Dalam Rengkuhan Kolonel

1995 Kata
Tangan Hakim melingkar di pinggang Zivanna segera setelah Zivanna hampir terpeleset ke bagian danau yang lebih dalam. Air sedingin embun gunung menyentuh kulit mereka, dan tubuh Zivanna sedikit limbung sebelum tubuh kokoh sang kolonel langsung menahan dari belakang. Pinggang ramping perempuan itu kini bersandar pada d**a bidangnya, dan seketika Hakim menunduk, suaranya rendah dan dalam, nyaris berbisik namun penuh ketegasan. “Jangan ke tengah. Dasarnya curam. Sini saja, biar saya yang jaga,” ujar Hakim sambil merapatkan genggamannya. Zivanna mengangguk kecil, air membasahi wajah dan lehernya yang masih tampak cantik meski kotor. Ia mulai membasuh tubuhnya perlahan, menggigil. Sesekali tangannya menyeka noda tanah yang membandel di lengannya, namun Hakim melihat betapa keras perempuan itu menggigiti bibirnya menahan dingin. Tanpa banyak kata, Hakim membantu, menyentuh lengannya dan menggosok pelan bagian yang tak bisa ia bersihkan sendiri. Sentuhannya tenang, seperti hujan yang turun perlahan, tidak terburu-buru, tapi pasti. Lama-lama Zivanna menarik napas panjang, dan Hakim bertanya pelan, “Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa berada di tempat itu?” Zivanna terdiam. Air danau bergelombang tenang, seolah menunggu jawabannya. Hanya suara gemericik dan desir angin malam yang menyertai, sebelum akhirnya dia membuka suara dengan gemetar. “Gak tau, pas bangun tiba-tiba udah di dalam box gitu. Di sana gelap... aku dikurung di box berisi mayat... tangan terikat, mulutku disumpal... Mereka bilang aku akan dijadikan alat tukar, atau dibunuh kalau kamu tidak menyerah. Mereka semua... jahat. Bau darah... racun...” Suara Zivanna parau. Hakim memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk kecil. Tangannya menepuk pinggang Zivanna lembut, sebagai isyarat bahwa ia mendengarkan. Lalu Zivanna perlahan memutar tubuhnya hingga menghadap Hakim, tubuh mereka hanya berjarak napas. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada pertanyaan yang menggantung lama. “Aku... ingin bertanya...” Zivanna memulai ragu. “Kalau posisiku... mengancam negara, seperti tadi kamu bilang… kamu benar-benar tidak akan menyelamatkanku?” Hakim menatap perempuan itu tanpa mengalihkan pandang. Mata Zivanna bening, namun penuh luka dan kelelahan. Bibirnya bergetar, menunggu. Hakim mengangkat tangannya, menyentuh wajah Zivanna dengan hati-hati. Ia menyeka noda lumpur di pelipis, kemudian menyusuri garis pipi, rahang, hingga dagu. “Saya tidak akan membiarkan kita sampai di situasi yang membuat saya harus memilih, Zivanna,” ucap Hakim akhirnya, perlahan namun tegas. “Saya seorang prajurit. Saya mengabdi untuk negara. Tapi saya juga suamimu. Tanggung jawab saya bukan hanya pada bendera, tapi juga pada tangan yang kini saya genggam ini.” Ia menyentuh jemari Zivanna, lalu melanjutkan. “Negara bisa mencari pengganti seorang Kolonel... tapi saya tidak bisa mencari pengganti kamu. Jadi, jangan pernah letakkan saya dalam posisi harus memilih antara dua hal tersebut. Jangan buat saya gagal melindungi keduanya. Kalau kamu terluka, saya akan menyesal sebagai suami. Tapi kalau negara terluka karena kamu... saya akan menyesal sebagai laki-laki yang gagal membimbingmu.” Tangan Hakim kini menyentuh pipi Zivanna, lembut namun penuh otoritas. “Kamu perempuan cerdas. Berani. Tapi keberanian tanpa kendali bisa jadi bencana. Dan saya tak ingin kamu terbakar dalam api yang kamu nyalakan sendiri.” Zivanna menunduk. Air di matanya mengambang, bukan karena takut, tapi karena kata-kata itu menampar sisi dalam dirinya yang selama ini enggan tunduk. “Maaf... dan terima kasih...” bisiknya nyaris tak terdengar. Hakim terkekeh kecil, menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, air danau pun menghangat dalam keheningan itu. “Kamu sudah bisa mengucap maaf dan terima kasih, berarti kamu sudah bertanggung jawab atas keputusanmu sendiri. Itu yang saya harapkan dari seorang istri prajurit.” Zivanna membalas pelukannya dengan lekat, lalu memejamkan mata dalam pelukan itu. “Aku janji... aku tidak akan menyulitkan Om lagi.” Hakim mengangguk dan mengecup kening Zivanna lam seolah menyampaikan pesan diam: bahwa gadis keras kepala ini sudah kembali, selamat, dan ada di pelukannya. Cahaya rembulan menari pelan di permukaan danau, menciptakan pantulan keperakan yang tenang setelah segala kekacauan yang terjadi. Di balik embusan angin dan gemuruh jauh dari arah markas musuh yang kini tengah dikepung, waktu serasa berhenti di tempat itu. Zivanna menatapnya, lalu dengan lembut menaikkan tangan dan menyentuh tengkuk pria itu. Jemarinya yang masih basah mendapati guratan kasar di sana. “Om… ini luka?” bisiknya, khawatir. Hakim menyentuh bagian itu sejenak, lalu mengangguk kecil. “Luka kecil. Tidak perlu khawatir.” Tapi mata Zivanna justru turun ke lengan kanan pria itu. Di sana, samar namun nyata, ada bekas luka lama yang membelah kulit dengan tekstur yang berbeda. “Ini… juga luka?” “Pertempuran,” jawab Hakim singkat. Suaranya datar, tapi tidak dingin. Justru tenang seperti lelaki yang sudah berdamai dengan rasa sakitnya. “Saya pernah mengalami beberapa operasi berisiko waktu masih di usia dua puluhan. Bekasnya tidak akan hilang.” Zivanna menaikkan alis, jelas tidak puas. “Tapi banyak sekali…” Melihat sorot mata istrinya itu, Hakim akhirnya terkekeh pelan. “Buka napa-apa, kamu harus lihat ini.” Ia pun mengangkat membuka kaos hitamnya, dan Zivanna terdiam. Di d**a pria itu tepat melintang dari sisi kanan ke kiri terbentang luka panjang, seperti sayatan senjata tajam yang pernah hampir membelah tubuhnya. Zivanna mendekat, jemarinya menyentuh perlahan bekas luka itu dengan gerakan hati-hati, seperti menyentuh sejarah. “Om… ini…” suaranya tercekat. Hakim menatap bulan sebentar, lalu kembali pada Zivanna. “Operasi penyelamatan sandera di Marawi, Filipina Selatan. Saya usia 25 waktu itu. Ada baku tembak, salah satu dari kami tertembak duluan. Saya memutuskan menyusup dari jalur belakang. Di sana, saya harus bertarung satu lawan dua dengan pisau di tangan. Satu orang tewas. Satunya… sempat melukai saya, tapi saya tetap menang.” Zivanna mengerjapkan mata, tak bisa berkata-kata. “Luka ini… bukti saya tidak takut mati. Tapi saya juga tidak hidup untuk menantang kematian,” lanjut Hakim, suaranya merendah. “Saya hanya memilih melindungi yang harus dilindungi. Dulu... itu negara. Sekarang... negara dan kamu.” Zivanna menatapnya, bibirnya sedikit bergetar. “Itu... mengerikan,” lirihnya. Hakim terkekeh ringan, kemudian mengusap pipi Zivanna dengan punggung tangannya yang kasar. “Saya baik-baik saja. Sudah terbiasa. Tapi kamu jangan terbiasa terluka seperti ini. Dunia kamu tidak perlu dipenuhi darah seperti yang pernah saya lalui.” Mereka terdiam sesaat. Dan di antara napas malam dan desir dedaunan, seolah tanpa komando, wajah mereka saling mendekat. Pandangan bertaut, diam bertukar makna, dan perlahan, bibir mereka menyatu dalam kecupan Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka saling menekan, mencuri napas satu sama lain dalam desah yang tertahan, sebelum akhirnya lidah mereka bertemu, melilit dan menari dalam ritme yang tak terbendung liar namun terkendali. Hakim menarik tubuh Zivanna lebih dekat, hingga d**a mereka bertemu, kulit bersentuhan, dan dinginnya air danau tak lagi terasa karena bara di antara mereka membakar perlahan dari dalam. Jemari Zivanna menggenggam bahu pria itu, sementara tangan Hakim mengelus sisi pinggangnya, lalu perlahan merayap naik ke d**a Zivanna yang menyentuhnya lembut namun penuh kuasa, hingga tubuh Zivanna melengkung dalam sentakan kecil, memanas seketika seolah disentuh oleh arus listrik halus yang menuntut lebih. Ciuman mereka makin dalam, makin menuntut, seolah ingin menegaskan bahwa malam ini tak ada ruang bagi jarak, tak ada celah bagi keraguan hanya ada hasrat yang tak lagi bisa dibungkam, mengalir seperti racun manis dalam gelap, membius mereka dalam pelukan yang lebih dari sekadar penyelamatan, lebih dari sekadar cinta tapi penguasaan. Ketika ciuman dilepaskan, napas mereka masih memburu, saling mengempas di antara sisa gairah yang belum benar-benar padam. Mata Hakim menatap Zivanna lekat, dan untuk sesaat, wajah basah itu tak lagi terlihat lusuh, tapi justru tampak berantakan dengan cara yang… menggoda. Rambut Zivanna menempel di pipinya, bibirnya memerah dan sedikit bengkak karena ciuman tadi, matanya redup namun menyala, dan tubuhnya meski gemetar karena dingin terlihat s*****l dalam balutan air yang memeluknya seperti lapisan tipis dosa. Tapi dalam sepersekian detik, sorot mata Hakim berubah. Ia mendadak menoleh ke kiri, lalu ke kanan, menajamkan pandangan ke arah rimbunan gelap di balik bebatuan dan ilalang. Zivanna mengernyit. “Om… kenapa? Ada apa?” Hakim tidak menjawab. Otot rahangnya mengeras. “Ada sesuatu yang membahayakan,” gumamnya lirih namun penuh otoritas. Dan tanpa peringatan, tubuh Zivanna diangkat ke bahunya dalam satu gerakan cepat. Sekejap, ia membelah air, menjejak tanah, berlari melintasi rerumputan basah menuju tempat lebih teduh di bawah pohon besar, di mana akar-akarnya mencuat bagai cakar monster purba. “Om! Hei! Apa yang terjadi?!” “Diam, Na,” suara Hakim tenang namun dingin, penuh tekanan, nyaris tak bisa dibantah. Ia menjatuhkan jaket militernya ke tubuh Zivanna, lalu mengambil rompi balistik dari dalam tas dan memakaikannya tergesa-gesa ke tubuh sang istri. Jemarinya bergerak cekatan, mengetatkan tali, mengaitkan pengunci d**a, matanya tetap awas memindai sekeliling seperti serigala pemburu. Zivanna menahan napas. “Om... ini kenapa?” Belum sempat dijawab, suara mekanis mendadak terdengar. Klik. Tarikan pelatuk. Halus, tapi tajam. “s**t—!” Hanya itu yang sempat keluar dari mulut Hakim sebelum tubuhnya melesat, memeluk Zivanna dan menjatuhkan mereka berdua ke tanah. Tubuhnya digunakan sebagai perisai hidup, membalik posisi agar Zivanna terlindung di bawah. BRAGGHH! Satu peluru menembus udara, menghantam bahu kiri Hakim. Darah muncrat, menghangat di antara rintik hujan yang kembali turun seperti irama ancaman. Hakim meringis, rahangnya mengunci, namun kedua lengannya tak sedikit pun melepaskan Zivanna dari pelukan. **** Beruntunglah ketika serangan itu terjadi, angin malam tak hanya membawa hujan sisa, tetapi juga deru baling-baling helikopter Super Puma dari Skadron Udara 6 yang menembus langit Jayapura. Cahaya sorot putih memecah gelapnya hutan, disusul rentetan tembakan dari senapan otomatis yang menghujani para penyerang dari udara. Dalam hitungan menit, pasukan pendukung dari Yonko 462 Paskhas turun di garis perimeter, memburu para pelaku yang tersisa. Sementara itu, tubuh Kolonel Hakim segera dievakuasi ke dalam heli bersama sang istri yang tak pernah melepaskan genggamannya. Darurat medis ditetapkan, dan helikopter melaju dengan kecepatan penuh menuju Lanud Silas Papare, markas utama TNI Angkatan Udara di Papua. Setibanya di sana, tim medis militer sudah menanti. Hakim segera dilarikan ke ruang operasi terbatas untuk penanganan trauma balistik, sedangkan Zivanna dengan luka lecet dan tubuh menggigil dibawa oleh seorang perawat berpakaian loreng ke unit medis khusus perempuan. “Beliau akan baik-baik saja, Ibu,” ujar sang perawat. “Lukanya tidak mengenai organ vital. Kami sudah mendapatkan penanganan dari tim bedah militer.” Zivanna menoleh cepat. “Saya ingin bertemu dengannya. Sekarang.” Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Saya dapat amanah dari Kolonel... untuk membawa Ibu ke barak istirahat. Tapi...” Ia berhenti melihat wajah Zivanna yang memohon, nyaris tanpa suara namun tak terbantahkan. Dalam diam, perawat itu mengangguk. Ia mempercepat proses pembalutan perban di lengan Zivanna, merapikan thermal blanket, lalu berdiri. “Ikuti saya.” Mereka melintasi lorong berpendingin udara, diiringi langkah senyap dan hanya suara langkah sepatu tempur yang menggema. Tangga menuju lantai atas rumah sakit militer itu terasa panjang, hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu besi bergagang krom. “Sampai sini tugas saya, Ibu,” ujar sang perawat sembari memberi hormat kecil, lalu berlalu. Jam digital di lorong menunjukkan pukul 05.02 WIT. Zivanna menggenggam gagang pintu, membukanya perlahan. Cahaya lembut dari lampu dinding menyinari kamar itu. Di atas ranjang medis, Hakim berbaring dengan mata terpejam, selang infus di tangan kanan dan perban melilit bahu kirinya. Tubuhnya tetap tegak, bahkan dalam tidur. Namun insting seorang Kolonel bukan perkara sepele. Begitu langkah Zivanna menyentuh lantai ruangan, matanya terbuka. Tak ada keterkejutan, hanya sorot yang langsung menemukan Zivanna berdiri di ambang pintu dengan rambut kusut dan mata bulat menatapnya diam-diam. Mereka terdiam, saling menatap sejenak. Hakim mengangkat tangan kirinya, satu-satunya yang tak dilukai malam itu. Tangan yang besar, penuh bekas medan, namun kali ini terbuka lebar seperti menunggu sesuatu. Zivanna tidak berkata apa pun. Kakinya melangkah ringan, nyaris tanpa suara, menuju ranjang itu. Ia menaiki sisinya perlahan, menyelipkan tubuhnya ke dalam pelukan Kolonel Hakim yang masih hangat dan berdetak stabil. Hakim menarik napas pelan. “Saya tidak apa-apa,” bisiknya. “Tidurlah. Sekarang sudah aman.” “Hiks….” Hakim terkekeh. “Tidak apa-apa, Na. Saya baik-baik saja. Tidur ya.” Pagi itu, di antara aroma disinfektan, darah yang mengering, dan selimut militer yang masih beraroma medan tempur, dua tubuh itu terbaring dalam satu ranjang degan membungkus luka, mengubur pertanyaan, dan membiarkan mata terpejam setelah malam yang seharusnya tak pernah mereka alami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN