Ciuman dilepaskan oleh Hakim terlebih dahulu. Bibirnya menjauh pelan, masih meninggalkan jejak basah yang membuat napas Zivanna tercekat. Ia membuka mata setengah, pupilnya membesar, seolah tak percaya pria itu benar-benar melepaskannya di tengah badai rasa yang baru saja dimulai.
Hakim diam. Menatapnya lama. Wajahnya tenang, tetapi ada bara yang belum padam di balik sorot matanya. Bara yang membuat Zivanna gemetar. Namun sebelum sang kolonel sempat menarik diri sepenuhnya, Zivanna justru menempel lagi, menarik tengkuk Hakim dengan kedua tangan dan menyatukan bibir mereka sekali lagi.
Kali ini, Zivanna yang menyerang. Lidahnya menyusup, mencari-cari, menyentuh lidah Hakim dengan keinginan yang meledak tanpa kendali. Ia berusaha menyesap, menarik, bahkan menelan manis pahit rasa dari dalam mulut pria itu. Tapi...
Hakim justru tertawa kecil di sela ciuman. Ia menahan wajah Zivanna dan memisahkan bibir mereka sekali lagi.
“Hei…” protes Zivanna, cemberut.
Hakim mengangkat alis, senyum kecil di sudut bibirnya terlihat seperti cemooh lembut. “Itu bukan cara menyesap lidah, Zivanna.”
Zivanna mengerutkan dahi. “Terus?”
Tanpa banyak kata, Hakim menatapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan, nyaris seperti perintah, “Julurkan lidahmu.”
Zivanna mengangkat dagu, bibirnya terbuka pelan. Ia menurut. Dan dalam detik berikutnya, lidahnya dijemput oleh bibir Hakim yang panas dan sabar, disesap perlahan, lembut, penuh kendali. Seolah menyuapi rasa yang tak pernah ia tahu bisa semanis itu. Zivanna memejamkan mata, tenggelam dalam sensasi... lalu tanpa sadar, tangannya meremas bahu pria itu, membalas dengan gemetar.
Ciuman kembali menyatu, lebih panas, lebih lembut, lebih menenggelamkan. Dan di tengah samudra basah itu, tangan Hakim mulai bergerak menyusuri punggung Zivanna, masuk dari balik kaos tipis yang nyaris tak menahan apa pun. Jemarinya menjalar naik, menelusuri tulang belakang, naik ke atas...
...dan menemukan d**a Zivanna yang ranum, kencang, dan menggoda.
Sentuhannya tidak buru-buru. Ia mengusap sisi terluarnya dulu, lalu memeluknya perlahan sebelum akhirnya ibu jarinya mengusap pucuk lembut yang sudah menegang. Zivanna tersentak. Napasnya tertahan.
“Ahh…” desahan itu keluar, terbungkus dalam ciuman, membuat Hakim menggeram kecil, “Mmmh…”, dan jari-jarinya menekan bagian itu berulang kali.
Desahan mereka saling bersahutan. Ciuman mereka jadi lebih liar. Gerakan tubuh mereka saling mencari.
Saliva menetes di antara bibir. Suara basah terdengar setiap kali lidah mereka saling menjilat, menyentuh, dan mengecup. Zivanna tidak peduli. Hakim pun tidak. Yang ada hanya panas.
Sampai—
“DUAAARRRRR!!!”
“Aaaaaa!” Petir memekakkan telinga. Zivanna terpekik keras, tubuhnya melompat refleks dan langsung memeluk Hakim erat-erat, menempel di dadanya seperti anak kecil yang mencari perlindungan dari monster malam. Jantungnya berdegup cepat. Napasnya sesak.
Hakim diam. Matanya berkedip cepat, seperti baru sadar betapa jauh mereka baru saja tenggelam. Tapi ia tetap tenang. Kedua tangannya memeluk balik Zivanna dan membelai punggungnya perlahan.
“Tenang,” bisiknya lembut. “Sudah. Hanya petir. Ayok kita pindah.”
Zivanna hanya mengangguk kecil tanpa suara. Tanpa banyak pikir, Hakim mengangkat tubuhnya, digendong seperti koala, dengan kaki Zivanna melingkar di pinggang dan wajah masih tertanam di bahunya..
Ia melangkah pelan, keluar dari perpustakaan. Nafas mereka masih berbaur, langkahnya tenang tapi terasa berat oleh sisa ciuman yang belum selesai. Namun bukan ke kamar Zivanna ia menuju.
Hakim membawa Zivanna ke kamarnya.
Begitu pintu terbuka, aroma sabun kayu dan bau kulit tua menyambut mereka. Kamar itu gelap, tetapi tidak muram. Dindingnya dihiasi beberapa medali dalam kotak kaca, sehelai jaket penerbangan tergantung di sisi rak buku yang penuh, dan ranjang king-size berlapis sprei hitam pekat tampak menyendiri di tengah cahaya lampu dinding yang temaram.
Tempat itu dingin. Maskulin. Hening. Namun di sudutnya, ada kursi kulit yang menghadap jendela— tempat Hakim mungkin biasa duduk diam dengan segelas bourbon dan kepala penuh beban perang yang tak pernah ia ceritakan.
Zivanna tidak berkata apa-apa.
Begitu tubuhnya menyentuh ranjang itu, ia langsung memeluk Hakim kembali, menempel, menyusup, menyembunyikan wajah di dadanya seperti mencari kembali rasa hangat yang tadi sempat membuatnya lupa akan dinginnya dunia.
Hakim tak bertanya. Ia hanya berbaring dan mengusap punggung Zivanna pelan. Sesekali mencium rambutnya yang basah keringat dan aroma anggur. Napas mereka menyatu.
Dan dalam beberapa menit, Zivanna terlelap dalam pelukannya.
Sementara itu, Hakim menatap langit-langit kamar. Lidahnya masih terasa asin manis dari ciuman itu.
Dadanya panas. Pikirannya tentu saja kacau.
Apa yang baru saja terjadi? Kenapa bibir itu terasa seperti miliknya? Kenapa pelukan itu membuatnya ingin mematikan seluruh dunia hanya agar waktu berhenti di situ?
Hujan di luar masih turun. Tapi badai di dalam hati Kolonel Rajani Jagatara, baru saja dimulai.
****
Zivanna menggedor pintu dihadapannya dengan begitu brutal. Berkali-kali. Tanpa jeda. Seperti perempuan dikejar setan.
BRAK!
Pintu apartemen akhirnya terbuka dengan gerakan setengah paksa, memperlihatkan Kezia yang masih dengan piyama, rambut dikuncir asal dan mata sembab karena baru bangun tidur. “Ya Tuhan, lo ngapain pagi-pagi— Ziva?”
Zivanna langsung menerobos masuk tanpa aba-aba. Kakinya nyaris terpeleset karena kaus kakinya licin di lantai parket, tapi dia tetap berjalan cepat ke dalam dan jatuh terduduk di sofa, wajahnya panik, napasnya tersengal, pipinya masih memerah seperti tadi habis lari maraton.
Kezia mengatup pintu dengan keras dan menghampiri. “Lo kenapa sih? Zivanna! Hei! Napas dulu... Ada apa? Ada apa?”
Zivanna memejamkan mata sesaat, menggigit bibir bawahnya keras-keras sebelum akhirnya berucap, “Bukan mimpi.”
Kezia menyipitkan mata. “Hah?”
“Itu bukan mimpi, Kez… bukan mimpi sama sekali! Gue... gue semalam… gue CIUMAN sama Hakim!” Suara Zivanna pecah. Tangannya membenam di rambutnya sendiri.
Kezia terdiam. Mulutnya sedikit menganga. “Ciuman? Maksud lo kayak… ciuman?” Tangannya membentuk gestur aneh di udara, menunjuk bibir sendiri, lalu ke udara lagi.
Zivanna melotot. “Ya iya lah, Kez! Lo pikir ciuman apalagi?! Gue CIUM dia! Dia CIUM gue! Lidah! Ada LIDAH, Kezia!”
Kezia refleks melompat duduk di samping Zivanna. “Ya Tuhan... Oke, oke. Tarik napas dulu. Sekarang lo jelasin dari awal. Perlahan. Lo mabuk?”
Zivanna menggeleng cepat. “Enggak mabuk! Cuma minum dikit doang! Anggur! Lalu... dia dateng... kita ngobrol... terus... ya gitu deh! Itu tuh… itu... eh, kenapa ya dia enak banget?! Eh, bukan maksud gue gitu, maksudnya... aduh!”
Zivanna menunduk dan memeluk lututnya sendiri, terdengar seperti mau menangis karena frustasi. “Gue malu banget. Makanya gue kabur sebelum dia bangun. Gue enggak tahan ngeliat dia. Gue… enggak ngerti sama diri gue sendiri.”
Kezia masih menatap Zivanna, bingung antara prihatin atau pengen ngakak. “Ziva… lo sadar kan, dia SUAMI lo. Wajar aja kalau ciuman.”
“Nggak wajar dong! Lo dengerin deh! Gue nggak niat! Gue enggak suka! Gue bahkan nggak ngerti kenapa gue mau… dan sekarang gue kayak orang t***l yang mikirin bibir dia!”
Kezia mengangkat alis. “Lho, jadi lo suka?”
“NGGAK!” seru Zivanna, berdiri dan berjalan bolak-balik. “Gue cuma... bingung. Dan malu. Dan gue ngerasa... kayak... salah banget.”
Kezia menatap sahabatnya lelah. “Zivanna... daripada lo makin ngaco kayak gini, mending lo fokus ke persiapan pendakian aja deh. Kita kan mau naik minggu depan.”
“Minggu depan? Enggak bisa. Harus sekarang. HARUS HARI INI!”
“GILA LO?!”
“GUE SERIUS, KEZ! Lo tinggal hubungi anak-anak. Gue bayar. SERIUS. Uang bukan masalah. Gue mau naik hari ini. Gue udah bisa berenang, ya kan? Gue udah siap. Gue enggak bisa diem doang di Jakarta bareng orang itu! Gue harus kabur dari rumah itu sekarang juga sebelum... sebelum...”
“Sebelum lo ciuman lagi?”
Zivanna membalik badan cepat, wajahnya merah padam. “KEZIA!”
Kezia menahan tawa, tapi langsung meraih ponsel di atas meja. “Oke, oke. Gue hubungin mereka. Tapi enggak janji, ya. Ini mendadak banget, dan kita bukan mau naik gunung wisata. Lo tau Silawan itu liar, jauh, dan nyaris nggak ada jalur resmi!”
“Gue tahu!” sahut Zivanna cepat. “Justru karena itu. Tempat itu liar. Sepi. Enggak ada siapa-siapa... Tempat yang cocok buat... ngelupain semuanya.”
Kezia terdiam. Melihat Zivanna dengan ekspresi yang perlahan melunak.
“Lo mau kabur?” tanyanya pelan.
Zivanna menunduk. “Gue nggak tahu. Mungkin.”
Kezia hanya menghela napas, lalu mulai mengetik sesuatu. “Oke. Gue bantu. Tapi lo janji... jangan bikin semua orang celaka cuma karena drama lo sendiri.”
Zivanna mengangguk pelan, merasa sedikit lega— setidaknya satu hal dalam hidupnya sekarang bisa dikendalikan. Dia akan naik gunung hari ini. Dia akan lari... sebelum bibir pria itu kembali membakar pikirannya.
Sementara itu di sisi lain, Hakim mengetatkan rahangnya. Suara nada sambung di ponselnya hanya berakhir di voicemail. Sudah lima kali ia mencoba menghubungi Zivanna. Dan nihil.
Ia jyga menekan nomor rumah mertuanya, kediaman keluarga Sastronegoro. Seorang pelayan perempuan yang menjawab dengan gugup mengatakan bahwa Nona Zivanna tidak ada di rumah.
Gadis itu ke mana? Tubuhnya masih belum pulih total dari hipotermia semalam. Dan sekarang menghilang?
Detik jam digital menunjukkan pukul 08.12. Hakim memutar ponsel di jemari, hampir memutuskan untuk menghubungi intel lapangan... ketika telepon dari ajudannya masuk.
Letnan Ardian. “Siap, Kolonel. Maaf ganggu waktu cuti.”
“Bicara,” ucap Hakim datar, berdiri dan berjalan menuju lemari senjata kecil di sisi kamar.
“Sudah saya konfirmasi, target— maksud saya, Ny. Zivanna— berangkat ke Jayapura subuh tadi via penerbangan privat bersama tiga orang. Kode sandi pendakian ‘S-19’... artinya mereka menuju Gunung Silawan.”
“Silawan?”
“Betul, Kolonel. Dan saya sudah cross-check. Kemarin malam muncul laporan dari unit pengamanan lokal. Wilayah sekitar Danau Tjenari yang jadi jalur masuk diduga jadi tempat aktivitas bivak tak dikenal. Mereka bukan hanya penyelundup. Intelijen menyebutkan dugaan keterlibatan kelompok paramiliter non-resmi, semacam milisi liar.”
Hakim terdiam. Napasnya terangkat perlahan. Matanya memejam.
“Informasi terakhir?” tanya Hakim, suaranya terdengar dalam dan berbahaya.
“Tidak ada sinyal komunikasi di atas 1.500 mdpl. Kalau mereka terus naik... kita kehilangan mereka, Pak. Dan...”
“Dan?” tekan Hakim.
“Ada kode red-flag: tactical hostage risk. Kemungkinan besar—jika tertangkap, perempuan sipil jadi sasaran pertama. Bisa untuk barter, intimidasi, atau... dibuang.”
Hening sejenak.
“Beri saya waktu tiga jam. Pastikan jalur drop point di koordinat belakang punggungan utara disiapkan. Saya yang akan naik sendiri.”
“Kolonel... Anda yakin?” suara Ardian agak gentar.
“Justru karena itu.” Mata Hakim menyala tajam. “Zivanna adalah tanggung jawab saya. Dan saya akan menjemputnya sendiri.”
Hakim menurunkan ponsel. Menghembuskan napas panjang lewat hidung. Cuti resmi selesai. Tidak ada alasan untuk duduk diam sementara istrinya berjalan ke arah mulut neraka.
Ya, istri yang Keras Kepala!