“Saya enggak mau membohongi diri lagi. Saya sangat menyukaimu, Arisa. Saya ingin hubungan kita lebih dari sekadar dokter pembimbing dan anak didik. Jauh lebih dari itu. Apa bisa?” Harusnya aku sudah mengekspektasikan ini, tetapi ternyata aku masih begitu kaget ketika mendengarnya secara langsung. Aku merasa ungkapan Dokter Arga seperti mimpi atau khayalan belaka. Apa ini sungguhan? Laki-laki yang sempat ingin balas dendam padaku, kini menyatakan perasaaannya? “Ris—” “Dokter yakin?” “Sudah semeyakinkan ini, kamu masih menanyakan itu?” Aku tersentak ketika Dokter Arga bangkit. Dia kini berpindah tempat duduk. Dari yang tadinya berhadapan, kini kami sudah bersebelahan. Tentu aku refleks bergeser, tetapi dia menahanku. “Bukannya kamu menunggu untuk ini?” tanya Dokter Arga lagi. “Kenapa

