Ratu duduk di bangku dengan gelisah, pagi ini dia akan meminta maaf pada Sultan atas apa yang di lakukan nya kemarin. Ratu benar-benar merasa tidak bisa tidur karena memikirkan masalah ini. Dia menatap jam di pergelangan tangannya pukul 07.30. Kenapa rasanya lama sekali? Biasanya setia detik dan menit terasa begitu cepat, giliran sedang di butuhkan begitu lama sekali. Ratu menghela napas, dia mencoba untuk tidak menatap lagi jam. Ratu memainkan ponsel, untuk tidak terlalu terpengaruh akan keadaan. Mencoba tidak memikirkan, kenapa Sultan belum datang? Ratu menyimpan ponselnya dengan kesal, dia benar-benar tidak fokus untuk bermain.
Ratu bangkit dari duduknya, lebih baik dia duduk di depan saja. Suasana begitu hening, semua kelas sudah aktif belajar. Sudah beberapa hari Ratu sekolah di sini tapi tidak ada satu pun Guru yang masuk. Lalu bagaimana nanti mereka akan mengikuti ujian jika tidak ada guru yang mengajar? Ratu melangkah ke arah pembatas balkon menatap ke bawah dimana ada murid-murid yang sedang ada di pelajaran olah raga.
Ratu menghela napas kembali, ini semua murid di kelasnya apa tidak akan datang? Jika memang tidak akan datang, dia akan ikut bolos saja. Ponselnya terus menerus bergetar, dia tidak tahu ada apa dengan ponselnya. Ratu merogok saku jaket, lalu menatap berpuluh-puluh pesan masuk ke aplikasi w******p nya. Ratu membuka aplikasi itu, keningnya berkerut saat melihat ada satu grup di sana. Grup apa ini?
Sultan & Ratu
Sejak kapan Ratu memiliki grup bernama alay seperti ini? Ratu masuk ke dalam grup itu, begitu rusuh dan tidak terkendali. Tapi tidak berapa lama saat dia membaca satu persatu pesan, grup di non aktifkan hanya admin saja yang bisa berkomunikasi. Ratu hanya menatap ponselnya saja, lalu sebuah pesan masuk.
Sultan
Gua nggak bisa masuk sekolah guys
Gua sakit
Jadi buat hari ini kalian ke sekolah tanpa gua
Doain semoga sakit gua makin lama
Biar gua nggak sekolah terus ?
Mata Ratu membulat melihat pesan yang di kirim Sultan. Sultan sakit? Apa jangan-jangan laki-laki itu sakit akibat tamparannya? Tapi, bagaimana bisa hanya di tampar Sultan sakit seperti ini? Tidak lama obrolan kembali terbuka. Ratu langsung menutup ponselnya, bagaimana ini? Apa dia menjenguk Sultan saja? Tapi nanti laki-laki menyebalkan itu berbuat macam-macam lagi padanya, bagaimana? Ratu menutup wajahnya kesal.
"Hei?" Ratu terkejut saat bahunya di tepuk.
"Apaan sih lo, ngagetin gua aja." Kesal Ratu.
Rizki menaiki salah satu alisnya, "Lagian elo, ngapain di sini?"
"Ya terus gua harus kemana lagi? Di kelas nggak ada siapa-siapa, ngeri juga gua."
"Emang anak-anak belum dateng?"
"Kalau mereka udah dateng gua nggak bakal diem di sini." Rizki menatap Ratu dengan seksama. Senyum terbit di bibirnya membuat Ratu menggeser tubuhnya.
"Lo baik-baik aja kan?" Ratu mengusap bulu kuduknya.
"Memangnya gua kenapa?" tanya balik Rizki.
"Lo senyum-senyum sendiri. Di sini nggak ada penunggunya kan?"
Rizki menggeleng heran, "Di semua kelas juga pasti ada penunggunya."
"Serius?" Wajah Ratu memucat.
"Iyalah." Rizki melihat wajah Ratu memucat.
"Lo nggak liat kalau kelas penuh sesak gitu sama manusia?" Lanjut Rizki.
Ratu langsung menghela napas lega mendengar perkataan Rizki, dia mengusap lengannya. Ratu paling takut jika berurusan dengan mahkluk gaib, mana kelas mereka ada di ujung, belum lagi pohon beringin menaungi kelas mereka. Jika saja Ratu bisa pindah kelas, tidak apa-apa dia maju 3 kelas ke depan di banding berada di ujung.
"Eh lo udah baca pesan dari grup?" tanya Ratu.
Rizki menggeleng, "Ada apa emangnya?"
"Katanya Sultan sakit, dia nggak masuk sekolah hari ini."
"Oh itu, emang dia harus istirahat beberapa hari ini." Rizki melihat Ratu terlihat begitu gelisah. Ingin sekali dia tertawa namun dengan cepat memalingkan wajah.
Ratu menggaruk keningnya, apa dia bolos sekolah saja lalu menjenguk Sultan? Tapi ... ah tidak tahu lah, lebih baik dia sarapan saja.
"Gua mau ke kantin dulu." ujar Ratu.
"Kita bareng aja, gua belum sarapan." Ratu menganggukkan kepala.
Mereka berdua melangkah meninggalkan kelas. Bahkan tidak ada satu pun Guru yang menegur mereka berdua, padahal mereka melewati beberapa kelas. Ratu semakin di buat bingung dengan peraturan sekolah ini. Sebenarnya sekolah macam apa ini? Kenapa anak-anak IPS 10 bisa keluar masuk seenaknya? Bahkan jika mereka melakukan kerusuhan tidak ada satu pun yang menegur. Saat Ratu di sekolah dulu, untuk pergi ke kantin pun mereka harus mencari alasan untuk meminta izin pada Guru di kelas pergi ke kamar mandi. Tapi sekarang dia bebas melangkah tanpa takut mendapat hukuman.
"Ini sebenarnya sekolah baik-baik aja kan?" tanya Ratu penasaran.
Rizki melirik Ratu sekilas sebelum kembali menatap ke arah depan sana, "Maksudnya gimana?"
"Gua disini udah beberapa hari sekolah tapi nggak ada satu pun Guru yang masuk. Sebentar lagi kita bakal ngadain ujian, gimana kita bisa ngisi soal kalau nggak ada satu pun pelajaran yang masuk?"
"Nggak bakal ada satu pun Guru yang masuk ke kelas Sultan."
"Loh, kenapa?"
"Karena itu peraturan dari kelas Sultan." Ratu mengerutkan kening.
"Maksudnya karena itu kelas anak-anak Sultan, jadi kalian ngelarang Guru buat masuk?"
"Yah bisa di katakan begitu."
"Terus kalian nanti gimana?" Ratu masih penasaran, dia membutuhkan penjelasan.
Rizki menghela napas, "Sebenarnya kami punya Guru tetap tapi sayangnya beliau lagi nggak dalam kondisi baik-baik aja."
"Emangnya apa yang terjadi?"
"Punya masalah pribadi mungkin. Kelas kami cuman bakalan nurut sama perintah beliau. Beliau salah satu Guru yang bertahan di kelas kami, setelah kami buat beberapa Guru jera masuk ke dalam kelas. Bahkan saat itu Pak Kumis kami kunci satu hari satu malam tapi beliau nggak pernah marah ataupun dendam. Dari sana kami memilih kalau Pak Kumis lah yang akan mengajar kami sampai kami lulus sekolah." Cerita Rizki membuat Ratu terharu.
Bagaimana bisa ada Guru yang begitu sabar di perlakukan tidak baik oleh anak-anak semacam anak IPS 10? Bahkan Guru tersebut bertahan selama 3 tahun untuk mengajar mereka dengan penuh sabar. Ratu jadi penasaran, bagaimana sosok Pak Kumis mereka.
"Udah berapa lama beliau nggak masuk?" Mereka sudah sampai di kantin. Ratu menarik kursi begitu pun dengan Rizki.
"3 bulan."
"Kalian nggak ada niat buat jenguk?"
"Udah, tapi Pak Kumis nggak ada di rumahnya."
"Anak dan Istrinya, gimana?" Rizki tidak menjawab cepat. Ratu bungkam, sepertinya ini hal sensitif untuk di bahas.
"Pak Kumis di ceraikan istrinya karena merasa beliau itu aneh, padahal kalau udah kenal Pak kumis lebih lama pasti bakal tahu gimana sifatnya beliau." Ratu tidak tahu harus mengatakan apalagi.
"Ah udahlah ayo kita pesan makanan." ujar Rizki tiba-tiba, Ratu hanya menganggukkan kepalanya saja. Mereka duduk di meja paling pojok. Yah walaupun Jam seperti ini Kantin hanya ada mereka penghuninya.
"MBAK NOOR PESEN YANG BIASA YAH?" Teriak Rizki.
"Iya Den di tunggu." jawab Mbak Noor.
"Lo mau pesen apa? Biar sekalian gua pesenin?" Ratu menggeleng.
"Biar gua pesen sendiri aja." Ratu bangkit dari duduknya.
"Lo tinggal teriak aja kali."
"Segan gua, beliau lebih tua dari gua, masa teriak-teriak." jawab Ratu sambil berlalu meninggalkan Rizki.
"Lo beruntung Tan dapetin cewek sebaik Ratu. Lo bener-bener pria paling bahagia di antara kita semua." Gumam Rizki saat melihat Ratu berdiri di depan stand makanan.
Beberapa menit kemudian Ratu membawa sebuah nampan yang penuh dengan pesanan mereka.
"Nih, sekalian gua bawain punya lo." Ratu menyodorkan pesanan Rizki ke hadapan laki-laki itu.
"Thanks Ra." Ratu mengangguk, dia duduk lalu melahap makanannya.
Rizki tersenyum, dia merogok saku jaket lalu membuka Aplikasi kamera, tanpa sepengetahuan Ratu dia memfoto gadis itu yang sedang menyuap. Rizki mengirimkan foto itu pada Sultan, dia yakin laki-laki itu pasti akan kebakaran.
Sultan yang sedang asik menonton tiba-tiba di kaget kan dengan suara ponselnya. Dia mendengus lalu meraih benda persegi itu dengan malas. Sultan membuka pesan masuk w******p dari Rizki matanya membulat melihat foto siapa yang di kirimkan.
Sepupu sialan ?
Dia memang perempuan baik ?
Apa-apaan ini? Sultan menggenggam ponselnya dengan erat. Bagaimana bisa Rizki makan bersama dengan Ratu? Sialan! Sultan turun dari ranjang, dia akan melabrak mereka berdua sekarang. Sultan sudah memakai jaket, saat dia akan melangkah pintu kamar sudah terlebih dulu terbuka.
"Mau pergi kemana Putra bontotnya Bapak Rajendra?" Sultan seketika tersenyum lebar.
"Keluar, Bun."
"Keluar kemana sayang?"
"I-itu ...."
"Bagus Sultan! Bunda nggak ada bukan berarti kamu bisa seenaknya begini yah." Isyana berkacak pinggang menatap Putra bungsunya.
"Nggak gitu loh Bun."
"Udah, udah, udah, Bunda nggak mau tau sekarang kamu istirahat. Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu."
"Tapi Bunda ...."
"Nggak ada tapi-tapian Sultan!" Isyana menatap Sultan dengan garang.
Sultan menghembuskan napas, dia membuka jaket lalu kembali naik ke atas ranjang. Jika Ibu Negara sudah berkata A itu artinya tidak ada lagi bantahan.
"Gimana bisa kamu luka kaya gini? Kalau aja Om Iman nggak ngasih tahu, Bunda nggak akan pernah tahu."
"Nggak apa-apa Bunda, mungkin emang akunya yang teledor."
"Ayah sama Abang kamu marahin kamu lagi?"
"Nggak tahu." Isyana menatap Sultan dengan kening berkerut.
"Kok nggak tahu?"
"Sultan nggak tahu Bunda. Lagian Sultan juga nggak ke pikiran kalau di rumah ada Abang sama Ayah, pikiran Sultan lagi kalut kemarin." Isyana duduk di samping Sultan.
"Kalut kenapa? Kamu ada masalah?" Sultan mengusap wajahnya.
"Sultan lagi suka sama seseorang Bun." Isyana menganga mendengar ucapan Sultan.
"Suka gimana maksudnya?"
"Sultan juga nggak tahu. Sultan baru kenal dia beberapa hari tapi nggak tahu kenapa setiap liat dia jantung Sultan berdetak nggak kaya biasanya. Setiap Sultan nutup mata, bayangan dia slalu ada. Sultan mikir mungkin ini cinta pandangan pertama. Sultan juga kemarin nanya sama Ayah terus Ayah nggak tahu jawabannya, nanya sama Abang juga sama aja nggak dapet jawaban."
"Yeah kamu ngapain nanya sama mereka berdua. Udah tahu Ayah sama Abang kamu kalau urusan begitu mana paham."
"Terus Sultan harus nanya siapa lagi Bun? Kalau nanya sama Bunda juga percuma pasti jawabannya kaya Abang sama Ayah." Isyana tertawa, benar apa yang di katakan Sultan, untuk urusan cinta-cintaan sepertinya keluarga mereka tidak bisa di andalkan.
"Tanya sama Om Iman." Sultan menatap Ibunya.
"Om Iman tahu nggak jawabannya?" Isyana menggaruk rambutnya.
"Bunda nggak tau pasti tapi kayanya tahu deh." Sultan menatap wajah Ibunya yang masih cantik di usia kepala 4.
Terkadang jika Sultan sedang menemani Ibunya belajar sering di tanya apakah dia adiknya. Adiknya dari hongkong, Sultan lahir dari rahim Ibunya, dimana letak adiknya. Sultan sering merasa kesal karena masih saja banyak yang menggoda ibunya. Bagaimana banyak yang menggoda orang tubuh ibunya begitu langsing dengan rambut panjang sepunggung belum lagi tubuhnya yang mungil sudah pasti di anggap anak perawan jika di lihat dari belakang.
Isyana mengusap kepala Sultan, "Untuk sekarang lebih baik kamu fokus dulu aja sekolah, nanti ke depannya biar pikirin lagi."
"Kalau udah lulus boleh nikah muda kan Bun?" Isyana menatap Sultan dengan mata melotot.
"Udah sanggup emang biayain anak orang?" tanya Isyana.
"Gimana nanti aja lah Bun pusing." jawab Sultan menjatuhkan kepalanya di pangkuan Isyana.
Isyana menggelengkan kepala, dasar Sultan, tidak Anak Sulungnya, tidak Suaminya slalu saja seperti ini.