Helikopter itu mendarat di kaki Gunung Silawan. Angin memukul-mukul keras badan pesawat, hujan turun deras seperti tamparan dari langit. Balutan kabut dan aroma tanah basah menyambut kedatangan Kolonel Hakim Rajani Jagatara yang turun dari pesawat angkut militer C-130 Hercules yang telah membawanya dari Jakarta. Setelah menempuh waktu tempuh perjalanan udara ke Jayapura, ia segera berganti moda ke helikopter Super Puma milik Skadron Udara 6 TNI AU yang sudah siaga di Lanud Silas Papare, Jayapura.
Tanpa basa-basi, helikopter itu mengangkut Kolonel Hakim beserta dua ajudannya menuju koordinat kaki Gunung Silawan, gunung misterius yang belum terlalu terjamah publik namun kerap jadi sorotan karena aktivitas ilegal dan legenda lokal yang tidak pernah dijelaskan dengan terang.
Deru baling-baling mereda ketika roda pendarat menyentuh tanah berkerikil yang lembap. Cuaca benar-benar buruk. Petir menyambar di langit kelabu, sementara kabut menebal, mengaburkan jarak pandang.
Kolonel Hakim melompat turun dari helikopter, mengenakan jaket taktis militer dan headset komunikasi yang kini ia tarik ke bawah. Sepasang mata elangnya menatap tajam ke arah seorang pria tua yang datang tergopoh-gopoh dari sebuah gubuk penjaga jalur pendakian.
Orang itu mengenakan jas hujan plastik bening, tubuhnya basah kuyup. "Selamat siang, Tuan," sapanya dengan nada gentar, tatapan matanya menghindar. "Ada perlu apa ke tempat ini? Cuaca sedang tidak bersahabat."
“Apakah Bapak sudah menerima informasi tentang penutupan jalur pendakian ini karena adanya dugaan aktivitas ilegal di zona bivak barat?”
Penjaga itu tampak gugup, menelan ludah. “Iya, saya mendengar... hanya desas-desus. Katanya ada pergerakan orang bersenjata. Tapi belum ada konfirmasi…”
"Apakah anda melarang siapapun untuk naik hari ini?"
Lelaki tua itu terdiam, rautnya semakin panik.
Hakim melangkah maju, jaketnya basah, tapi aura dingin dari tubuh tegapnya membuat udara terasa membeku. “Saya ulangi, apakah Anda MELARANG empat perempuan naik gunung ini pagi tadi?”
“Me-mereka... memberikan uang banyak... saya— saya sudah memperingatkan, Tuan! Saya beri jalur alternatif... saya pastikan mereka jauh dari kawasan bivak barat!” suaranya terbata-bata, wajahnya memucat.
Kolonel Hakim mengepalkan rahangnya. “Anda tahu wilayah ini rawan, ada aktivitas pengangkutan logistik ilegal. Ada penyusup bersenjata. Bahkan satuan kami di Tim Intelijen Satgas Mandala telah menandai tempat ini sebagai zona hitam.”
Ia mendekat, tajam, dingin. “Mulai hari ini, saya umumkan, JANGAN izinkan satu kaki pun naik gunung ini tanpa koordinasi dari Komando Operasi Khusus. Kalau Anda melanggar, saya akan pastikan Anda berurusan langsung dengan hukum militer.”
Penjaga itu menunduk dalam-dalam, tubuhnya gemetar. “M-maaf, Tuan....”
Hakim mendesah panjang, menoleh pada ajudan yang berdiri di samping helikopter.
Letnan Ardian menghampiri. “Pak, laporan UAV Recon masih dalam proses. Operasi sebenarnya direncanakan pukul 21.00 malam ini.”
Hakim menatap tajam ke arah pegunungan yang diselimuti kabut dan badai. “Saya tidak punya waktu sampai malam. Saya harus menjemputnya sekarang.”
“Tapi Komandan Satgas belum memberi otorisasi penuh untuk—”
“Saya ambil alih,” potong Hakim tegas. “Saya aktifkan Otoritas Komando Situasional. Status: Darurat Sipil Terbatas. Saya pimpin langsung operasi penyisiran zona Gunung Silawan mulai sekarang.”
Letnan Ardian tampak hendak berargumen, namun urung. Ia hanya mengangguk cepat dan memberi isyarat pada sang pilot untuk bersiap. Hakim menoleh sekali lagi ke arah pegunungan gelap yang seolah menyembunyikan lebih dari sekadar pepohonan dan bebatuan.
“Istri saya ada di sana,” katanya pelan namun mantap. “Saya tidak akan membiarkannya hilang... seperti yang sudah-sudah.”
Petir menyambar. Langit mengguntur. Operasi pun dimulai. Gunung Silawan kini menjadi medan misi penyelamatan— bukan hanya dari aktivitas ilegal, tapi dari takdir gelap yang bisa saja menghilangkan Zivanna dari hidupnya.
****
Sementara di sisi lain, langit masih bergemuruh saat empat perempuan itu menapaki jalur berlumpur Gunung Silawan. Hujan tak kunjung mereda sejak pagi, tapi keputusan sudah dibuat: mereka harus terus naik sebelum langit benar-benar gelap dan suhu makin menurun. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Mereka baru saja berteduh selama lebih satu jam lebih di bawah ceruk batu, namun Zivanna bersikeras melanjutkan perjalanan dan tidak ada yang bisa menolak jika ia sudah mengeluarkan uang dan tekad.
Kezia berjalan di sisi Zivanna, wajahnya kusut tertutup tudung jas hujan yang menetes deras. “Lo yakin banget ini ide bagus?” gumamnya setengah mencibir. “Daripada kabur ke gunung kayak orang kerasukan, kenapa nggak ke Bali aja sekalian, atau Maldives?”
Zivanna mendengus, meski langkah kakinya terasa berat karena tanah licin. “Gue nggak kabur. Gue healing.”
“Healing b****g lo! Ini lo trauma abis ciuman sama suami sendiri! Astaga, Ziv... elo tuh bener-bener drama queen internasional,” seru Kezia sambil terus menyeimbangkan langkah. “Lo tuh manusia langka, udah dikasih suami jagoan, seksi, sayang juga— eh malah naik gunung ujan-ujan!”
“Udah deh, gue baik-baik aja,” potong Zivanna ketus. Pipinya sudah panas sejak disebut-sebut soal ciuman dini hari tadi. “Lagipula, gue udah bayar kalian semua, jadi ya jangan banyak protes. Kaki lo masih nempel di bumi, kan?”
“Gue nggak protes dibayar, yang gue protes tuh logika lo yang udah dipelintir hawa nafsu!” sahut Kezia, lalu menoleh ke arah Wiwi dan Yayu yang berjalan sedikit lebih dulu di depan mereka. “Tuh dua orang, diem-diem bae, padahal pasti juga nyesel mau-mauan naik bareng lo.”
Zivanna membuka mulut hendak membalas, namun belum sempat satu kata pun keluar, mendadak langkah kakinya hilang tumpuan.
“Aaa—!”
Tubuh Zivanna tergelincir, menghantam tanah yang penuh batu kecil dan akar licin. Suara jatuhnya membuat tiga temannya langsung panik.
“Ziv!” teriak Yayu, berlari kembali ke belakang, diikuti Wiwi.
Kezia buru-buru jongkok di sisi Zivanna yang mengerang kesakitan, memegangi pergelangan kakinya. Hujan masih mengguyur tanpa ampun. Wajah Zivanna mengernyit, berusaha menahan nyeri.
“Gila... lo jatoh beneran,” Kezia mendesis. “Udah, kita minggir dulu. Bahaya kalo diterusin.”
Mereka bertiga akhirnya membantu Zivanna bangkit pelan, lalu menepi dari jalur pendakian dan menuju ke bawah pohon besar yang batangnya rimbun. Tenda darurat segera mereka bangun dengan cepat.
Zivanna hanya duduk diam di tanah basah, menyandarkan punggungnya ke akar besar yang mencuat. Gemetar, kedinginan, dan menyesal. Bukan hanya karena jatuh, tapi karena menyadari bahwa dia telah menyeret tiga orang sahabatnya dalam kegilaan emosional pasca ya, ciuman itu.
Ia menggigit bibirnya. Ciuman yang mestinya sederhana, tapi malah menghantui pikirannya sejak dini hari. Ciuman dengan pria yang kini adalah suaminya.
Begitu tenda berdiri, Kezia menarik Zivanna masuk ke dalam, menyingkirkan jas hujan Zivanna dan mengusap wajahnya pakai handuk kecil. Wiwi dan Yayu mengatur alas tidur dan membuka bekal makanan kering.
Kezia duduk di belakang Zivanna dan mulai memijat kakinya perlahan. “Gue bilang juga apa, Tuhan tuh sayang sama orang sabar kayak gue, jadi langsung ditunjukin kalo lo bener-bener b**o naik begini.”
Zivanna mengembus napas. “Maaf, ya.”
Kezia tertawa pelan. “Oh wow. Lo minta maaf? Momen langka.”
“Dan… makasih,” bisik Zivanna, memejamkan mata.
“Tidur deh. Jangan banyak mikir,” gumam Kezia.
Zivanna membenamkan kepalanya dalam sleeping bag, mencoba mengabaikan perih di kakinya dan riuh pikirannya sendiri.
Dan saat Zivanna bangun kembali, suara hujan masih menjadi latar yang monoton namun memekakkan telinga. Rintiknya kini terdengar seperti tetesan berat yang menampar dedaunan dan tenda.
Zivanna membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Kezia sudah tertidur, wajahnya tertutup sebagian sleeping bag, nafasnya pelan namun terdengar di tengah keheningan badai. Zivanna menoleh ke arah luar, mengintip lewat celah tenda. Hujan belum juga berhenti.
Perlahan, ia duduk. Kepalanya masih berat, tubuhnya kaku, dan rasa nyeri di pergelangan kaki masih ada meski tak seburuk tadi. Ia mengenakan jaket ringan, lalu keluar dengan perlahan, menyingkap pintu tenda. Udara malam menyambut dingin menusuk, menusup hingga ke pori-pori. Zivanna berjalan pelan, mengintip ke tenda lain. Wiwi dan Yayu juga sudah terlelap, tubuh mereka menggulung seperti kepompong dalam sleeping bag mereka masing-masing.
Senyap.
Hanya suara rintik hujan, desir angin dan gemuruh petir di kejauhan. Zivanna duduk di bawah tarp dekat pohon, membuka satu biskuit protein, menggigitnya pelan sambil memandangi hujan badai. Hening dan kacau, sama seperti isi kepalanya.
Tiba-tiba, perutnya terasa melilit.
Zivanna meringis. Satu tangan memegang perut bagian bawahnya. Gelombang mulas itu datang dengan brutal, membuatnya nyaris menjatuhkan biskuit yang ia genggam.
“Ya ampun… sekarang?” desisnya, panik.
Ia menoleh ke arah tenda, lalu ke hutan lebat di belakang. Tidak mungkin membangunkan teman-temannya. Tidak mungkin juga melakukan itu di dekat tenda.
Dengan terpaksa, Zivanna mengenakan jas hujan lagi. Ia teringat Wiwi sempat menyimpan peta kecil dalam kantong luarnya, dan diam-diam Zivanna mengambilnya.
Menurut peta itu, harusnya ada sungai kecil tidak jauh dari posisi mereka— sekitar 100 meter ke arah barat laut. Zivanna mencoba membaca arah dengan bantuan senter, namun kabut dan hujan membuat jarak pandang tidak lebih dari dua meter.
Ia berjalan… satu langkah… dua langkah… tanah lembek dan akar-akar menjulur seperti jerat. Napasnya mulai terengah. Perutnya masih terasa melilit. Tapi… kenapa belum sampai juga?
Beberapa menit berlalu. Zivanna mendongak, melihat pohon tinggi menjulang yang bentuknya tidak asing. Ia berhenti. Keningnya berkerut.
“Lho… ini…” gumamnya. Ia menoleh ke kiri, lalu ke kanan.
Ia kembali ke tempat semula.
Zivanna membelalakkan mata. “Enggak mungkin…”
Ia memutar arah lagi, menyusuri sisi sebaliknya. Kali ini ia lebih cepat, lebih nekat. Tapi, lima menit kemudian, langkahnya kembali membawa ke batu besar yang sama. Aroma lumpur yang khas. Tumbuhan liar yang sama. Tetesan air dari daun yang jatuh di titik yang sama ke bahunya.
“Gila. Gila. Gila!” desisnya, mulai panik.
Perasaan mulas yang tadi mendesak kini lenyap, digantikan oleh rasa takut yang menindih. Ia memutar lagi, menembus jalur semak yang lebih lebat. Tapi kakinya tersandung akar, tubuhnya terjerembab, dan ketika ia mendongak— ia kembali melihat batu besar dan tarp kecil di kejauhan.
Zivanna mematung.
Setiap langkahnya… selalu membawa kembali ke titik yang sama.
“Ini… enggak masuk akal,” desahnya, pelan.
Dari kejauhan, terdengar suara ranting patah. Angin seperti berbisik.
Dan untuk pertama kalinya… bukan hanya dingin yang merayap ke tubuhnya, tapi ketakutan.