Di hari berikutnya, istana Fenghuang kedatangan selir Hua dan para rombongannya. Mian Mian segera melaporkan hal itu ke permaisuri dan permaisuri dengan tenang menyuruh Mian Mian untuk memimpin selir Hua masuk ke ruangannya.
“Yang mulia, selir Hua di sini untuk menyapa anda.” Cao Hua melipat lututnya dan dengan anggun berbicara.
“Apa kau sudah membuat keputusan?” Permaisuri Xianmu dengan wajah khawatir berbicara. Permaisuri Xianmu bahkan melupakan penghormatan Cao Hua dan langsung menyinggung pokok permasalah. Walau wajah cantik permaisuri masih setenang air yang mengalir di sungai, tapi tangannya yang terus-terusan mengelus perut hamilnya itu tidak bisa menyebunyikan hatinya yang penuh dengan kekhawatiran.
Tatatpan Cao Hua kemudian beralih ke tangan ramping permaisuri yang mengelus perutnya yang mulai membuncit itu. Sejenak Cao Hua melupakan pertanyaan permaisuri Xianmu padanya dan membayangkan bayi yang juga kini berada di rahimnya. Bayinya itu bahkan masih sebesar biji sagu, itu bahkan masih tidak sebut sebagai bayi, tapi janin lebih tepatnya. Memikirkan bagaimana beruntungnya calon bayi permaisuri yang nantinya akan mewarisi tahta dan cinta kaisar, rasa isi tumbuh di hati selir Hua. Jika di bandingkan dengan calon anaknya yang mungkin tidak akan pernah melihat ayah kandungnya lagi, selir Hua merasa lebih sedih. Tidak ada kebenciaan sama sekali pada calon anaknya itu, selir Hua justru diam-diam mencintai anak yang ada karena buah cinta semalam antara dia dan Xue Yang.
“Xiao Hua.” Permaisuri Xianmu kembali membuka mulutnya ketika ia tidak melihat Cao Hua akan merespon ucapannya.
Mendengar suara teguran itu, Cao Hua segera kembali dari alam khayalannya. Ia kemudian dengan tenang menanggapi permaisuri, “Kakak, aku tau waktuku akan segera berakhir. Tapi sebelum itu, izinkan aku itu untuk keluar dari istana dan pergi ke Chu Fu untuk menemui kakak pertama. Aku hanya ingin melihatnya, selain itu aku akan ke kuil untuk menenagkan diriku. Sepulang dari kuil aku akan memberi kakak jawaban. Hanya dua hari waktu yang aku minta.”
Permaisuri Xianmu dengan hati-hati mempertimbangkan permintaan adik bungsunya itu. Walau ia akhirnya menganggukkan kepalanya dan memberikan persetujuan, permaisuri Xianmu tetap memperingatkan, “Hanya dua hari. Selain itu pengawal istana akan mengawalmu.”
“Adik ini mengerti.” Cao Hua membungkuk sebelum akhirnya keluar meninggalkan istana Fenghuang.
Di hati kecil permaisuri Xianmu sudah tumbuh beberapa kecurigaan, tapi ia memilih untuk mengubur kecurigaannya itu. Lagi pula itu hanya dua hari,dan Cao Hua tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Selir Hua keluar istana menggunakan kereta kuda yang sebelumnya telah di persiapkan, beberapa pengawal juga ikut pergi bersamaanya, tidak lupa pula Yianrang yang selalu setia pada Cao Hua. Selir Hua memang tidak berbohong, kereta kudanya berjalan menuju Chu Fu tapi kereta itu hanya melewati gerbang Chu Fu dan tidak berhenti, tapi sebaliknya kereta itu menuju ke Cao Fu, rumahnya yang juga rumah Cao Cao.
“Ayah, aku datang.” Selir Hua dengan rambut yang di sanggul dan hanfu merah duduk di kursi.
“Apa yang mulia permaisuri curiga?” Cao Cao bertanya.
Cao Hua menggelengkan kepalanya. Cao Cao kemudian memperketat pengawalannya di Cao Fu. Tidak ada seorang pun yang bisa memasuki Cao Fu untuk saat ini, bahkan pelayan tidak di izinkan untuk mendekat ke ruangan kerja Cao Cao. Cao Hua sendiri tidak tau rencana apa yang akan ayahnya lakukan. Tapi sosok laki-laki tiba-tiba datang dengan suara beratnya menyapa Cao Hua, “Salam yang mulia selir.”
“Sepupu Cao Pi, apa yang kau lakukan disini?” Cao Hua kebingungan ketika ia melihat sepupunya yang tidak pernah berkunjung ke Cao Fu tiba-tiba menampakkan dirinya.
“Dia akan bergabung dengan kita.” Cao Cao dengan santai berbicara.
“Bawa dia masuk.” Setelah Cao Pi duduk dengan tenang di kursi, ia kemudian bersuara dan memerintahkan seseorang untuk masuk. Seorang wanita masuk, pakaiannya begitu aneh. Wanita yang berusia sekitar empat puluhan itu masuk dengan barang-barang aneh yang ia bawa. Melihat sekilas dari tampilannya, wanita itu pastilah Cenayang. Tapi untuk apa ayahnya memanggil cenayang?”
“Apa maksudnya ini ayah?” Cao Hua bertanya karena rasa penasaran.
“Kau hanya perlu mengikuti rencana kami. Untuk menyingkirkan kakakmu yang keras kepala itu, kita harus menggunakan kaisar.” Cao Cao berbicara dengan nada tenang.
Memikirkan rencana ayahnya yang mungkin saja akan menyakiti kaisar Xian, Cao Hua meraung, “Ayah jangan pernah berani untuk menyakit kaisar.”
“Sepupu tenang saja, kaisar tidak akan terluka. Itu hanya akan berlangsung sebentar. Setelah itu singgasana naga akan menjadi milikmu, ah…begitu pula kaisar.” Cao Pi juga menyuarakkan pendapatnya dengan penuh ketenangan.
Cao Cao melihat keraguan di wajah Cao Hua, dan ia tidak ingin putrinya itu berubah pikiran lagi. Jadi Cao Cao menegaskan, “Jangan bodoh selir Hua, kita bisa menyingkirkan permaisuri dan calon anaknya sekaligus dengan cara ini. Selain itu, calon anakmu nanti akan menggantikan anak permaisuri nantinya.”
Memikirkan bagaimana kehidupan calon anaknya kelak, mata Cao Hua kembali tegar. Ia akan melakukan apapun agar anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan penuh kebahagiaan, walau itu harus mengorbankan nyawa saudarinya dan calon keponakannya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Cao Hua akhirnya terjebak dalam permainan jahat ayahnya, ia memutuskan untuk menjadi iblis demi anaknya.
“Yang mulia selir tidak perlu melakukan apa-apa. Nanti malam, anda hanya harus membiarkan kaisar Xian untuk bermalam di paviliun anda. Selebihnya biarkan hamba yang akan mengurusnya. Selain itu, selipkan jimat ini di pakaian kaisar.” Cenayang itu tiba-tiba membuka mulutnya. Nada suaranya begitu dengin dan terdengar mengerikan. Setelah itu benda kotak yang mirip dengan kain sutra berwarna merah keluar dari lengan bajunya. Cao Hua menerima benda itu dan melihatnya, sekilas Cao Hua sudah bisa menebak kalau itu adalah jimat.
“Mala mini kita akan menjalankan rencana ini. Ayah dan Cao Pi akan membawa cenayang ini ke istana. Kau hanya perlu melakukan tugasmu.” Kata Cao Cao.
Cao Hua mengangguk penuh ketakutan. Ia kemudian keluar dari ruang kerja ayahnya dengan kaki yang gemetaran. Cao Hua dipenuhi rasa takut ketika di lengan bajunya itu tersembunyi sebuah jimat. Langkah kakinya berbenti begitu Cao Cao kembali memanggilnya. Cao Hua menoleh dan melihat sosok ayahnya, “Ada apa ayah? Apa ada sesuatu yang aku lupakan?”
“Mampirlah ke Chu Fu nanti, dan katakan kau tidak bisa ke kuil karena merasa kurang sehat.” Cao Hua hampir saja melupakan alasannya untuk keluar dari istana. Permaisuri Xianmu bukanlah orang bodoh yang akan membiarkan masalah ini lepas begitu saja, ia pasti sudah menyuruh seseorang mengikuti selir Hua. Beruntung ayahnya sangat handal, jadi ia dengan paham mengangguk sebelum akhirnya pergi menuju Chu Fu.
Chu Fu, kediaman Chu Fei Yang.
“Nyonya, yang mulia selir Hua ada disini untuk melihat nyonya.” Gadis pelayan Cao Xiao memberitahu kedatangan Cao Hua pada majikannya. Seketika wajah Cao Xiao berubah dan memancarkan rona bahagia.
“Aku akan segera menemuinya.” Cao Xiao kemudian meletakkan sulamannya dan bergegas menuju aula utama kediaman Fu.
Melihat kakaknya datang dengan penuh senyuman, Cao Hua dengan bahagia berdiri untuk memeluk kakaknya. Tapi sang kakak malah membungkuk dan memberi hormat padanya, “Yang mulia.”
“Kakak, tidak perlu sungkan padaku. Bangunlah.” Cao Hua menggenggam erat tangan kakak sulungnya. Ia kemudian menarik Cao Xiao untuk duduk dan mengobrol.
“Apa yang membawamu kemari?” Cao Xiao tidak lagi memperhatikan statusnya dan dengan santai berbicara pada Cao Hua.
“Aku ingin ke kuil untuk berdoa tadi, tapi aku merasa kurang sehat. Jadi aku singgah ke Cao Fu untuk melihat ayah, tapi ayah tidak ada disana, jadi aku ke Chu Fu untuk menengok kakak. Sangat jarang aku bisa keluar istana, jadi aku memanfaatkan kesempatan ini.” Cao Hua berkata dengan penuh rasa bahagia.
Cao Xiao memperhatikan wajah adiknya yang penuh dengan kebahagian, hatinya tidak bisa berbohong dan matanya memancarkan aura bahagia. Ia kemudian menggenggam tangan adiknya dan berkata, “Bagaiamana keadaan yang mulia permaisuri? Apakah dia sehat? Chu Xiang sudah memberitahuku kalau yang mulia permaisuri sedang hamil, kau harus menjaganya.”
Mendengar kalimat “kau harus menjaganya” membuat wajah selir Hua yang semula bahagia menjadi lebih suram. Walau demikian ia hanya bisa tersenyum dingin ketika ia berkata, “Kakak hanya khawatir pada kakak kedua, apa aku tidak berarti?”
Cao Xiao tidak bisa tidak mencubit pipi adik bungsunya itu, walau kini statusnya lebih tinggi karena ia menjadi selir, tapi di mata Cao Xiao, Cao Hua masihlah adik kecilnya. Cao Xiao tersenyum dan dengan lembut berkata, “Kakak tidak akan khawatir lagi padamu, karena kakak tau permaisuri Xianmu akan merawatmu dengan baik.”
Wajah selir Hua bertambah suram ketika kakaknya menyebut nama “Xianmu”. Entah itu di istana atau pun diluar istana sekalipun, permaisuri Xianmua akan selalu menjadi pusat perhatian dan pujian. Seolah-olah ia lahir dari surga dan tanpa dosa, memikirkan semua berkat yang diberikan oleh surga pada saudari keduanya itu, Cao Hua mengutuk di dalam hatinya.
“Kakak, langit akan segera berubah menjadi gelap. Sebaiknya aku pergi sekarang.” Tidak ingin kakak kesayangannya terus-terusan memuji permaisuri Xianmu, selir Hua langsung berbalik untuk meninggalkan Chu Fu.
Cao Xiao tidak mengatakan apa-apa lagi walau ia merasa sikap Cao Hua aneh. Cao Xiao sudah merasakan kalau Cao Hua enggan untuk membicarakan segala hal yang menyangkut permaisuri, karena hal inilah kekhawatiran tumbuh dihati Cao Xiao.
Di dalam kereta, kemarahan Cao Hua semakin tumbuh menjadi-jadi. Awalnya ia ragu untuk melaksanakan rencana ayahnya, tapi kali ini keraguan itu sudah sirna dan digantikan dengan amarah dan rasa iri yang besar.