Zivanna baru menyelesaikan sarapannya sendirian, di kamar. Semangkuk bubur hangat dengan taburan irisan telur rebus dan suwiran ayam sudah tandas, tapi bukan kenyang yang memenuhi dirinya. Yang tersisa justru keheningan sunyi yang terasa berdengung di balik d**a, membentur dinding perasaan yang belum sempat diberi nama. Hakim tak ada di ruangan itu sejak dipanggil Eyang Pandega, meninggalkannya dengan secuil kenyataan bahwa tubuh mereka telah kembali menyatu… kali ini di bawah pancuran air hangat, di antara dinding kayu tua dan uap harum sabun, juga dalam bathub. Sunyi yang tertinggal bukan jenis yang dingin, ia hangat, lekat, dan mengandung gema dari desah yang masih membekas di tubuhnya. Matanya menatap mangkuk kosong itu cukup lama hingga napasnya tercekat pelan. Gila. Betapa gilanya