"Berapa lama lagi aku harus hidup dalam sangkar ini?"
Tuan Azka, pria yang pernah berjanji tidak akan menyentuhku, kini mulai menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Suaranya dingin, matanya penuh ancaman, seolah hidupku adalah miliknya. Aku hanya ingin kebebasan—hakku sebagai manusia. Tapi kenapa setiap langkahku seolah terbelenggu oleh perjanjian yang tidak pernah kuinginkan?
Ketika aku melawan, ia mengancam menghancurkan mimpiku. Ketika aku meminta dihargai, ia menatapku seperti duri dalam hidupnya. Tapi hari ini, aku tidak akan mundur. Aku lelah menjadi boneka tanpa masa depan. Bahkan jika langkah ini membuatku hancur, aku siap menanggungnya.
Karena ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang martabatku.
***
Setelah sarapan yang penuh ketegangan, suasana mansion terasa lebih dingin meskipun matahari mulai menyinari halaman depan. Langit cerah di luar kontras dengan atmosfer yang menyelimuti Qiana dan Azka. Gadis itu bergegas kembali ke kamar Tiara setelah membersihkan wajah putri kecil itu. Namun, belum lama ia masuk, langkah berat terdengar dari lorong. Azka datang, jas kerjanya yang rapi memancarkan kesan dingin dan otoritatif. Ia berhenti di depan pintu kamar, mengetuk keras dua kali tanpa menunggu jawaban, lalu membukanya.
“Qiana.” Suaranya rendah namun penuh penekanan, membuat gadis itu berbalik dengan ragu. Tiara yang sedang bermain balok kayu di lantai berhenti sejenak, mengalihkan pandangan ke papa-nya.
“Ada apa, Tuan?” tanya Qiana, sengaja menggunakan nada formal untuk menegaskan jarak di antara mereka.
Azka mendekat, matanya tajam menatap gadis itu. "Kamu pikir saya akan diam saja setelah ucapanmu tadi di meja makan?"
Qiana menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangannya. “Saya hanya mengatakan apa yang seharusnya diketahui tante Vera. Saya tidak peduli apa yang Tuan pikirkan.”
Azka menyipitkan mata. "Kamu lupa posisi siapa dirimu di sini? Kamu memang hanyalah pelayan, Qiana. Tidak lebih, tapi tidak perlu kamu perjelas seperti tadi. Jika bukan karena permintaan ibu mertua dan orang tua saya, kamu bahkan tidak akan ada di rumah mewah ini, apalagi menyentuh kehidupan Tiara."
Qiana menggertakkan giginya, matanya memerah menahan amarah. "Pelayan? Kalau memang saya hanya pelayan, kenapa dulu Tuan dan keluarga ini memaksa saya menikah? Saya tidak pernah meminta ini, Tuan Azka. Saya terjebak dalam permainan kalian."
Azka mendekat lagi, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. "Permainan? Kamu pikir ini permainan? Kamu menikah dengan saya atas dasar kesepakatan. Saya tidak pernah memintamu untuk menjadi istri yang sebenarnya. Dan soal kuliah itu—lupakan. Kamu tidak akan pergi ke mana pun tanpa izin saya."
Qiana tersenyum sinis, namun matanya penuh api. "Izinkan? Tuan Azka, saya bukan boneka yang bisa Tuan kendalikan sesuka hati. Saya akan mendaftar kuliah, mau Tuan setuju atau tidak. Saya sudah lelah menjalani kehidupan ini, hidup sebagai istri tanpa dihargai, tanpa hak, tanpa masa depan."
Azka tertawa kecil, namun tawanya tidak menyiratkan kebahagiaan. "Lelah? Kamu pikir ... kamu bisa keluar dari sini semudah itu? Ingat perjanjian kita. Kamu hanya akan pergi jika Diana bangun. Sampai saat itu terjadi, kamu akan tetap di sini."
Pria itu mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha keras menahan amarah. "Kamu tahu kenapa kamu di sini, Qiana? Ini bukan tentang apa yang kamu inginkan. Ini tentang Tiara, tentang Diana. Kalau bukan karena mereka, kamu tidak akan pernah berada di posisi ini." Azka kembali mengulang perkataannya.
"Saya tahu, dan saya sudah melakukannya dengan baik sejauh ini. Tapi, sampai kapan, Tuan? Sampai Kak Diana bangun? Bagaimana kalau itu tidak pernah terjadi? Dua tahun sudah berlalu, dan kita tidak tahu apakah Kak Diana akan pernah sadar. Sampai kapan saya harus menunggu, mengorbankan hidup saya, demi sesuatu yang tidak pasti?"
Nada suara Qiana mulai meninggi, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, ia sedang bermain api dengan pria itu, tapi rasa sakit yang ia simpan selama ini tidak lagi bisa ditahan.
Tiara yang tadinya bermain kini mulai gelisah, menangkap ketegangan di antara kedua orang dewasa itu. Qiana meraih putri kecil itu dan mendekapnya erat, seolah mencari perlindungan.
“Qiana, jangan memulai sesuatu yang tidak bisa kamu selesaikan,” ancam Azka. "Kalau kamu memaksa pergi kuliah, saya bisa pastikan kamu tidak akan bertahan lama di luar sana. Ingat, saya masih punya kendali penuh atas hidupmu."
Qiana menunduk sejenak, lalu mendongak lagi dengan keberanian yang tidak biasa. "Tuan boleh mencoba menghentikan saya, tapi saya akan tetap melanjutkan hidup saya. Saya tidak takut lagi. Jika Tuan ingin saya tetap di sini, hargai saya sebagai manusia, bukan pelayan. Kalau tidak, lebih baik kita akhiri semuanya."
Azka terdiam, tidak menyangka gadis itu akan berbicara setegas itu. Dan kembali mengungkit kata-kata di kamarnya. Ia melihat Qiana yang memeluk Tiara erat, matanya penuh tekad. Gadis itu bukan lagi sosok lemah yang menurut tanpa suara.
Setelah hening beberapa saat, Azka menghela napas berat. "Jangan berpikir ini sudah selesai. Saya tidak akan membiarkanmu melakukan apa yang kamu inginkan begitu saja," katanya dingin, lalu berbalik meninggalkan kamar tanpa menunggu jawaban.
Ketika pintu tertutup, Qiana merasa lega sekaligus takut. Ia tahu, sikapnya tadi bisa membawa konsekuensi besar, tapi ia tidak peduli. Ia sudah lelah hidup dalam tekanan. Gadis itu mencium puncak kepala Tiara, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Tiara, maafkan Mama ....” gumamnya pelan. "Tapi Mama harus melawan, untuk kita berdua."
***
Sementara itu, di luar kamar Tiara, Azka berjalan cepat menuju mobilnya yang sudah terparkir di luar lobby mansion. Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya, mencoba menenangkan diri. Perkataan Qiana terus terngiang di kepalanya. Gadis itu memang hanya pelayan baginya, tapi keberaniannya hari ini membuat Azka merasakan sesuatu yang tidak ia pahami.
"Tuan Azka, mobil sudah siap," ucap sopirnya, membukakan pintu.
Azka hanya mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Namun, sebelum mobil melaju, ia menoleh ke arah mansion melalui jendela. Bayangan Qiana yang menggendong Tiara menghantui pikirannya.
"Dia mulai memberontak ...." gumam Azka pelan.
"Tapi dia tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya."
Mobil melaju meninggalkan mansion, membawa Azka menuju kantornya. Namun, perjalanan itu terasa panjang, dipenuhi pikiran tentang perdebatan sengit dengan Qiana. Ia tidak pernah menganggap gadis itu lebih dari tanggung jawab, tapi mengapa kini ia merasa terusik oleh keberaniannya? Azka menggenggam tangannya erat, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran yang tidak seharusnya.
"Qiana," desisnya pelan, penuh amarah dan kebingungan. "Kamu benar-benar membuatku kehilangan kontrol."
Di mansion, Qiana berdiri di balkon kamar Tiara, menatap mobil Azka yang perlahan menghilang di kejauhan. Di balik keberaniannya tadi, ia menyimpan kekhawatiran besar. Ia tahu, Azka bukan orang yang mudah melepaskan sesuatu. Tapi kali ini, ia tidak akan mundur. Hidupnya terlalu berharga untuk dihabiskan dalam sangkar emas yang terus melukai jiwa.
Bersambung ... ✍️