
Mendengar kata “Youhuan” saja Cao Hua sudah merinding. Bukan tanpa alasan ruangan itu bernama “Youhuan” (Penderitaan), itu adalah ruangan penyiksaan yang bahkan lebih mengerikan dari pada penjara bawah tanah kementerian kehakiman. Dan membayangkan bagaimana Xue Yang berada di sana, Cao Hua sudah bisa menebak bagaimana kondisi Xue Yang sekarang. Maka dengan kecepatan penuh, ia memacu kudanya.
Dari pintu masuk pos militer Cao Hua berlari menuju ruangan bawah tanah. Ketika ia sudah memasuki ruangan bawah tanah, bau anyir dari darah sudah tercium. Entah sudah berapa banyak tahanan yang dibunuh di tempat itu, dari kejauhan Cao Hua melihat ruangan luas dengan di atas pintunya tertulis “Youhan”. Tanpa pikir panjang Cao Hua mendobrak masuk dan melihat Xue Yang sudah terkulai dan tak berdaya dengan luka-luka ditubuhnya. Melihat kedatangan Cao Hua, Cao Cao sama sekali tidak berniat untuk menghentikan siksaannya pada Xue Yang.
“Hentikan!! Ayah hentikan!!” Cao Hua meraung karena marah. Dengan langkah berat ia berlari menuju Xue Yang dan berusaha melindungi tubuh pemuda tampan itu dengan tubuh mungilnya.
Tapi bahkan sebelum berhasil meneyntuh sehelai rambut Xue Yang, Cao Cao sudah menginstruksikan kepada dua pengawalnya untuk menghalangi Cao Hua.
“Lepaskan!! Aku bilang lepaskan!!” Cao Hua berjuang keras melepaskan diri dari kedua pengawal itu. Tapi tenanganya sekarang benar-benar lemah, ia bahkan berlari ke bukit Dafan tanpa sarapan.
“Putri ketiga memang benar-benar sangat menyayangi Xue Yang. Maka hanya dengan ini ayahmu bisa membuatmu menuruti perkataan ayah.” Cao Cao berbicara dengan santai.
“Ayah keterlaluan, bagaimana bisa ayah memperlakukan Xue Yang seperti ini? Dia sudah seperti keluarga kita.” Memikirkan bagaimana hubungan keluarga Cao dan Xue Yang, Cao Hua terus-terusan mengeluarkan pembelaannya. Sejak ayahnya mengambil Xue Yang di jalanan, Xue Yang sudah dengan sepenuh hati mengabdikan dan memberikan hidupnya untuk keluarga Cao. Jadi bagaimana mungkin Cao Hua tega melihat pemuda yang tumbuh bersamanya itu mati di tangan ayahnya sendiri?
Cao Cao dengan wajah suram berbicara, “Ahahhahah, putriku memang cerdas. Karena itulah aku memanfaatkan Xiao Xue. Karena kalian tumbuh bersama maka tentu saja kau tidak akan tega melihatnya mati kan? Sebagai saudara, kau harus mengorbankan dirimu untuknya.”
Cao Hua diam ketika ayahnya mengatakan ini. Tatapan putus asa di tambah dengan rasa kesal menyelimuti hatinya. Walau ia dan Xue Yang tidak terikat hubungan darah, tapi Cao Hua tidak bisa melihat Xue Yang mati. Entah sudah berapa kali Xue Yang mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkannya ketika mereka berperang, tapi Cao Hua belum pernah sama sekali berkoban untuknya. Dan sekarang, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat cambuk tajam itu menggores punggung Xue Yang, membuat tubuh berototnya berdarah.
“Hentikan!! Aku mohon hentikan!! Aku akan menuruti kemauan ayah, aku akan menjadi selir. Tapi ku mohon hentikan!!” Melihat Xue Yang sudah keritis dan tidak bergerak lagi, Cao Hua kemudian dengan berani membuat keputusan.
Dua pengawal yang sebelumnya menghentikan Cao Hua kemudian melepaskannya setelah Cao Cao mengangguk. Cao Hua kemudian berlari ke arah Xue Yang yang pingsan karena rasa sakit yang tertahankan lagi, ia memeluk tubuh yang penuh luka itu. Air mata Cao Hua merembes keluar ketika ia melihat Xue Yang yang berada dipangkuannya itu tidak berdaya.
“Kau membuat keputusan yang tepat putriku.” Suara Cao Cao menggema diseluruh ruangan.
“Pengawal, bawa panglima Xue ke ruangan yang lebih layak. Panggil tabib untuk mengobati lukanya.” Cao Cao berkata sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan ruangan.
Kondisi Xue Yang saat ini memang cukup mengenaskan. Beruntung tabib sudah mengobati luka-lukanya dengan hati-hati. Ini mungkin tidak seberapa, tapi mengingat siksaan Cao Cao ini, sepertinya Cao Cao masih belum mengetahui perasaan Xue Yang pada putrinya. Jika hal itu terjadi, mungkin saat ini jasad Xue Yang sudah menjadi santapan anjing-anjing liar di camp militer Dafan.
Menyaksikan wajah tampan Xue Yang yang penuh dengan luka memar itu, rasa bersalah timbul di hati Cao Hua. Ia mencelupkan kain lembut ke dalam air hangat dan menyeka luka itu untuk menghindari pembekakan. Dan ketika kehangatan menyentuh wajahnya, Xue Yang tiba-tiba terbangun dari pingsannya.
“Kau sudah sadar, syukurlah.” Cao Hua memeluk Xue Yang.
Mengetahui dirinya masih berada di dunia, ekpresi Xue Yang sama sekali tidak menujukkan kebahagiaan. Sebaliknya, ia langsung melepaskan pelukan hangat Cao Hua dan berkata, “Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan disini?”
Cao Hua tersenyum, “Bodoh! Tentu saja aku datang untuk menyelematkanmu. Kau berhutang nyawa padaku!”
Mendengar perkataan Cao Hua itu, maka firasat Xue Yang tidak salah. Xue Yang dengan khawatir bertanya, “Kau…, kau menerima keputusan itu?”
Cao Hua mengambil bubur dari atas meja dan memberikan sesuap pada Xue Yang. Tapi Xue Yang mengabaikan sesendok bubur yang mengarah ke mulutnya itu. Sebalinya ia bertanya dengan suara agak keras dari sebelumnya, “Jawab pertanyaanku!!”
“Kau benar, aku menerima keputusan ayah.” Cao Hua menjawab secara acuh tak acuh. Lalu kemudian ia kembali menyodorkan sesendok bubur itu pada Xue Yang. Tapi Xue Yang yang sudah suram, hanya bisa menepis sendok itu hingga akhirnya sesendok bubur itu jatuh ke lantai.
“Xue Yang!! Apa yang kau lakukan!!” Cao Hua marah.
Tapi Xue Yang jauh lebih marah ketika ia mendengar ucapan Cao Hua itu. Kedua lengannya yang lemah seperti telah mendapatkan kembali kekuatannya, dan dengan sekuat tenang ia mencekram Cao Hua. Tatapan Xue Yang mengunci mata Cao Hua, “Apa kau bodoh?! Kau akan menderita, bukankah kau tidak menginginkan hal ini?”
Cao Hua melepaskan dirinya dari cengkeraman Xue Yang dan ia membalas perkataan Xue Yang itu dengan nada emosi, “Kalau aku tidak menuruti kemauan ayah, maka kau akan mati!! Bagaimana bisa aku membiarkanmu mati!!”
Walau kata-kata Cao Hua itu sempat menghangatkan hati Xue Yang dan membuatnya merasakan kebahagiaan, tapi tetap saja itu adalah sebuah penderitaan untuk Cao Hua. Melihat bayangan Cao Hua yang marah meninggalkannya, Xue Yang berbicara pada dirinya sendiri, “Aku lebih memilih mati darivpada harus melihatmu menderita.”