Hujan badai membuat sulit untuk mengepung markas ilegal. Awan hitam menggantung rendah di atas lereng barat Gunung Silawan, menyembunyikan medan yang curam dan vegetasi liar dalam kabut tebal. Di dalam pos pemantauan taktis sementara, tenda komando berlapis pelindung kamuflase yang didirikan di zona aman sektor Delta. Kolonel Hakim Rajani Jagatara berdiri di depan layar termal satelit mini yang dipancarkan dari konsol intel militer.
Suara gemuruh petir dan desiran hujan deras terus mengiringi suasana, namun Hakim tetap tegak dalam diam. Matanya tajam menelusuri bentuk bangunan markas musuh di bawah kanopi hutan lebat, titik merah yang bergerak, beberapa statis, beberapa berpola patroli. Tapi tidak ada satu pun yang menunjukkan keberadaan Zivanna.
Letnan Ardian masuk dengan tergesa, mantel hujannya masih meneteskan air. “Kolonel,” ucapnya pendek, wajahnya tegang. “Kami sudah mengevakuasi tiga perempuan dari lokasi sektor Bravo. Mereka kini di ruang medis lapangan… tapi—” Ardian menelan ludah. “Tidak ada Ibu Zivanna di antara mereka.”
Ucapan itu membuat tubuh Hakim menegang. Rahangnya mengeras, dan suara hujan seakan mendadak membeku. Ia memutar tubuhnya dan melangkah cepat ke luar tenda, menyusuri jalur berlumpur menuju ruang medis lapangan yang dialiri cahaya remang dari lampu tenaga surya.
Di dalamnya, aroma larutan antiseptik bercampur aroma tanah basah. Tiga perempuan berselimut foil pelindung termal tampak menggigil di atas matras hangat, dibantu dua tenaga medis dari satuan kesehatan militer. Hakim masuk, dan pandangan Kezia yang duduk berselimut langsung bertemu dengannya.
“Om Hakim…” Kezia terkejut. Suaranya serak dan gemetar, tubuhnya masih menggigil.
Hakim hanya mengangguk sekali, suaranya datar namun dingin, “Di mana Zivanna?”
Kezia menunduk. “Kami… berteduh di bawah pohon besar. Hujan deras. Kaki Zivanna sempat cedera. Kami buat tenda. Tapi… dia bangun dan keluar sendiri, dan kami tidak menyadari kemana dia pergi karena kami semua terlelap.”
Wiwi menimpali lemah, “Dia nggak balik-balik, Om… Kami cari. Tapi… kami malah makin basah dan akhirnya hipotermia.”
“Maaf, Om…” Kezia berbisik, matanya mulai berkaca.
Hakim menarik napas panjang, menahan luapan emosi yang menggelegak dalam d**a. “Istirahatlah,” ujarnya dingin, sebelum membalikkan badan dan keluar dari tenda. Ajudan dan dua personel pengawalnya mengikuti dari belakang.
“Kita tak bisa menunggu lebih lama,” ujar Hakim, nadanya berubah menjadi perintah. “Siapkan heli. Saya akan turun langsung ke perimeter markas. Koordinat titik infilterasi terakhir musuh, barat daya sektor Charlie.”
Letnan Ardian langsung berseru, “Kolonel! Cuaca masih buruk. Kabut belum pecah. Tanah basah. Visibilitas maksimum dua meter. Belum lagi mereka punya senjata tambahan—”
“Perimeter defensif taktis mereka terletak di zona cekungan tertutup. Mereka pasti pasang IED dan mungkin menyimpan Arms Cache yang tidak terdeteksi UAV. Tapi saya tidak akan menunggu Zivanna jatuh ke tangan mereka.”
“Dan bagaimana kalau mereka punya perimeter bunker atau tunnel bawah tanah?” tanya Ardian, nyaris putus asa.
Hakim membalas tajam, “Saya tahu struktur perang gerilya lebih dari siapa pun di medan ini. Saya tidak akan menurunkan anggota ke situasi yang belum jelas. Ini bukan serangan, ini pengintaian lanjutan. Dan saya akan lakukan sendiri.”
“Kolonel, Anda adalah Panglima Operasi! Kami tidak bisa—”
“Status misi berubah: Operasi Individual Recon-Infiltration. Saya turun sendiri, kalian pantau dari udara dan perimeter.”
Ardian menatapnya dengan rahang tegang. “Kolonel… Anda tidak harus seperti ini. Kami bisa kirim unit Raider atau Kopasgat setelah langit cerah.”
Hakim terdiam beberapa detik. Deru hujan memukul tenda. Lalu ia berkata perlahan, namun mantap, “Ini bukan cuma operasi keamanan. Ini keputusan pribadi.”
Ia menatap Ardian lurus-lurus, dan untuk pertama kalinya, suara Kolonel Hakim terdengar lebih manusiawi dari sebelumnya.
“Saya takut… dia pulang dengan luka.”
Ardian tak mampu berkata apa-apa.
Perintah keluar. Persiapan dimulai. Pilot menyalakan mesin helikopter. Dua drone pelacak diluncurkan. Tim medis bersiaga. Namun hanya satu orang yang akan terjun malam ini ke dalam badai dan bayang-bayang senjata api.
Dan namanya… adalah Kolonel Hakim Rajani Jagatara.
****
Zivanna terbangun. Entah apa yang terjadi. Kepalanya berdenyut hebat, dan seluruh tubuhnya terasa pegal seperti habis dilempar dari ketinggian. Udara pengap, bau logam, dan aroma tajam darah menyengat hidungnya. Pandangannya masih buram, tapi ia tahu… ini bukan lagi hutan, bukan pula tenda darurat mereka.
Zivanna menggerakkan tubuhnya— namun tak bisa.
Tangannya… terikat di belakang. Pergelangan tangannya terasa pedih. Dingin. Basah. Ia berusaha menendang, menggeliat, tapi kakinya juga dirantai.
Di mana ini?
Matanya terbuka lebih lebar.
Gelap.
Dia di dalam sesuatu. Dinding-dinding keras yang memantulkan suara desah napasnya sendiri. Suara hujan samar terdengar dari luar. Aroma kayu basah, darah, dan... sesuatu yang membusuk.
Lalu suara kecil— ceklik —seperti engsel besi digerakkan.
Pintu terbuka. Cahaya menyelinap masuk, membuat pupil Zivanna menyempit. Dia menyipit, lalu— “A—AAAAAAAAAA!!” jeritnya pecah.
Cahaya memperlihatkan horor: mayat.
Mayat di dalam box. Ia tak sendirian selama ini. Di sampingnya, tubuh-tubuh tak bernyawa dalam berbagai posisi. Ada yang membiru, ada yang membusuk, sebagian lain bahkan masih mengalirkan darah dari kepala pecah.
Zivanna meraung, tubuhnya berguncang hebat, terjerembap ke sisi box saat pintu terbuka penuh. Di ambang pintu berdiri seorang perempuan, tubuh ramping mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tertutup scarf hingga hanya tampak sepasang mata tajam berbayang hitam pekat. Wanita itu menatap Zivanna dengan muak.
“Diam kalau tak mau bernasib sama.”
Tangan kasar meraih lengan Zivanna dan menariknya keluar dari box logam itu. Tanpa sempat protes, Zivanna diseret turun ke tanah becek yang dipenuhi genangan air dan lumpur merah.
Langit sudah gelap.
Hujan belum berhenti.
Di sekelilingnya— tenda-tenda kanvas besar berwarna loreng kusam, berjajar dalam formasi memanjang, seperti markas sementara. Lampu minyak dan obor menjadi sumber cahaya, menambah nuansa mencekam. Bau solar dan daging terbakar menyatu dengan aroma tubuh manusia yang tak mandi.
Zivanna menoleh, napasnya terengah. Di depannya, pagar tinggi dari batang kayu kasar berdiri melingkar, runcing di ujung-ujungnya. Di atas, tampak siluet beberapa pria bersenjata sedang berjaga.
“Dimana ini?” Zivanna terisak, nyaris tak bisa berkata.
Wanita bertudung itu berhenti, menoleh dengan sorot mata tajam.
“Di tempat kamu akan ditukar, cantik,” bisiknya tajam. “Jika lancar, kami berangkat ke Kamboja lusa malam. Kamu akan jadi ‘jaminan hidup’ bagi kapal kami lewat jalur pelabuhan gelap. Jangan membuat masalah.”
Zivanna terdiam, bulu kuduknya meremang. Otaknya bekerja cepat— dia jadi jaminan hidup? Apa maksudnya? Apa ini… perdagangan manusia?
Tubuhnya digeret ke arah belakang area tenda, lalu menuruni tangga kayu sempit menuju sebuah ruangan bawah tanah— gelap, lembap, dengan udara yang nyaris tanpa oksigen.
Saat pintu kayu berat dibuka, suara gemeretak terdengar, dan Zivanna didorong masuk tanpa sempat melihat sekeliling.
Di dalamnya— ada lebih dari sepuluh orang perempuan, dari berbagai usia dan wajah asing. Beberapa menatap kosong, sebagian besar meringkuk dengan tubuh yang ditutupi kain lusuh. Sebagian besar memar, kurus, dan trauma.
Zivanna tersungkur ke lantai dingin saat pintu dibanting tertutup dari luar.
“Diam di situ. Satu suara… dan lidahmu bisa ikut jadi tiket ke luar negeri.”
Suara wanita itu menggema sebelum kunci berputar dari luar. Gelap kembali menyelimuti. Zivanna terduduk, tubuhnya basah kuyup, napasnya tercekat.
Tangisnya tertahan.
Ketakutan menelannya perlahan.
"Tenang, jangan menangis... nanti mereka akan membunuh kita," bisik salah satu perempuan dari sudut ruangan, suaranya nyaris tak terdengar namun penuh ketegasan yang menggigilkan. Suara itu keluar dari seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan, wajahnya pucat dan penuh lebam, namun tatapannya masih menyala, tanda bahwa dia belum menyerah.
Zivanna gemetar, menggigit bibir bawahnya yang bergetar, namun isaknya tetap pecah. Ia tak sanggup menahan ketakutan yang mencengkeram seluruh tubuhnya. Seluruh kenyataan ini terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Gelap, dingin, dan mencekam. Tangannya terikat, bajunya basah dan kotor, kulitnya penuh goresan. Dan ia baru saja sadar… bahwa nyawanya bisa hilang begitu saja di tempat ini.
"Diam, nona... tolong..." ucap seorang lagi, kali ini perempuan muda, mungkin seusianya. "Mereka dengar kita, nanti—”
Langkah kaki.
Terdengar mendekat dari luar lorong sempit. Suara sepatu berat menginjak tanah basah. Kemudian suara obrolan dalam bahasa campuran bahasa lokal, sedikit logat Melayu, dan satu nama yang membuat jantung Zivanna berhenti berdetak:
“...istri Kolonel itu. Jackpot.”
Zivanna membelalak. Napasnya tercekat.
Seseorang tertawa. Denting logam, gesekan rantai, dan— bunyi kunci diputar.
Pintu terbuka kasar. Cahaya lampu minyak menyelinap masuk, menyinari bayangan seorang wanita berjubah hitam yang sama seperti tadi. Namun kini dia tidak sendiri. Di belakangnya berdiri dua pria bertubuh besar, bersenjata, wajah mereka tertutup masker buff kotor.
Perempuan itu menyeringai. “Mana yang katanya istri Kolonel?” tanyanya tajam, seperti mencium aroma uang dari udara.
Tak ada yang menjawab.
Zivanna menunduk, tubuhnya tegang, jantung berdebar kencang. Tapi sorot mata wanita itu sudah menemukannya— satu-satunya yang paling baru, paling bersih, paling belum rusak di antara semua.
“Ambil, itu milik tas dia.” salah satunya berucap.
“Bagus skali,” katanya sambil meraih lengan Zivanna dan menariknya kasar. “Akhirnya… Tuhan kirimkan kita barang negoisasi yang sempurna.”