Bab 4. Ceraikan Saya, Tuan Azka!

1088 Kata
"Ketika Ancaman Berubah Jadi Cobaan: Aku Hanya Ingin Bebas dari Pria yang Tak Pernah Menganggapku" Tuan Azka mengingkari perjanjian kami. Dengan tubuh yang masih basah oleh air mandi, ia melayangkan ancaman mengejutkan—aku harus melayaninya di atas ranjang selama enam bulan jika ingin ditalak. Aku hanya ingin pergi, meninggalkan rumah ini, dan mencari ketenangan. Tapi mengapa semua orang memperlakukanku seakan aku adalah pelayan tanpa kehormatan? Aku hanya ingin kebebasan, tapi mengapa kebebasanku seakan dijual murah untuk kepentingan semua orang di rumah ini? Bagaimana aku bisa bertahan di tengah badai yang terus menghakimi langkahku? *** Qiana merasakan tubuhnya melayang ke udara, seakan ada yang mengangkatnya, dan ia tidak sanggup membuka matanya, sampai ia bisa merasakan tubuhnya terhempaskan secara kasar di atas barang yang begitu lembut, tidak menyakitkan badan gadis itu. Namun, membuat Qiana membuka matanya. Lagi, gadis itu tersentak saat melihat Azka sudah mengungkung tubuhnya. Buliran bening dari tubuh Azka yang baru saja selesai mandi menetes di wajah Qiana. Mata gadis itu terbelalak, tapi sebisa mungkin ia menunjukkan dirinya tidak takut sama sekali dengan tatapan tajam suaminya. “Sepertinya kamu tidak bisa diajak kompromi lagi. Kalau kamu bersikeras ingin saya menalakmu.” Pria itu menurunkan pandangannya ke arah d**a Qiana. “Kamu harus melayani dan memuaskan saya di atas ranjang selama enam bulan, setelah itu baru saya akan menalakmu sesuai keinginanmu. Saya juga tidak mau rugi telah memberikan nafkah lahir tiap bulan, dan itu jumlahnya juga tidak banyak, tapi tidak mencicipi tubuh pelayan ini!” ujar Azka dengan seringaian sinisnya. Pria itu sangat yakin jika Qiana tidak akan pernah mau melayaninya. Lagi pula itu hanya sekedar ancaman dan gertakan buat istri keduanya. Qiana terkesiap mendengar permintaan suaminya. Tubuhnya menegang, tak berkutik sama sekali dalam waktu beberapa menit. Tak lama ia kembali tersentak saat tubuh suaminya benar-benar menempel sempurna di atas tubuhnya. “Sepertinya Tuan telah menjilat ludahnya sendiri. Sejak awal Tuan menikahi saya, bukankah Tuan sendiri yang berkata tidak akan pernah menyentuh saya karena sangat mencintai kak Diana, dan tidak akan menyakitinya walau dia masih koma. Dan ... Tuan sendiri menulis di atas surat perjanjian pernikahan kita, tidak ada kontak fisik. Dan saya pun tidak boleh meminta nafkah batin pada Tuan, karena saya akan di denda sebanyak 200 juta jika sampai saya berani menyentuh atau berhubungan intim dengan Tu— Akkhh!” Tangan Azka menyelip di tengkuk gadis itu, lalu menghentakkannya hingga wajah gadis itu mendongak ke langit-langit. Debaran jantung gadis itu semakin berdebar, dan Azka tampak begitu garang, wajah mereka begitu dekat sampai kedua hidung mereka sempat bersinggungan. “Kamu semakin melawan!” sentak Azka pelan tapi penuh penekanan. Pandangan mereka beradu, sama-sama menunjukkan kekuatan yang kini menguasai diri mereka masing-masing. “Saya tidak melawan, tapi mengatakan yang fakta sesuai—“ Qiana melipat bibirnya saat tangan pria itu menyentuh lehernya. Matanya awas, deru napasnya semakin memburu, merasa sedang terancam. Mau bagaimana pun ini adalah sentuhan pertama yang ia rasakan dari tangan suaminya. “Saya yang berkuasa di sini, Qiana! Dan kamu harus mematuhi saya!” Azka jadi semakin tertantang ketika tubuhnya tiba-tiba terasa panas menggelora saat ini. Gadis itu tersenyum getir, matanya mulai tampak berkaca-kaca ketika kembali menatap suaminya. Bukan ia tidak mau melayani suaminya, tapi perkataan suaminya terlalu menyakiti hatinya. “Baiklah kalau Tuan meminta saya melayani di atas ranjang, tapi Tuan pun harus mengabulkan permintaan saya. Jika tidak bisa mengabulkannya, Tuan harus menerima resikonya,” tantang Qiana, ujung matanya melirik ke sebelah kanan. “Ck, tidak ada henti-hentinya kamu meminta. Memangnya apa permintaanmu, hah! Bukankah hanya minta ditalak saja? Akan saya kabulkan setelah enam bulan kamu menjalankan tugasmu yang baru!” seru Azka sembari melayangkan tatapan remeh. “Saya hanya minta ... setelah saya melayani Tuan sekarang ini, saya tidak tinggal di sini, saya mau tinggal di rumah ibu saya. Itu saja!” tegas Qiana, melirik sinis. “Azka, lihat Qiana nggak?” Tiba-tiba saja ada terdengar suara wanita berteriak, suara derit pintu kamar Azka yang tidak terkunci dibuka saja oleh pemilik suara, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Qiana dan Azka sama-sama menatap ke arah sumber suara. Lantas pemilik suara tersebut wajahnya memerah melihat Azka menindih tubuh Qiana. Qiana mendesah pelan sembari meluruskan pandangannya. “Ah, pasti akan ada salah paham,” batin Qiana memelas. Sementara itu, Azka yang masih geram dengan Qiana sangat terpaksa menarik dirinya dari atas tubuh istri keduanya. “Ibu kapan datang?” sapa Azka ramah pada ibu mertuanya, ibunya Diana. Vera tersenyum canggung saat menatap menantunya. “Eh barusan saja, maaf ya kalau Ibu main masuk saja, itu ... di bawah Tiara rewel, jadi Ibu cari Qiana ke sini,” ujar Vera sembari menatap keponakannya yang kini bangkit dari pembaringannya, dengan lirikannya cukup sinis. “Kamu sendiri nggak ke kantor, Azka?” tanya Vera penasaran. “Ini aku baru mau siap-siap, Bu,” jawab Azka tampak santai, padahal ujung matanya masih melirik tajam pada Qiana yang kini sudah melangkah. “Saya permisi ke bawah.” Entah ini sebuah kalimat pamit atau hanya memberitahukan pada Azka, yang jelas ia menghampiri tantenya yang masih berada di dalam kamar. “Ibu tunggu di bawah ya, Azka. Kebetulan Ibu bawa makanan kesukaan kamu. Kita sarapan sama-sama,” ajak Vera tersenyum. “Ya, Bu,” sahut Azka, ia pun bergegas ke ruang walk in closet. Tapi sepertinya ia harus menidurkan joninya terlebih dahulu, yang sempat menegang ketika menyentuh tubuh Qiana. “Sialan, cuma begitu doang bikin kamu berdiri,” gerutu Azka kesal. Lalu, ia menatap ke arah pintu yang sudah tertutup dengan perasaannya kesalnya. “Kamu pikir aku mau menggaulimu, Qiana! Tidak! Aku hanya mengancammu. Dan tidak akan ada perceraian! Semuanya itu gara-gara mami dan kakek ... argh!” gumam Azka dengan memukul tembok, berharap kemarahannya terluapkan. Sementara itu, di luar kamar Azka. Vera menarik tangan Qiana lalu menyeretnya ke kamar Tiara. Tamparan keras menyambar di kedua pipi gadis itu. Qiana yang terkesiap saat itu, lalu menatap nanar wanita paruh baya itu. “Apa yang barusan kamu lakukan, Qiana!? Tante meminta kamu menikah dengan menantu Tante bukan untuk melayaninya di atas ranjang. Tapi mengurus Tiara sampai Diana siuman dari koma!” sergah Vera dengan matanya yang melebar. Qiana menyentuh kedua pipinya yang terasa amat sakit itu. “Ingat batasanmu, Qiana! Tante meminta kamu menjadi istri kedua Azka, bukan untuk merebut perhatiannya, tapi agar kedua orang tuanya tidak menjodohkannya dengan wanita lain. Kamu tahu'kan! Kamu harus tahu posisinya di sini! Diana sangat mencintai suaminya!” hardik Vera menggebu-gebu. Inilah gunanya Vera hampir tiap hari datang ke mansion menantunya untuk menjaga gerak-gerik keponakannya, dan kali ini ia meradang melihat adegan yang begitu intim. Bersambung ...✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN