Aku jelas menolak. Enak saja! Aku tidak mau curi start. Kenalannya sekalian saja saat waktunya telah tiba. Sejujurnya, aku mendadak belum siap. Rasa malu masih mendominasi. Bahkan untuk membayangkan saja tiba-tiba tak sanggup. Bagaimanapun, melihat milik pasien dan melihat milik suami itu sangat berbeda. Milik pasien hanyalah objek yang harus segera kutangani dengan ilmu medis, sedangkan milik suami memerlukan penanganan yang jauh berbeda. Bukan begitu? “Sayang … kamu senyum-senyum kenapa?” pertanyaan Mas Arga membuyarkan lamunanku. “H-hah? Gimana, M-mas?” Kedua alis Mas Arga bertaut. Dia yang kini memegang waffle di tangan kiri dan kanan, seketika menghampiriku dengan langkah cepat. “Kamu mikirin apa sampai senyum-senyum terus saat lihat Mas?” “E-emang iya? Masa sih? Enggak, ah.”

