Hakim menatap Zivanna yang masih terlelap. Nafas perempuan itu naik turun perlahan, matanya tertutup rapat dengan selimut rumah sakit menutupi sampai bahu. Meski kulitnya pucat dan rambutnya masih lembab tersisir acak, namun Zivanna terlihat tenang untuk pertama kalinya sejak malam penyelamatan itu. Di ujung matanya masih ada sisa bengkak, bekas tangis atau trauma. Hakim berdiri di sisi ranjang, diam, lalu merapikan selimut sang istri dan mengusap pelan puncak kepalanya tanpa suara.
Jam digital di dinding menunjukkan pukul 10.17 WIT.
Kolonel Hakim Rajani Jagatara sudah lengkap berseragam loreng Pakaian Dinas Lapangan. Seragamnya rapi, bersih, tanpa cela, meski bahu kirinya masih dibalut perban ringan. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan keluar ruangan, berhenti sejenak di depan pintu.
Ia menoleh pada seorang perawat berpangkat Sersan Dua Kesehatan yang berjaga.
“Pastikan dia makan siang. Dampingi dia dari segala trauma dan jauhkan dari hal yang berbahaya,” ucapnya datar namun tegas.
“Siap, Kolonel,” jawab sang perawat sambil memberi hormat cepat.
Hakim melangkah keluar dari bangsal VVIP Rumkit Lanud Silas Papare. Di halaman depan, sebuah mobil dinas TNI AU tipe PJD 4x4, versi militer dari Toyota Land Cruiser hitam tanpa pelat sipil sudah terparkir. Ajudannya berdiri di samping pintu mobil sambil memberi hormat.
“Siap, laporan. Tim evaluasi Subintel Koopsudnas sudah menunggu di Ruang Rapat Bravo, Markas Komando Operasi Udara Nasional, Kolonel. Di dalam sudah hadir perwakilan BAIS, Staf Operasi TNI AU, dan Itjen TNI,” lapor Ardian cepat.
Hakim hanya mengangguk sekali, ekspresinya tetap kosong. Ia masuk ke mobil tanpa bicara, duduk di kursi belakang, lalu menatap keluar jendela sepanjang perjalanan melintasi jalanan steril pangkalan militer menuju gedung Komando Koopsudnas yang terletak di sisi barat area Lanud.
Lima belas menit kemudian, ia melangkah memasuki Ruang Rapat Bravo, sebuah ruangan tertutup tanpa jendela, hanya dinding berlapis akustik kedap suara dan bendera negara di sudut ruangan. Di sana, tiga pria berseragam bintang satu dan dua telah duduk menunggunya,
Brigjen (Mar) Fikri, perwakilan dari BAIS TNI.
Kolonel Penerbang Raymond, dari Staf Operasi TNI AU.
Laksma (Pur) Togar, sebagai perwakilan Inspektorat Jenderal TNI.
Ketiganya menoleh bersamaan saat pintu terbuka. Hakim memberi hormat tegak. “Kolonel Pnb. Hakim Rajani Jagatara, melapor.”
“Silakan duduk, Kolonel,” ucap Brigjen Fikri.
Hakim duduk. Posturnya tegap, tangan diletakkan di atas meja, tatapannya menatap lurus. Tak satu pun dari mereka tersenyum. Brigjen Fikri membuka map di hadapannya. “Kolonel Hakim Rajani Jagatara. Mengapa Anda secara pribadi mengeksekusi misi penyelamatan tanpa menunggu otorisasi penuh dari Panglima Operasi?”
Hakim tidak menjawab segera. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab dengan suara tenang namun mengandung arus tajam yang menahan emosi, “Karena saya tahu, jika saya menunggu, dia sudah mati.”
Sementara itu di sisi lain, Zivanna terbangun, tangannya meraba dan sadar tidak ada Hakim di sampingnya. Ranjang medis itu terasa terlalu luas tanpa pelukannya, tanpa tubuh hangat yang semalam membungkusnya dalam rasa aman setelah badai. Perlahan, matanya terbuka sepenuhnya. Cahaya putih rumah sakit membias di langit-langit, aroma disinfektan dan antiseptik masih menusuk hidung. Ia memutar kepala ke kanan dan kiri, kosong. Meja kecil di samping ranjang hanya berisi botol air.
Pintu kamar berbunyi pelan.
“Selamat pagi, Ibu Zivanna.” Seorang perempuan berseragam medis berpangkat Sersan Dua Kesehatan masuk, langkahnya ringan namun terlatih. “Saya datang untuk memeriksa kondisi Ibu sebelum Ibu dipindahkan.”
Zivanna segera duduk, selimut melorot dari pundaknya. “Suami saya... Kolonel Hakim... dia di mana?”
Perawat itu tersenyum tipis, profesional, dan tenang. “Beliau ada urusan sebentar, Bu. Sudah berpesan agar Ibu sarapan, diperiksa, dan dijaga dengan baik.”
Tak ada kecurigaan dalam kata-katanya, namun Zivanna bisa menangkap kehati-hatian. Ia tidak menuntut lebih. Mungkin memang tugas atau rapat, pikirnya.
Proses pemeriksaan berlangsung cepat. Tekanan darah, suhu tubuh, respons luka ringan di lengan kiri, dan kondisi psikologis dinilai secara singkat. Setelah perban diganti dan Zivanna berganti pakaian, sang perawat melipat clipboard-nya.
“Sesuai instruksi Kolonel, saya akan mengantar Ibu ke barak istirahat khusus perwira tinggi. Tempatnya lebih nyaman untuk Ibu beristirahat.”
Zivanna hanya mengangguk. Tak banyak kata. Ia mengenakan mantel hangat yang disiapkan, lalu mengikuti sang perawat keluar dari ruang VVIP Rumah Sakit Militer Lanud Silas Papare.
Di luar, mobil militer tipe PJD-4A Utility Vehicle sudah terparkir di depan lorong darurat. Seorang prajurit TNI AU berpangkat Sertu Penerbang berdiri di sisi kiri kendaraan, memberi hormat cepat begitu melihat Zivanna keluar.
“Silakan, Ibu,” ucapnya sambil membukakan pintu. Zivanna masuk ke kursi belakang, sang perawat duduk di sampingnya, dan kendaraan pun mulai melaju pelan meninggalkan kompleks medis.
Sepanjang perjalanan, Zivanna hanya diam.
Mobil melewati jalur utama Lanud, di mana beberapa pesawat tempur T-50i Golden Eagle terparkir rapi dengan kanopi terbuka, teknisi mondar-mandir di bawahnya dengan headset komunikasi dan alat berat. Di sisi lain, sepasukan pasukan Paskhas sedang melakukan latihan inspeksi senjata, mengenakan rompi taktis dan senapan serbu SS2-V5 yang tersandang di d**a mereka. Denting logam, aba-aba tegas, dan langkah sepatu bot membentuk simfoni yang tak asing di tempat ini.
Zivanna menatap semua itu dari balik kaca mobil. Inilah dunia suaminya. Dunia penuh perintah, disiplin, dan ancaman. Tempat Hakim dibentuk dan bertarung untuk hidup.
Namun di tengah lintasan itu, matanya menangkap siluet yang familiar.
Seorang perempuan. Rambutnya panjang, mengenakan hoodie hijau dan celana training, berdiri di bawah pepohonan dekat mess barak perempuan. Matanya sedang menatap ponsel, seolah kebingungan.
Zivanna menyipitkan mata. Sejenak ragu. Tapi kemudian berteriak kecil, tak bisa menahan diri, “Kezia?!”
Tangannya menepuk bahu perawat di sampingnya. “Berhenti. Tolong berhenti di sini sekarang juga.”
Mobil melambat. Pengemudi melihat ke kaca spion.
“Saya harus turun. Itu teman saya,” tegas Zivanna.
Pintu dibuka dari dalam. Zivanna melangkah keluar, mantel panjangnya mengepak tertiup angin hangat siang hari. Langkahnya cepat, menggema di atas aspal hangat yang masih basah sisa semalam.
“Kezia!” serunya lagi, kali ini lebih keras.
Gadis yang dipanggil itu mendongak, dan wajahnya terbelalak dalam keterkejutan.
****
Zivanna tidak berhenti memeluk Kezia setelah mendengarkan cerita sang sahabat. Pelukannya begitu erat, nyaris seperti ingin memastikan bahwa Kezia benar-benar di hadapannya ini hidup, hangat, dan bukan ilusi lain dari trauma semalam. Udara siang di Lanud Silas Papare tak lagi terasa menyengat, tapi justru menenangkan. Mereka duduk berdampingan di dalam barak peristirahatan khusus perwira tinggi, barak milik Kolonel Hakim dengan interior yang lebih menyerupai vila militer daripada asrama biasa. Lantainya marmer hangat, tempat tidurnya luas dan kokoh dengan seprai bersih berwarna khaki.
Tadi, Kezia menceritakan semuanya dengan suara tertahan: bagaimana ia, Yayu, dan Wiwi dievakuasi lebih dulu oleh tim darat saat malam penyelamatan berlangsung. Mereka bertiga ditemukan dalam kondisi hipotermia ringan karena bertahan di dataran tinggi terlalu lama saat mencari keberadaan Zivanna yang menghilang. Mereka tak tahu bahwa saat itu, Zivanna telah disekap di box besi, dan tak ada yang tahu bahwa Hakim akan menerobos sendiri ke zona merah demi menjemput istrinya.
Sebelumnya, Zivanna pun telah menceritakan bagian pilunya penculikan, ancaman kematian, hingga detik saat peluru bersarang di bahu suaminya tepat saat tubuhnya dipeluk sebagai tameng hidup.
“Lain kali, jangan pernah lagi lo ngelakuin hal sekonyol itu, Vi,” ucap Kezia dengan nada tajam namun peduli. “Lo bukan cuma nyeret diri lo sendiri ke masalah. Tapi juga semua orang yang peduli sama lo. Termasuk gue.”
Zivanna menunduk, suaranya lirih, “Iya, gue ngerti. Gue janji, Kez. Gue gak akan bodoh lagi. Gak akan bahaya-bahayain orang atau diri gue sendiri.”
Kezia tertawa kecil sambil menggeleng pelan. “Akhirnya juga lo bisa ngomong kayak gitu. Gue kira lo bakal terus jadi pengantin pelarian yang keras kepala.”
Zivanna tertawa malu, pipinya sedikit memerah. “Gue sama Om Hakim… ya, mulai membaik sekarang.”
Kezia melirik curiga, menaikkan satu alis. “Mulai membaik? Hmm… jangan-jangan lo udah mulai nyaman ya di pelukannya?”
Zivanna meringis, tak menjawab, hanya menunduk dan memainkan ujung selimut. Kezia terkekeh geli, lalu menyikut lengannya ringan. “Gue serius, Vi. Lo jangan keras kepala terus sama Om Hakim. Dia tuh udah cukup sabar buat orang sekelas dia.”
Zivanna mengangguk. “Iya. Gue bakal diem di sini dulu, nunggu dia selesai tugas. Or apapun yang disuruh sama Om hakim.”
“Bagus. Gue sama yang lain dijemput sore ini, jadi sekalian aja gue pamit sekarang.”
Kezia berdiri, merapikan jaket hijaunya. Zivanna ikut berdiri, lalu memeluknya lagi dengan hangat, kuat, dan tulus. Ada rasa syukur yang tak terucap dalam pelukan itu.
“Jaga diri lo, Vi. Jangan bikin masalah lagi. Dan… jangan lupa makan,” ucap Kezia sambil tersenyum, lalu berbalik keluar dari barak milik sang Kolonel.
Pintu tertutup.
Zivanna berdiri sendiri. Di tengah ruangan yang hening dan mewah, ia menatap kosong ke arah tempat tidur rapi berseprai khaki.
Ia menghela napas dalam. Iya, dia harus menunggu.
Namun baru juga Zivanna hendak berbaring, melipat selimut di sisi ranjang militer yang begitu rapi dan kaku, pintu barak itu mendadak terbuka kembali dengan keras, tergesa, seolah dihempas angin kabar buruk. Suara langkah cepat berpadu dengan gema sepatu bot di lantai marmer.
“Zivanna!” suara itu terdengar panik, nyaris tercekat.
Zivanna sontak berdiri, tubuhnya kaku. Kezia kembali muncul di ambang pintu, wajahnya pucat dan napasnya memburu. Ia berdiri di sana sejenak, matanya liar menatap sekeliling hingga menemukan sosok sahabatnya di tengah ruangan.
“Vi!” panggilnya lagi, kali ini lebih pelan, tapi mengandung kegentingan yang menusuk.
Zivanna segera mendekat, langkahnya pelan namun tegas, seolah tubuhnya tahu bahwa ia akan mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. “Kezia? Ada apa?”
Kezia menelan ludah, lalu berkata cepat, “Gue baru denger dari salah satu perwira pendamping… Vi, lo tahu gak, suami lo… Kolonel Hakim… dia lagi diperiksa. Disidang militer, Vi.”
Zivanna membeku. Pandangannya kosong. Kata-kata itu seperti hantaman peluru yang mengenai batinnya tanpa peringatan. Suara gemerincing pelan dari gelas minum yang nyaris ia jatuhkan terasa lebih keras dari suara langkah Kezia.
“Disidang?” suaranya nyaris tak terdengar.
Kezia mengangguk pelan, mencoba meredam ketegangannya sendiri. “Ya. Katanya sih gue denger itu evaluasi oleh Subintel Koopsudnas, tapi itu bukan cuma sekadar laporan biasa. Yang duduk di hadapan dia itu perwira-perwira bintang, Vi. Perwakilan BAIS, Staf Operasi, dan Itjen TNI. Tiga arah tekanan dalam satu ruangan.”
Zivanna menggeleng pelan, “Tapi… kenapa? apa yang salah?”
“Gue gak tahu.”
Zivanna mencengkeram pinggiran meja, kuku-kukunya menancap pada kayu keras. “Apa… karena gue? Kariernya bakal selesai karena ini?”