Zivanna dikurung di sebuah kamar dengan tangan masih terikat, tapi setidaknya dia mendapatkan tempat yang lebih bagus, sebuah ruangan beralaskan jerami kering dengan tembok kayu beratap seng, tidak selembap ruang bawah tanah sebelumnya. Tapi ‘lebih bagus’ tetap saja neraka jika ia tahu dirinya sedang berada di kandang harimau. Perutnya lapar, tubuhnya menggigil karena pakaian yang basah oleh hujan belum juga diganti. Namun yang paling menyakitkan adalah pergelangan tangannya yang lecet, berdarah, dan masih tak berhasil melepaskan ikatan dari tambang kuat yang membelit pergelangan tangan di belakang punggungnya.
Zivanna terdiam, telinganya tajam menangkap suara sepatu menghentak tanah, diikuti oleh suara pintu terbuka dan pembicaraan rendah namun tajam. Ia menahan napas mendengarkan percakapan diluar tempat dirinya berada.
“Kalau dia pikir kami akan tunduk hanya karena istrinya di tangan kita, dia salah besar.”
“Lagipula, dia tidak menunjukkan tanda-tanda negosiasi. Semua komunikasi kita dipotong. Dia tidak peduli istrinya hidup atau mati,” timpal suara perempuan, si penjaga yang tadi menyeret Zivanna dari box.
Zivanna tercekat. Tidak peduli? Hakim... tidak peduli padanya?
“Tapi tetap saja, kita bisa manfaatkan ini,” lanjut si pria. “Coba bayangkan... kalau dia melihat sendiri istrinya dibunuh di depan matanya? Bisa saja dia runtuh.”
“Benar, kita perlu jalan keluar dari tempat ini.”
Langkah kaki lain mendekat. “Tidak,” ucap orang itu. “Aku yang akan menemuinya malam ini. Sendiri.”
“Kamu... kamu sendiri, Komandan?” terdengar nada kaget dari si pria. “Untuk mendapatkan izin?”
“Kita tidak butuh izin,” jawab si Komandan dengan sinis. “Aku sudah pastikan evakuasi kita diurus oleh jalur utara. Orang-orangku di mercenary belt Kamboja siap terima kita. Tak satu pun dari tentara republik itu bisa menghentikan kita setelah gunung ini ditinggalkan.”
“Tapi... Kolonel Hakim pernah—”
“Ya,” potongnya dingin. “Dia pernah membuat tiga orang terbaikku ditangkap di operasi Tangkai Salju. Sekarang waktunya dia menebus itu... dengan darahnya. Kita bunuh dia. Kita bunuh perempuan sialan itu juga.”
“Kita akan membunuhnya?”
“Ajak dia bertemu, dan pastikan dia sendiri yang datang supaya aku mudah mengobrak-abrik tubuhnya,” ucap pemimpin tersebut. “Siapkan perimeter di lereng. Pasang trip surveillance flare di tiga sisi. Aku ingin matanya buta malam ini dan tidak bisa bergerak kemanapun.”
“Dan perempuan itu?”
“Pasang remote detonation pack di tubuhnya. Biarkan Kolonel Jagatara melihat betapa rapuhnya dia saat tak bisa menyelamatkan istri sendiri yang meledak.”
Zivanna menahan napas. Tangisannya membeku. Ia tidak tahu apakah tubuhnya menggigil karena dingin... atau karena rasa takut yang menusuk tulangnya hingga ke nadi.
Hakim akan datang.
Dan dia akan melihatnya... meledak? Sebelum dibunuh orang-orang itu?
Sebelum Zivanna mencerna semuanya, pintu itu terbuka keras, suara engselnya mencicit seperti lolongan hantu. Bayangan tubuh perempuan penjaga itu masuk membelah cahaya redup dari luar, diikuti langkah cepat dan kasar menuju Zivanna yang masih duduk terikat.
"Bangun," ucapnya dingin.
Zivanna belum sempat merespons ketika lengannya ditarik paksa hingga ia terjungkal berdiri. Napasnya tercekat.
“Dengarkan baik-baik,” bisik perempuan itu sambil mencengkeram dagu Zivanna. “Kami akan memasangkan sesuatu di tubuh cantikmu ini. Jadi bersiaplah... Kalau kamu coba lari, menangis, atau bahkan buka mulut, tubuhmu akan jadi abu lebih cepat daripada suamimu sempat menyebut namamu.”
“Lepaskan aku!” Sebelum Zivanna berteriak lebih banyak, sebuah benda kasar sejenis kain tebal didorong masuk ke dalam mulutnya dan diikat erat ke belakang kepala. Suaranya tertelan, hanya bisa memekik lirih.
Perempuan itu menyeringai puas. Lalu ia menoleh ke arah pintu dan memberi isyarat pada dua pria bertubuh tegap yang masuk membawa koper baja. Isinya terbuka perangkat deteksi denyut, kabel pengikat kecil, dan modul detonasi taktis berukuran kecil, seukuran dua jari tangan, dengan lampu indikator merah menyala.
Zivanna memberontak, tapi percuma. Tubuhnya ditahan erat.
*****
Disinilah Hakim sekarang. Duduk di atas batu granit besar yang menonjol di lereng Gunung Silawan, hanya diterangi cahaya bulan yang tertutup awan gerimis. Asap rokok tipis mengepul dari jemarinya yang bersarung tangan hitam, kontras dengan senapan serbu FN SCAR-H yang tergeletak di pangkuannya, larasnya mengarah ke tanah berlumut. Seragam tempur Kamuflase Loreng Hutan TNI AU melekat sempurna di tubuhnya yang tegap, pelindung d**a berbahan kevlar tampak ternoda lumpur dan darah kering dari pertempuran masa lalu.
Wajah Kolonel Hakim Rajani Jagatara tampak dingin. Tidak ada keraguan. Tidak ada ketakutan. Yang ada hanya konsentrasi tinggi dan firasat tajam firasat bahwa waktunya hampir tiba.
Dan benar saja.
Dari balik pepohonan, sosok-sosok manusia perlahan menampakkan diri. Dua orang bersenjata menyeret tubuh Zivanna yang terikat dan mulutnya masih tersumpal. Di antara mereka muncul seorang pria tinggi dengan jaket hitam tempur, wajahnya dipenuhi bekas luka dan tatapannya seperti binatang pemburu.
Otto.
Pemimpin kelompok bersenjata yang selama ini diburu karena penyelundupan logistik militer dan jalur perdagangan gelap lintas Asia Tenggara.
Otto tertawa sambil membuka tangannya. “Aku tidak menyangka sang Kolonel akan datang lebih dulu... sendirian pula. Berani sekali.”
Hakim berdiri perlahan. Rokoknya ia lempar, lalu diinjak hingga padam. Tatapannya tajam menyorot ke arah Zivanna sejenak— perempuan itu gemetar dalam dingin, matanya penuh air, napasnya memburu lewat sumpalan kain.
Kemudian ia menatap Otto. Suaranya rendah dan datar, tapi setiap kata seperti sembilu.
“Apa maumu, Otto?”
Otto tertawa kecil. “Kamu tahu apa yang kuinginkan, Kolonel. Aku butuh akses. Jalur udara yang bersih menuju tambang nikel di Papua bagian utara. Jalur yang tidak dipantau satelitmu. Dan beberapa senjata— Senapan Sig Sauer, granat GLX160, mungkin juga rudal darat ke udara bekas konflik timur. Kau bisa mengaturnya, bukan?”
Hakim menyipitkan mata. “Permintaanmu tidak akan kupenuhi. Kamu pikir saya akan membantu orang seperti kamu mengobarkan perang kecil di tanah ini?”
Otto mengangkat alis. “Maka istrimu akan mati malam ini.” Ia mengangkat remote kecil di tangannya. Lampu merah menyala. “Bom sudah ditanam di tubuh wanita itu. Kompak, ringan, daya ledaknya cukup untuk menghapus satu regu.”
Zivanna mulai menggeleng cepat. Air matanya jatuh tak terbendung. Ia mencoba berteriak dari balik sumpalan.
Dan Hakim hanya berdiri tenang. “Silakan. Bunuh saja.”
Otto sempat terdiam, tertawa tak percaya. “Kau tak peduli padanya?”
Hakim menjawab tanpa berkedip. “Dia sudah tahu risikonya menikah dengan tentara. Kalau kamu ingin menukar akses dengan darah, silakan mulai sekarang.”
Zivanna membeku. Dadanya serasa meledak. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh...
Otto mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada anak buahnya. “Bawa dia ke sana. Jauhkan 15 meter. Kalau dia meledak, kami tak ingin bagian tubuhnya m*****i sepatuku.”
Zivanna digiring ke arah tebing kecil, tubuhnya didorong kasar lalu ditinggalkan sendiri. Otto menatap Hakim sambil menunjukkan layar remote yang kini mulai menghitung mundur.
1:59… 1:58… 1:57…
“Waktu untuk berubah pikiran, Kolonel. Serahkan akses, dan istrimu hidup.”
Hakim tidak menjawab.
Tapi angin berubah.
Dari langit malam, suara raungan taktis muncul. Deru turbo baling-baling. CN-295 Tactical Drop Aircraft melintas cepat dan dari perut pesawat itu, beberapa suar diluncurkan. Cahaya merah terang meledak di langit dan hujan tembakan menghujani tanah di sekitar tempat berdiri para penjaga Otto. Semua terkejut dan menunduk.
Itu adalah momen yang ditunggu Hakim.
Dia bergerak.
Dalam sekejap, ia mengangkat senapannya, membidik pengunci rompi bom di d**a Zivanna dan—DOR!
Tali logam lepas. Detik ke-32.
Hakim berlari, tubuhnya seperti bayangan hantu dalam kabut gerimis. Ia menerjang Zivanna tepat saat bom terlepas dari tubuh wanita itu. Diputar, dilempar ke udara... BOOM!
Ledakan terjadi di langit malam, mengguncang bumi dan menimbulkan kilatan terang yang membutakan.
Zivanna tersentak, lalu merasakan tubuhnya ditarik erat ke d**a hangat. Hakim membalikkan tubuh mereka, melindungi Zivanna dalam dekapannya saat mereka berguling menuruni lereng tajam, tanah basah dan batu kecil menghantam punggungnya, tapi ia tidak melepaskan Zivanna.
****
Ledakan dan tembakan bersahut-sahutan bagai irama perang yang brutal, namun tak sedikit pun digubris oleh sosok berseragam loreng yang terus melangkah di antara pepohonan yang basah oleh hujan.
Langkahnya tegap meski punggungnya memikul beban yang bukan hanya tubuh, tapi nyawa dan hidupnya sendiri.
Zivanna menangis lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya mengalir perlahan membasahi punggung sang Kolonel. Ia tidak meronta, tidak pula berbicara. Hanya menggigit pelan bibirnya sendiri, menahan isak agar tidak membuat langkah itu berhenti.
Kolonel Hakim Rajani Jagatara tetap berjalan. Matanya mengamati tiap jengkal jalur, memastikan tidak ada ranjau, tidak ada jebakan, tidak ada pengintai yang tersisa. Tapi di sela langkahnya yang sunyi, ia menghela napas dalam.
“Zivanna.”
Suaranya tenang. Dalam dan berat, seperti aliran sungai yang mengikis batu dengan kesabaran.
“Yang kamu lakukan ini... bukan keberanian. Itu ceroboh. Bukan hanya karena kamu hampir kehilangan nyawa, tapi karena kamu tidak mempertimbangkan siapa saja yang bisa terluka kalau kamu hilang.” Langkahnya tetap mantap, suara hujan kini tinggal rintik samar di dedaunan. “Kamu boleh marah pada saya, boleh kecewa, bahkan boleh membenci saya karena semua ketegasan yang tidak kamu mengerti. Tapi kamu tidak boleh, Zivanna... tidak boleh menaruh diri kamu sendiri di medan berbahaya hanya karena kamu ingin melarikan diri.”
Zivanna tidak menjawab, hanya menenggelamkan wajahnya di bahu sang Kolonel. Hakim melanjutkan, nada suaranya tetap tenang namun mengandung ketegasan yang membuat siapa pun akan mendengarkan.
“Dengar baik-baik. Saya ini tentara. Sudah terbiasa kehilangan teman seperjuangan, sudah terbiasa ditugaskan untuk mengorbankan sesuatu. Tapi bukan kamu. Kamu bukan medan perang. Kamu bukan taktik untuk diuji. Kamu istri saya. Dan satu-satunya orang yang tidak saya izinkan hilang karena tindakan gegabah.”
Ia berhenti sejenak.
“Kita bisa berbeda. Kamu keras kepala, saya pun tidak kurang kepala batu. Tapi saya berharap mulai sekarang kamu mengerti... bahwa di balik semua ketegasan dan disiplin saya, ada alasan. Saya tidak ingin kamu terluka.”
Langkahnya kembali menapaki semak basah.
“Jangan pernah ulangi ini lagi. Jangan buat orang-orang sekitarmu harus bertaruh nyawa demi menyelamatkanmu. Jangan buat saya harus memilih antara misi negara dan menyelamatkan kamu.”
Diam.
Lama.
Lalu dari balik punggungnya, suara pelan itu akhirnya terdengar, lirih dan serak oleh tangis. “…maaf.”
Hakim tidak menoleh. Tapi matanya perlahan melunak, dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ada senyum yang hampir tak terlihat di wajah kerasnya.
“Tidak apa. Yang penting sekarang kamu masih hidup. Dan itu cukup.”
Ia berhenti.
Zivanna mengangkat wajahnya, menyapu matanya dengan tangan yang gemetar. Dan saat itulah ia melihatnya.
Danau.
Tenang dan jernih, terbentang luas di hadapan mereka, dikelilingi pohon-pohon pinus basah yang berdiri seperti prajurit penjaga rahasia. Danau Tjenari, tempat sakral yang katanya dulu hanya muncul di peta kuno milik suku tua Silawan.
Pantulan bulan di permukaannya nyaris seperti kaca, menari dalam riak pelan yang dipantulkan oleh tetes hujan terakhir. Udara basah membawa aroma tanah dan dedaunan yang seperti telah dimurnikan badai. Hening. Seolah seluruh dunia ikut menunduk hormat pada keheningan sepasang manusia yang baru saja menyelamatkan satu sama lain.
Zivanna terdiam. Ia menatap danau itu lama, seolah lupa bahwa tadi ia nyaris mati.
Hakim menurunkan Zivanna dari gendongannya. Perlahan. Seolah ia tahu betul tubuh itu masih trauma, bukan hanya oleh dinginnya hujan, tapi juga oleh ketakutan yang belum sempat menguap dari darah dan ingatan.
Zivanna menjejak tanah berumput basah dengan langkah yang masih limbung. Hakim menghela napas, menatap perempuan itu dari ujung kepala hingga jemari kaki yang masih bergetar, sebelum ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah danau.
“Kamu mandi dulu. Bersihkan tubuhmu,” ucap Hakim tenang. Ia merogoh kantong tactical-nya dan mengeluarkan pakaian hangat serta handuk kecil. “Saya bawa baju ganti. Nanti helikopter datang jemput dua jam lagi.”
Zivanna menoleh. Rambutnya kusut, pipinya masih basah oleh tangis yang belum sempat diseka. Tapi kali ini sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain: gentar dan enggan untuk ditinggalkan sendirian.
Saat Hakim hendak melangkah menjauh, Zivanna tiba-tiba meraih ujung seragamnya. Genggamannya pelan, nyaris seperti bisikan yang tak bersuara.
“Mau ke mana…?” Nada suaranya kecil, nyaris ditelan angin danau.
Hakim menoleh, sedikit bingung. “Saya tunggu kamu di bawah pohon itu.”
Namun Zivanna menggeleng cepat. Dengan bibir bergetar dan suara sangat pelan, ia berkata—
“Temani aku… mandi.”
Hakim diam. Napasnya tertahan sejenak. Matanya menatap lekat wajah istrinya yang masih pucat.
Ia bisa saja menolak. Tapi tidak malam ini. Tidak setelah semua yang terjadi.
Akhirnya ia mengangguk. “Baik. Saya temani.”
Hakim pun mulai membuka pakaiannya dan menyisakan kaos dan celana pendek saja. Namun saat Hakim menoleh dan napasnya tercekat. Di bawah cahaya bulan yang menerobos kabut, sosok Zivanna berdiri setengah telanjang dengan tubuh basah dan lumpur membalut sebagian kulitnya, namun justru di sanalah letak keindahan liar yang mengguncang. Rambutnya kusut, pipinya dekil, tapi ada garis leher yang anggun, bahu yang terbuka lebar, dan pakaian dalam tipis yang melekat sempurna di tubuh ramping namun berisi membentuk siluet lekuk pinggang dan belahan d**a yang lembut sekaligus menggoda.
Pakaian yang basah menempel erat, membingkai betis yang jenjang dan b****g yang montok tanpa malu, seolah gadis itu lupa bahwa dirinya sedang ditatap seorang prajurit yang telah kenyang medan perang. Aura sensualnya begitu terang, bahkan meski tubuhnya kotor dan gemetar.
Saat Zivanna membebaskan pakaiannya, Hakim berpaling. Zivanna benar-benar menyisakan pakaian dalam saja.
“Ayok.”
“Zivanna…” suaranya pelan, seperti hendak memperingatkan.
“Aku merasa kotor,” ujar Zivanna tanpa menoleh. “Sampai ke dalam… rasanya aku tidak sanggup menyentuh tubuhku sendiri.”
Hakim menarik napas panjang. Ia akhirnya mendekat dan mengulurkan tangan.
Zivanna meraih tangan itu. Dingin, tapi kokoh. Dan saat mereka melangkah bersama ke dalam danau, air menyambut mereka seperti rahim alam yang menyembuhkan. Kabut masih menari di atas permukaan, bulan mulai merekah dari celah awan, dan hujan yang sempat turun sepanjang hari kini mereda perlahan seolah langit pun tahu bahwa malam ini, satu luka telah selamat.