"Udah?" Ratu mengangguk.
"Lain kali kalau emang elu butuh bantuan, lu bisa kasih tau gua."
"Thanks." Ratu berjalan berdampingan dengan Guntur.
Ratu rasa Guntur bukan laki-laki seperti Sultan tapi dia tidak mau mengambil kesimpulan terlalu dini, jadi dia tetap pada posisinya yang sekarang.
"Btw, kenapa Lo bisa masuk kelas IPS 10?"
Ratu menghela napas, "Gua nggak tau."
"Lo betah di kelas Sultan?"
"Nggak." Ratu menjawab apa adanya.
Dia memang tidak betah tinggal di kelas Sultan. Jika di izinkan dia ingin pergi dari kelas itu. Ratu juga merasa baru beberapa hari tinggal di kelas Sultan rasanya sudah akan gila saja. Jika tahu akan di tempatkan di kelas IPS 10 lebih baik dia tidak usah sekolah saja.
"Sekarang Lo mau kemana?"
"Kabur." Guntur menoleh.
Baru pertama kali ini dia mendapatkan seorang gadis yang berbicara apa adanya. Guntur rasa Ratu memang bukan gadis kebanyakan seperti pada umumnya. Di lihat dari penampilannya pun sepertinya dia memiliki masalah di sekolahnya dulu. Di sekolah padahal begitu banyak aturan tapi gadis ini dengan berani melarang aturan itu padahal baru beberapa hari menjadi murid baru. Guntur rasa mungkin Pak kepala sekolah memasukan Ratu ke kelas Sultan karena gadis ini memiliki tabiat anak-anak Sultan.
"Thanks yah Lo udah mau anterin gua ke koperasi, kalau gitu gua pergi dulu, bye." Ratu melambaikan tangannya lalu pergi meninggalkan Guntur.
Ratu merasa risih di perhatikan oleh Guntur, maka dari itu dia secepat kilat pergi menjauh. Ratu merasa belum terlalu mengenal sekolah ini, biasanya hanya dengan sapaan saja dia akan mendapatkan banyak teman. Namun sekarang jangankan sapaan, sepertinya untuk saling bertemu pun jarang. Kelas IPS 10 berada di paling ujung, jauh dari lapangan, UKS, koperasi, Kantin dan lainnya. Rasanya Ratu akan kembali merengek pada Ayahnya untuk meminta di pindahkan, tidak peduli apa resikonya nanti.
Langkah Ratu terhenti saat dia menabrak d**a seseorang. Memundurkan langkah lalu mendongak melihat siapa orang yang menghalangi jalannya.
"Lo punya hubungan apa sama Guntur?" tanya nya sarkas.
Kening Ratu mengerut, "Maksudnya?"
"Gua liat sama mata gua sendiri kalau lo barusan jalan bareng sama Guntur." Ratu memutar bola matanya.
"Apaan sih lo, nggak jelas."
"Nggak jelas? Nggak jelas dari mananya Ratu, lo udah terang-terangan selingkuh di belakang gua." Ratu menatap Sultan ngeri.
"Sinting lo!"
Sultan berkacak pinggang. "Lo harusnya setia sama gua, karena gimana pun Ratu cuman buat Sultan."
"Jadi maksud Lo setiap ada orang yang namanya Ratu sama Sultan, itu artinya Ratu buat Sultan juga?"
"Oh buat mereka yang punya nama kaya gua sama Lo itu beda lagi ceritanya."
"Alasan lo aja. Awas minggir?!" Ratu mendorong Sultan dari hadapannya.
Sudah membuatnya bahas kuyup, sekarang dengan seenaknya Sultan menghalangi jalannya untuk kabur. Rasanya Ratu ingin sekali mencekik Sultan saat ini juga, jika perlu membuang laki-laki ini jauh dari hadapannya.
Sultan memutar tubuhnya. "Mau kemana Lo?"
"Bukan urusan lo." jawab Ratu tidak peduli.
Sultan menarik rambut Ratu. "Awwwwww."
"Urusan lo itu sekarang jadi urusan gua."
Ratu kesal, dia langsung ikut menarik rambut Sultan dengan kencang.
"Awwwwwwww." teriak Sultan terkejut dengan aksi Ratu terhadap nya.
"Sialan lo! Gua kesel sama lo." Ratu menjambak rambut Sultan sekuat tenaga.
Rasa kesal yang menumpuk di hatinya dia lampiaskan. Ratu tidak pernah bertindak gegabah seperti ini, biasanya dia akan tenang melawan manusia seperti Sultan. Tapi untuk kali ini rasa sabarnya musnah hanya karena manusia satu ini yang baru di kenalnya.
Sultan bukannya kesakitan dia dengan kurang ajarnya melingkarkan tangannya di pinggang ramping milik Ratu. Tinggi Sultan dan Ratu tidak terlalu jauh jadi begitu mudah bagi Ratu untuk melakukan sekarang balik.
"Wow!" Suara serempak itu membuat Ratu menghentikan jambak kan nya. Dia memiringkan kepalanya, matanya langsung melotot melihat teman-teman Sultan.
Sultan memutar kepalanya sedikit lalu tersenyum mengedipkan matanya.
"Kalian ngapain?" tanya Alena sambil menutup mulutnya tidak percaya.
"KALIAN CIUMAN?" Teriak Faris.
"Wow!" Kembali suara serentak itu membuat Ratu jengkel.
Dia akan mundur menjauh namun lingkaran di pinggangnya membuatnya terkejut. Matanya membulat, lalu reflek dia melayangkan tangannya.
Plak!
Seketika lorong hening.
Ratu pun tidak menyangka jika dia akan menampar Sultan. Begitu pun Sultan yang tidak menyangka jika Ratu akan menamparnya. Ratu menatap telapak tangannya.
"Sultan ... g-gua nggak sengaja." Ratu memang berandalan tapi dia tidak pernah melakukan kekerasan jika bukan keterlaluan.
Sungguh Ratu tidak sengaja melakukan ini. Ratu hanya terkejut, dia terlalu sensitif akan sebuah sentuhan. Ratu memang banyak bergaul dengan laki-laki namun dia slalu membatasi diri untuk teman-temannya supaya tidak melanggar zona zaman mereka masing-masing.
Sultan memegang pipinya dan tanpa banyak kata dia langsung pergi. Ratu menggigit bibir bawahnya. Bagaimana ini? Sultan pasti sakit hati karenanya. Dia sudah melanggar peraturannya sendiri untuk tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatannya tapi sekarang?
Alena menepuk bahu Ratu. Dia tidak mengatakan apapun selain berlalu pergi mengikuti langkah Sultan bersama teman-temannya yang lain.
"Nggak apa-apa, Sultan anaknya kebal." ujar Faris.
"Tenang yah, Sultan emang pantes dapetin hal itu. Dia bakal baik-baik aja kok nggak perlu khawatir." ujar Rizki sambil mengusap kepala Ratu lalu mengikuti langkah temannya yang lain.
???
"Kenapa Lo?" Ratu menghela napas.
"Gua ngerasa bersalah banget Dam." Sadam mengerutkan keningnya.
"Ngerasa bersalah kenapa?"
"Gua tadi tampar temen gua." Sadam membulatkan matanya.
"Kok bisa?" Celetuk Erwin.
"Gua reflek." Sadam dan Erwin saling berpandangan.
Mereka merasa ada yang tidak beres dengan Ratu. Ratu bukan gadis yang gampang bermain tangan tanpa sebab, dia pun akan baik-baik saja jika sudah melakukan kekerasan. Namun beda cerita jika Ratu sudah merasa bersalah seperti ini pasti ada yang di sakiti olehnya dalam bentuk ketidaksengajaan.
"Gua harus gimana dong?" tanya Ratu gusar.
"Minta maaf." Jawab Erwin dan Sadam bersama.
"Kalau dia nggak maafin gua gimana?" Ratu menatap kedua sahabatnya.
"Yah pasrah aja." ujar Erwin tanpa beban.
Sadam memukul punggung Erwin membuat laki-laki itu menyadari akan perkataannya barusan.
"Emmm ... yah maksud gua di coba dulu aja gitu hehe." Gugup Erwin.
"Sebenarnya kenapa Lo bisa tampar itu orang?" tanya Sadam.
"Gua kesel sama dia, habisnya dia kurang ajar banget peluk-peluk gua."
"APA PELUK-PELUK ELO?" teriak Erwin dan Sadam berbarengan.
Mereka tidak sadar jika perkataan mereka menjadi pusat perhatian banyak orang. Ratu melotot kan matanya lalu menutup wajahnya dengan buku menu yang ada di hadapannya. Sadam meminta maaf pada pengunjung lain karena berbuat keributan berbeda dengan Erwin yang langsung berangsur mendekat pada Ratu.
"Kenapa Lo bisa di peluk-peluk sama dia? Kenapa Lo mau di peluk sama dia? Kenapa Lo nggak berontak? Kenapa Lo nggak teriak? Kenapa Lo ngg—"
"Erwin gua nggak sadar waktu itu." ujar Ratu sambil meremas rambutnya.
"Emangnya waktu itu lo lagi ngapain sampe nggak sadar?" tanya Sadam.
"Gua nggak tahu." jawab Ratu.
"Tolol." Timpal Erwin.
Ratu menghela napas, dia mengusap wajahnya dengan gusar. Bagaimana dengan kondisi Sultan? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana jika tamparannya membekas di pipi Sultan? Oh astaga! Ratu mengacak rambutnya gemas. Ratu harus meminta maaf pada Sultan, bagaimana pun dia yang salah. Ratu bangkit berdiri dengan spontan membuat Sadam dan Erwin mendongak.
"Mau kemana lo?" tanya Erwin.
"Gua harus minta maaf sama tuh cowok."
"Yeah besok juga bisa."
"Nggak bisa. Gua ngerasa bersalah banget sama dia, kalau dia sakit hati sama perlakuan gua barusan gimana? Tau sendiri kan, gua nggak bisa kasar sama orang tanpa sebab."
"Tapi dia udah peluk elo, Ratu. Yeah wajar kalau elu tampar dia, itu udah termasuk pelecehan." kata Erwin ketus.
"Yeah, tapi kan ...." Ratu tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Perkataan Erwin benar jika yang di lakukan Sultan itu termasuk pelecehan karena sudah berani memeluknya. Tapi kan hanya memeluk bukan kah hal itu sudah wajar sering di lakukan banyak orang?
Ratu kembali duduk lalu terdiam membiarkan Sadam dan Erwin sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Ratu memang jago dalam berkelahi tapi untuk melukai orang yang tidak tahu apa-apa baginya itu sudah bukan lagi tanggung jawabnya. Ratu rasa besok dia harus meminta maaf pada Sultan. Dia benar-benar reflek melayangkan tangannya pada laki-laki itu, tidak ada niatan jahat sama sekali. Karena memang Sultan sendiri yang membuatnya kesal. Coba saja jika Sultan tidak mengusiknya, mungkin Ratu tidak akan seperti ini.