"Dipaksa Jadi Istri, Tapi Dituding Pelakor: Aku Hanya Ingin Lepas dari Sangkar Emas Ini!"
Saat hidupku dikendalikan oleh orang lain, aku hanya bisa bertahan dengan satu tujuan: kebebasan. Pernikahan tanpa cinta, tudingan yang menyakitkan, dan tamparan tanpa sebab. Apakah salah jika aku ingin menata hidupku sendiri? Bahkan sekarang, suami yang tidak pernah kuminta dan keluarganya memaksaku tetap berada di sini. Tapi aku sudah memutuskan, aku tidak akan selamanya jadi pion mereka. Apa yang akan kulakukan selanjutnya?
***
Matahari belum menunjukkan teriknya di atas bumi, tapi rasa panasnya sudah menguasai isi kamar Tiara. Baru saja Qiana bertengkar dengan suaminya, kini ia dituding oleh tantenya. Semuanya menjadi serba salah bagi gadis itu.
Qiana menarik napasnya dalam-dalam sembari menurunkan tangannya dari pipinya yang begitu sakit akibat tamparan.
“Aku sangat tahu diri posisi di sini, Tante. Sangat tahu! Dan, sepertinya kalau aku menjelaskan mengenai di kamar sebelah, Tante tetap tidak akan percaya sama sekali. Tenang saja ... aku tidak merebut hati suami kak Diana. Aku sendiri pun juga sudah tidak tahan dengan pernikahan ini, jika Tante berkenan, tolong bantu aku untuk mempermudahnya, Tante. Dan ... aku juga ingin kuliah, ingin menata hidupku,” balas Qiana dengan suaranya yang begitu mantap.
Wanita paruh baya itu mendengus, seakan tidak memercayai perkataan keponakannya. Mau bagaimana pun, menantunya itu sangat ganteng dan orang kaya. Mana mungkin wanita menolak jika bersanding dengan Azka. Maka dari itu Vera tidak yakin Qiana ingin bercerai saat ini, sementara Diana belum juga siuman dari komanya.
“Cerai! Kamu ingatkan perjanjian kita, kamu akan berpisah dengan Azka di saat anak Tante telah bangun dari komanya.”
“Kapan Kak Diana bangun, Tante? Ini sudah berjalan dua tahun. Apa aku harus menunggu bertahun-tahun ... huh! Sementara sekarang saja Tante menuding aku merebut tuan Azka. Dan menamparku seenaknya saja! Seakan aku ini pelakor, padahal aku dipaksa menikah dengannya. Aku sudah tidak mau lagi seperti ini. Jadi putuskan secepatnya, Tante, bantu aku agar bisa kuliah karena tuan Azka melarangku! Atau aku akan pergi dari sini dan tidak akan mengurus Tiara, jika aku harus menunggu kak Diana siuman!” ancam Qiana, jiwanya sudah tidak tahan berada di dalam sangkar emas.
Apa yang dikatakan oleh Qiana ada benarnya, kapan Diana siuman atau jangan-jangan anaknya tidak akan pernah bangun. Sementara ia pun tidak ingin menantunya kepincutnya dengan keponakannya walau kedudukannya sama-sama istri sah. Melihat Azka menindih Qiana saja murka, bagaimana kalau tiba-tiba gadis itu hamil. Kedudukan Diana bakal tersisihkan dari keluarga besannya.
Ia saja meminta keponakannya mau menikah dengan menantunya pun, gara-gara besannya akan mencari wanita lain yang bisa menjadi pendamping putra sekaligus ibu sambung untuk cucunya. Lantas, ia mengusulkan nama Qiana sebagai ibu sambung Tiara, dengan pertimbangan melihat Qiana yang begitu sayang saat Tiara dilahirkan. Demi menyelamatkan Diana sebagai menantu dari keluarga sultan. Kedua orang tua Azka menyambut baik usulan tersebut.
Vera kembali menatap tajam pada Qiana. “Baiklah Tante akan mendukung kamu untuk kuliah, hanya saja jangan lupa mengurus cucu Tante. Dan, ingat jaga jarak dengan Azka! Jangan sampai kejadian barusan terulang, kalau saja sampai kejadian itu terulang. Akan lebih dari sebuah tamparan buat kamu, amat pedih yang kamu terima!” Vera mengancam.
“Mmm,” gumam Qiana paham.
“Sekarang, turun ke bawah, urus Tiara,” perintah Vera bagai nyonya besar.
Qiana tersenyum kecut, lalu bergegas keluar dari kamar Tiara. Secepat mungkin ia melewati kamar Azka agar tidak berpapasan.
“Diana, kapan kamu bangun, Nak?” batin Vera bertanya sendiri.
Sebenarnya Diana masih berdetak jantungnya karena alat medis penunjang yang menempel di seluruh tubuhnya. Jika alat medis itu dilepas, maka nyawa Diana telah tiada. Ya, Azka dan Vera masih berharap Diana bisa siuman dari komanya.
***
Qiana langsung sigap mengambil Tiara yang menangis digendongan nanny-nya, ia pun gegas menyiapkan sarapan untuk Tiara, kemudian ia mendudukkan baby gembul itu di baby chair. Dan, tak lama kemudian Vera datang ke ruang makan, lalu tak lama disusul Azka yang tampak rapi dengan setelan jas kerjanya.
“Nih, Azka, Ibu kemarin di rumah masakin kamu rendang, kesukaan kamu.” Wanita paruh baya itu menyodorkan piring yang sudah tersaji rendang.
“Makasih Bu,” jawab Azka dingin dengan lirikan matanya ke arah Qiana yang sedang menyuapi anaknya. Vera dengan senyumannya yang merekah mengambilkan nasi untuk menantunya, padahal ada Qiana dan kepala pelayan di sana yang biasanya menyiapkan.
“Cukup Bu,” cegah Azka melihat ibu mertuanya menuangkan nasi yang begitu banyak ke atas piringnya. Lalu, ia melirik lagi istri keduanya.
“Buatkan saya kopi,” perintah Azka, entah dengan siapa yang disuruh. Hanya saja Amir’lah-kepala pelayan yang menjawab perintah tuannya, bukan Qiana. Gadis itu pura-pura menuliskan telinganya, dan tetap fokus menyuapi Tiara.
Batin Azka mengeram melihat Qiana tidak menjalankan perintahnya, hanya saja ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Vera berada di ruang makan juga.
“Oh, iya Azka. Ibu mau bilang sama kamu. Kalau Qiana bulan ini mau daftar kuliah, sebaiknya kamu izinkan dia untuk melanjutkan pendidikannya. Lagian Tiara juga sudah besar, sudah bisa ditinggal sama Dilah. Kasihan kalau dia di mansion terus mengurus Tiara,” ujar Vera sembari menjatuhkan bobotnya ke salah satu kursi.
Pria itu mendesah pelan, tangannya yang sedang memegang sendok rasanya ingin ia banting ke atas piring. Tapi semuanya harus ia tahan.
“Oh, kuliah.”
“Iya, mau kuliah, sebelum menikah Qiana memang ingin melanjutkan pendidikannya. Dan menurut Ibu apa salahnya kalau kita mendukungnya. Dan, kamu juga jangan sampai buat Qiana hamil dulu, Tiara masih kecil, nanti Qiana akan repot kalau lagi hamil mengurus Tiara. Tunggu dia besar ... eh, tapi Ibu malah berharap Diana segera siuman,” lanjut kata Vera sembari menatap Qiana, dengan tatapan penuh makna.
Kini, Azka dibuat tergelak dengan ucapan ibu mertuanya. Ia tidak pernah bermimpi atau menginginkan Qiana hamil anaknya, cukup Diana yang mengandung anaknya.
“Tante Vera, tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah hamil,” timpal Qiana dengan santainya. Kemudian ia berdiri dan mengangkat Tiara dari baby chair.
“Seorang pelayan tidak akan pernah mengandung anak majikannya,” lanjut kata Qiana, lalu berlalu membawa Tiara ke kamar mandi di kamar bocah cantik itu untuk membersihkan wajahnya dan menggantikan bajunya kembali.
Wajah Azka memerah, dan dibantingnya sendok di tangannya ke atas piring.
Bersambung ... ✍️